Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,
Ulama madzhab hambali berbeda pendapat tentang hukum memakan daging mentah, antara mubah dan makruh.
Ibnu Muflih dalam al-Furu’ mengatakan,
وَلَا بَأْسَ بِلَحْمٍ نِيءٍ ، نَقَلَهُ مُهَنَّا ، وَلَحْمٍ مُنْتِنٍ ، نَقَلَهُ أَبُو الْحَارِثِ . وَذَكَرَ جَمَاعَةٌ فِيهِمَا : يُكْرَهُ
Tidak masalah makan daging mentah, sebagaimana riwayat yang dinukil dari Muhana (murid Imam Ahmad). Juga dibolehkan makan daging yang sudah bau, sebagaimana riwayat yang dinukil dari Abul Harits. Sementara sekelompok ulama hambali mengatakan tentang daging mentah dan daging yang sudah bau: Makruh (al-Furu’, 12:13).
Insya Allah yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan halal, selama mengonsumsi daging mentah itu tidak membahayakan. Pendapat kedua ini yang ditegaskan dalam Syarh Muntaha al-Iradat,
وَ ( لَا ) يُكْرَهُ ( لَحْمٌ نِيءٌ وَمُنْتِنٍ ) نَصًّا
“Tidak makruh makan daging mentah, dan yang sudah basi, berdasarkan keterangan tegas dari Imam Ahmad.” (Syarh Muntaha al-Iaradat, 11:355).
Hal ini juga yang menjadi pendapat Malikiyah, sebagaimana keterangan dalam Syarh Mukhtashar Khalil karya al-Kharsyi,
( قَوْلُهُ حَتَّى اللَّحْمُ النِّيءُ ) أَيْ يَجُوزُ أَكْلُهُ وَالْمُرَادُ بِالْمُبَاحِ مَا لَيْسَ مُحَرَّمًا وَلَا مَكْرُوهًا
Keterangan penulis ‘sampai daging mentah’ maksudnya adalah boleh memakannya. Yang dimaksud mubah adalah yang tidak haram dan tidak makruh (Syarh Mukhtashar Khalil Li al-Kharsyi, 8:477).
Keterangan di atas berlaku jika daging yang hendak dikonsumsi adalah daging yang halal dimakan, misalnya daging hasil sembelihan yang sesuai syariah atau daging hewan yang bangkainya halal, seperti ikan.
1