Hukum Menggauli Wanita Saat Hamil

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 30 April 2014


Pertanyaan: Bolehkah melakukan akad nikah atau mencampuri wanita yang sedang hamil? Bagaimanakah penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini?
Jawaban:
Jika yang dimaksudkan melakukan akad nikah dengan wanita hamil, maka ini tidak dibolehkan. Karena wanita tersebut ketika itu masih dalam masa ‘iddah (masa menunggu untuk tidak boleh menikah). Nikah ketika itu tidaklah sah berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ‏‎ ‎النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ‏‎ ‎الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235)
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ‏‎ ‎أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ‏‎ ‎حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4)
Namun jika yang dimaksudkan adalah seorang suami menyetubuhi wanita hamil, maka seperti itu tidaklah masalah. Karena Allah tidaklah melarang mencampuri istri kecuali pada masa haidh, nifas dan ihrom.
Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan pertama dari fatwa no. 16591, 18/247. Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah Ghudayan, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota]
Catatan: Namun tentu saja mencampuri istri di masa hamil dibolehkan selama tidak menimbulkan mudhorot atau bahaya.
Menurut ahli andrologi dan seksologi, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, hubungan seksual selama hamil tetap boleh dilakukan. “Tapi, pada tiga bulan pertama kehamilan, sebaiknya frekuensi hubungan seksual tak dilakukan sesering seperti biasanya,” ujar peneliti di bidang reproduksi dan seksualitas manusia ini. Pasalnya, jika hubungan seksual dipaksakan pada masa tiga bulan pertama usia kehamilan, dikhawatirkan bisa terjadi keguguran spontan. Selain tiga bulan pertama kehamilan, pasangan sebaiknya juga lebih berhati-hati dalam melakukan hubungan seksual pada saat tiga bulan menjelang waktu melahirkan. Sebab, menurut Wimpie, dikhawatirkan terjadi kelahiran dini. [1]
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
More aboutHukum Menggauli Wanita Saat Hamil

Doa Meminta Anak yang Sholeh

Diposting oleh Mutiarahikmah


Setiap orang yang telah berumah tangga atau akan, pasti menginginkan si buah hati. Mungkin ada yang telah menanti bertahun-tahun, namun belum juga dikaruniai buah hati. Juga ada yang menginginkan agar anaknya menjadi sholeh. Maka perbanyaklah do’a akan hal tersebut. Banyak do’a yang telah dicontohkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi ‘alaihimush sholaatu was salaam.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini adalah do’a yang bisa dipanjatkan untuk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh. Dalam Zaadul Masiir (7/71), dijelaskan maksud ayat tersebut oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Ya Rabbku, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang nanti termasuk jajaran orang-orang yang sholeh.” Asy Syaukani rahimahullah mengatakan apa yang dikatakan oleh para pakar tafsir, “Ya Rabb, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang termasuk jajaran orang-orang yang sholeh, yang bisa semakin menolongku taat pada-Mu”. Jadi yang namanya keturunan terutama yang sholeh bisa membantu seseorang semakin taat pada Allah.
Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam berdo’a,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38). Maksud do’a ini kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Ya Rabb anugerahkanlah padaku dari sisi-Mu keturunan yang thoyyib yaitu anak yang sholeh. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/54)
Seseorang yang telah dewasa dan menginjak usia 40 tahun memohon pada Allah,
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Robbi awzi’nii an asy-kuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala shoolihan tardhooh, wa ash-lihlii fii dzurriyatii, inni tubtu ilaika wa inni minal muslimiin” [Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri] (QS. Al Ahqof: 15). Do’a ini juga berisi permintaan kebaikan pada anak dan keturunan.
Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)
Al Qurtubhi rahimahullah berkata,
ليس شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى زوجته وأولاده مطيعين لله عز وجل.
Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dengan do’a,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480). Dari sini seseorang bisa berdo’a untuk meminta banyak keturunan yang sholeh pada Allah,
اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي
Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii“ (Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri).”
Moga dengan lima do’a di atas, Allah menganugerahkan pada kita sekalian keturunan bagi yang belum dianugerahi dan dikaruniai anak-anak yang sholeh nan sholehah. Aamiin Yaa Samii’ud Du’aa’.
Referensi:
Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir.
Fiqhud Du’aa’, Musthofa bin Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H.
Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah (Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam, soft file (.doc)
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ismail Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah.
Zaadul Masiir fi ‘Ilmi Tafsir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab Al Islami.
More aboutDoa Meminta Anak yang Sholeh

Hukum Suami Memanggil Istrinya dengan Ummi atau Ukhti

Diposting oleh Mutiarahikmah


Bismillaah…
walhamdulillah…
was sholaatu was salaamu alaa rosuulillaah…
wa alaa aalihii wa shohbihii wa maw waalaah…
Berikut ini adalah, fatwa Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tentang masalah di atas, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Pertanyaan: Bolehkan suami memanggil isterinya “Ya Ukhti” (wahai saudariku) atau “Ya Ummi” (wahai ibuku) karena dorongan kecintaan saja?
Beliau menjawab: Ya, dibolehkan bagi suami untuk memanggil isterinya dengan panggilan “Ya Ukhti”, atau “Ya Ummi“, atau panggilan-panggilan lain yang dapat mendatangkan rasa sayang dan cinta. Walaupun sebagian ulama memakruhkan bila seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan-panggilan yang seperti ini, namun hukum makruh ini tidaklah tepat, karena setiap amalan itu tergantung niatnya, dan orang ini tidaklah meniatkan dengan panggilan-panggilan itu, bahwa istrinya adalah saudarinya yang diharamkan atau mahromnya. Tidak lain ia hanya bermaksud menampakkan rasa sayang dan cintanya, dan setiap sesuatu yang menjadikan/mendatangkan rasa sayang antara dua mempelai, baik dilakukan oleh suami atau istri, maka hal itu adalah sesuatu yang dianjurkan. (Sumber: Fatawa Nurun Alad Darb hal: 19)
Dalam kitabnya Syarhul Mumti’, beliau juga mengatakan:
Jika seorang suami mengatakan kepada isterinya: “ya Ummi! Kemarilah, siapkan makan siang”, ini bukanlah “zhihar“. Namun para ahli fikih -rohimahumulloh- menyebutkan bahwa: dimakruhkan bagi seorang suami memanggil isterinya dengan sebutan mahrom-mahromnya, sehingga tidak boleh baginya memanggil istrinya: “ya Ukhti”, “ya ummi“, “ya binti”, dan yang semisalnya.
Perkataan mereka ini tidaklah benar, karena makna dari panggilan itu sudah maklum, bahwa si suami bermaksud memuliakan istrinya, maka ini tidaklah mengapa, bahkan panggilan-panggilan seperti ini dapat mendatangkan rasa sayang, cinta, dan keakraban. (Sumber: Syarhul Mumti’ 13/236)
Sekian, wa subhanakalloohumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiik…
More aboutHukum Suami Memanggil Istrinya dengan Ummi atau Ukhti

Batasan Mencukur Rambut Kemaluan

Diposting oleh Mutiarahikmah



Soal: Saya punya pertanyaan terkait dengan mencukur rambut di bawah pusar. Saya belum tahu batasan seharusnya (dicukur). Apakah harus mencukur rambut yang ada di biji testisnya? Saya mohon penjelasan seputar masalah ini. Bagaimana dengan wanita, apakah diharuskan mencukur rambutnya juga?
Jawab:
Alhamdulillah.
Pertanyaan ini pernah disodorkan kepada Fadhilatus Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah, maka beliau menjawabnya sebagai berikut,
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Segala pujian hanya milik Allah Tuhan seluruh alam. Hal itu tidak termasuk sunnah fitrah, akan tetapi kalau banyak maka harus dihilangkan agar tidak terkotori dari apa yang keluar. Selesai.
Telah ada ketetapan sunnah yang suci dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam yang menunjukkan dianjurkannya mencukur rambut di sekitar kemaluan. Sebagaimana ketetapan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa salam, beliau bersabda:
“Yang sesuai fitrah itu ada lima, diantaranya mencukur bulu kemaluan.” (HR. Bukhari)
Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah menentukan waktunya empat puluh hari, maka jangan membiarkan lebih dari itu. Berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiallahu ’anhu berkata:
ﻭﻗﺖ ﻟﻨﺎ ﻓﻲ ﻗﺺ ﺍﻟﺸﺎﺭﺏ ، ﻭﺗﻘﻠﻴﻢ‎ ‎ﺍﻷﻇﺎﻓﺮ ، ﻭﻧﺘﻒ ﺍﻹﺑﻂ ، ﻭﺣﻠﻖ ﺍﻟﻌﺎﻧﺔ ﺃﻻ‎ ‎ﻳﺘﺮﻙ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎً ) ﺭﻭﺍﻩ‎ ‎ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ 10/284 ﻭ ﻣﺴﻠﻢ 1/222(
“Kami diberi (ketentuan) waktu dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan mencukur rambut sekitar kemaluan. Agar tidak melebihi dari empat puluh hari.” (HR. Bukhari, 10/284 dan Muslim, 1/222)
Para ulama fikih menyebutkan beberapa adab terkait dengan mencukur bulu sekitar kemaluan, mereka menegaskan bahwa dianjurkan memulai dengan mencukur bulu sekitar kemaluan dari bawah pusar, dari sisi kanan, hendaknya menutupinya, dan mempergunakan yang dapat menghilangkan rambut atau kuku.
Hikmah dianjurkan menghilangkan rambut yang kotor ini terealisasi dengan (mencukur) rambut di dua testis dan dubur jika najisnya menempel. Karena maksudnya adalah kebersihan dan kesucian yang sempurna. Menjauhi sebab-sebab kotor serta tertempelnya kotoran dan najis di tubuh. Maka dalam kondisi seperti itu, mencukurnya adalah urusan yang dianjurkan. Sementara para wanita dalam mencukur rambut sekitar kemaluan, rambut di kedua ketiaknya hukumnya sama seperti lelaki.
Wallahua’lam.
More aboutBatasan Mencukur Rambut Kemaluan

Hukum Zikir Menggunakan Tasbih

Diposting oleh Mutiarahikmah


Soal: Apa hukum memakai tasbih?
Jawab:
Alhamdulillah
Sebagian ulama berpendapat dalam masalah ini dengan memperbolehkan penggunaannya disertai dengan pendapat bahwa bertasbih dengan tangan itu lebih utama. Sementara sebagian lainnya memasukkan dalam perkara bid’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Fatawa, 22/187 mengatakan: “Terkadang ada orang yang tampak meletakkan sajadah di lututnya dan tasbih di tangannya dan menjadikan hal itu sebagai syiar agama dan shalat. Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam beserta para shahabatnya tidak menjadikan hal ini sebagai syiarnya. Dahulu mereka bertasbih dan menghitungnya dengan jari jemarinya sebagaimana dalam hadits,
ﻭَﺃَﻥْ ﻳَﻌْﻘِﺪْﻥَ ﺑِﺎﻷَﻧَﺎﻣِﻞِ ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻣَﺴْﺌُﻮﻻَﺕٌ‏‎ ‎ﻣُﺴْﺘَﻨْﻄَﻘَﺎﺕٌ.
“Dan hitunglah dengan jari jemari, karena sesungguhnya (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan berbicara.” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Boleh jadi ada yang bertasbih dengan kerikil atau biji. Bertasbih dengan tasbih sebagian orang ada yang menganggapnya makruh, di antara mereka ada yang meringankan (boleh). Akan tetapi tidak ada satupun yang mengatakan, ‘Bahwa bertasbih dengannya itu lebih baik daripada bertasbih dengan jemari atau lainnya.”
Kemudian beliau rahimahullah berbicara tentang bab riya, “Bertasbih dengan tasbih termasuk riya dengan perkara yang tidak disyariatkan. Hal itu lebih buruk dibandingkan riya dengan perkara yang tidak disyariatkan.”
Ada pertanyaan tentang bertasbih dengan menggunakan tasbih ditujukan kepada Fadhilatus Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah, Al-Liqa’ AL-Maftuh, 3/30. Apakah itu termasuk bid’ah?
Beliau menjawab: ”Bertasbih dengan tasbih, ditinggalkan itu lebih utama dan bukan termasuk bid’ah. Karena ia ada asalnya yaitu sebagian shahabat bertasbih dengan menggunakan kerikil. Akan tetapi Rasul sallallahu alaihi wa sallam memberikan arahan, bahwa bertasbih dengan jemari itu lebih utama dengan mengatakan, ‘hitunglah –mengucapkan kepada para wanita- dengan jari jemari, karena ia (nanti) akan berbicara.”
Bertasbih dengan tasbih tidak termasuk haram juga tidak bid’ah. Akan tetapi ditinggalkan itu lebih utama, karena orang yang bertasbih dengan tasbih itu meninggalkan yang lebih utama dan terkadang orang yang memakai tasbih sedikit masuk penyakit riya. Karena kita saksikan sebagian orang memegang tasbih berisi seribu butir, seakan-akan mengatakan kepada orang “Lihatlah saya bertasbih seribu kali tasbih’.
Ketiga, orang yang bertasbih dengan tasbih seringkali hatinya lalai. Oleh karena itu kita jumpai dia bertasbih dengan tasbih sementara matanya melihat ke atas, ke kanan ke kiri. Yang menunjukkan lalai hatinya. Maka yang lebih utama seseorang bertasbih dengan jemarinya.
Yang lebih utama menggunakan tangan kanan bukan kiri. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam biasanya ketika bertasbih biasanya menghitungnya dengan jari tangan kanan. Kalau bertasbih dengan memakai kedua tangan semuanya itu tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih utama bertasbih dengan tangan kanannya saja.”
Syekh Muhammad Nasirudin Al-Albany rahimahullah berkata dalam kitab As-Silsilah Ad-Dhaifah, 1/110 ketika metakhrij (menilai hadits) ‘Sebaik-baik pengingat adalah tasbih’, “Kemudian hadits ini menurut saya dari segi artinya juga batil karena beberapa hal:
Pertama, bahwa tasbih itu bid’ah, tidak ada pada masa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Timbulnya setelah masa beliau sallallahu’alihi wa sallam. Bagaimana beliau sallallahu’alihi wa sallam menganjurkan kepada para shahabatnya urusan yang tidak diketahuinya?
Dalil yang saya sebutkan adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Wadhah dalam kitab ‘Al-Bida’ Wan Nahyu Anha’ dari As-Shalt bin Bahram, dia berkata, Ibnu Mas’ud melewati wanita membawa tasbih untuk bertasbih, maka beliau memutus dan melemparnya. Kemudian melewati lelaki yang bertasbih dengan kerikil, maka didepak dengan kakinya kemudian mengatakan, ‘Sungguh kamu telah melakukan bid’ah yang zalim, sungguh anda telah mengalahkan ilmu para shahabat Nabi sallallahu’alihi wa sallam. Dan sanadnya shoheh sampai As-Solt beliau tsiqah (terpercaya) dari pengikut para tabiin.
Kedua, ia menyalahi ajaran Beliau sallallahu’alaihi wa sallam. Abdullah bin Amr radhiallahu’anhu berkata, ‘Saya melihat Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menggenggam ketika bertasbih dengan tangan tangannya. Beliau juga berkata, 1/117: “Jika dalam tasbih hanya terdapat satu keburukan saja yaitu mematikan sunnah menghitung dengan jemari sedangkan semua sepakat bahwa hal itu (menghitung dengan jemari) lebih utama, maka tersebut sudah cukup.
Sebenarnya saya jarang melihat seorang syekh menggenggam ketika bertasbih dengan ruas jemari. Kemudian orang-orang berkreasi membuat (tasbih) yang bid’ah ini. Anda melihat orang yang mengikuti salah satu kelompok sufi melilitkan tasbihnya di leher. Sebagian lain menghitungnya padahal dia berbicara dengan anda atau mendengar pembicaraan anda.
Terakhir yang saya lihat beberapa hari lalu, saya melihat seseorang naik sepeda biasa berjalan di jalanan ramai dan di salah satu tangannya membawa tasbih. Seakan memperlihatkan kepada orang-orang bahwa hatinya tidak lalai mengingat Allah sekejap pun.
Kebanyakan bid’ah ini menjadi sebab hilangnya sesuatu yang menjadi kewajiban. Sering saya dapatkan –begitu juga orang lain- ketika saya memberi salam kepada salah seorang di antara mereka, dia menjawab salam dengan isyarat tanpa mengucapkan salam. Kerusakan bid’ah ini tidak terhitung.
Alangkah indahnya ungkapan seorang ahli syair,
Yang namanya kebaikan adalah mengikuti pedoman orang saleh terdahulu (salaf) dan keburukan adalah bid’ah orang yang datang kemudian (khalaf).
Wallahu ta’ala a’lam.
More aboutHukum Zikir Menggunakan Tasbih

Hukum Menjual Ginjal dan Organ Tubuh Lainnya

Diposting oleh Mutiarahikmah on Minggu, 27 April 2014


Para ulama menyatakan menjual ginjal atau organ tubuh selainnya adalah hukumnya haram. Mereka berhujjah, karena salah satu syarat jual beli adalah seseorang harus memiliki barang tersebut. Sedangkan manusia tidak berhak terhadap tubuhnya karena tubuhnya adalah titipan Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﺎ ﺗَﺒِﻊْ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻙَ
“Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)
Kemudian para ulama berkata, menjual tubuh manusia berarti bertentangan dengan ayat bahwa Allah memuliakan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺮَّﻣْﻨَﺎ ﺑَﻨِﻲ ﺁﺩَﻡَ ﻭَﺣَﻤَﻠْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺮِّ‏‎ ‎ﻭَﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﻭَﺭَﺯَﻗْﻨَﺎﻫُﻢ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕِ‏‎ ‎ﻭَﻓَﻀَّﻠْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻛَﺜِﻴﺮٍ ﻣِّﻤَّﻦْ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎ ﺗَﻔْﻀِﻴﻼً
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Israa’: 70)
Berikut Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Pertanyaan: Apakah boleh secara syariat menjual anggota badannya, misalnya ginjal dan kornea mata atau bagian dari liver (hati) atau organ yang dokter memandang tidak akan menimbulkan bahaya bila diambil (memang dalam ilmu kedokteran, jika satu ginjal diambil orang tersebut masih bisa hidup normal, pent). Tujuan penjualan tersebut adalah untuk melunasi hutang. Saya tidak punya harapan untuk melunasi hutang kecuali dengan cara ini.
Perlu diketahui bahwa saya menerima gaji bulanan 5300 Riyal yang tidak menutupi biaya pengobatan saya, ditambah lagi saya harus menafkahi kepada keluarga dan sewa rumah. Saya khawatir terjadi apa-apa pada saya (bisa meninggal) sedangkan saya masih memiliki tanggungan terhadap orang-orang.
Ditambah lagi, mayoritas keluarga saya terdiri dari wanita dan anak-anak. Saya berharap ada jawaban memuaskan, yang dengannya saya bisa melunasi hak orang-orang sebelum waktu habis, dan saya bisa tenang di dunia sebelum hari perhitungan. Semoga Allah membalas Anda sekalian dengan kebaikan.
Jawaban:
Tidak boleh bagi anda menjual satupun organ tubuh Anda untuk membayar hutang atau yang lainnya. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah

Demikian semoga bermanfaat.
More aboutHukum Menjual Ginjal dan Organ Tubuh Lainnya

Muslimah Cantik, Bermahkota Rasa Malu

Diposting oleh Mutiarahikmah on Minggu, 13 April 2014


Muslimah cantik, menjadikan malu sebagai mahkota kemuliaannya…

 Mungkin pada sebagian orang menganggap biasa saja, sekedar sebait kalimat puitis. Namun ketika kita mau untuk merenunginya, sungguh terdapat makna yang begitu dalam. Ketika kita menyadari fitrah kita tercipta sebagai wanita, mahkluk terindah di dunia ini, kemudian Allah mengkaruniakan hidayah pada kita, maka inilah hal yang paling indah dalam hidup wanita. Namun sayang, banyak sebagian dari kita—kaum wanita—yang tidak menyadari betapa berharganya dirinya. Sehingga banyak dari kaum wanita merendahkan dirinya dengan menanggalkan rasa malu, sementara Allah telah menjadikan rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاءُ))
“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah, hasan)
Sabda beliau yang lain:
“Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.”
Sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain,
((الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ))
“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya)
Begitu jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan.
Namun sayang, di zaman ini rasa malu pada wanita telah pudar, sehingga hakikat penciptaan wanita—yang seharusnya—menjadi perhiasan dunia dengan keshalihahannya, menjadi tak lagi bermakna. Di zaman ini wanita hanya dijadikan objek kesenangan nafsu. Hal seperti ini karena perilaku wanita itu sendiri yang seringkali berbangga diri dengan mengatasnamakan emansipasi, mereka meninggalkan rasa malu untuk bersaing dengan kaum pria.
Allah telah menetapkan fitrah wanita dan pria dengan perbedaan yang sangat signifikan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam akal dan tingkah laku. Bahkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 228 yang artinya; Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’, Allah telah menetapkan hak bagi wanita sebagaimana mestinya. Tidak sekedar kewajiban yang dibebankan, namun hak wanita pun Allah sangat memperhatikan dengan menyesuaikan fitrah wanita itu sendiri. Sehingga ketika para wanita menyadari fitrahnya, maka dia akan paham bahwasanya rasa malu pun itu menjadi hak baginya. Setiap wanita, terlebih seorang muslimah, berhak menyandang rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.
Sayangnya, hanya sedikit wanita yang menyadari hal ini…
Di zaman ini justeru banyak wanita yang memilih mendapatkan mahkota ‘kehormatan’ dari ajang kontes-kontes yang mengekspos kecantikan para wanita. Tidak hanya sebatas kecantikan wajah, tapi juga kecantikan tubuh diobral demi sebuah mahkota ‘kehormatan’ yang terbuat dari emas permata. Para wanita berlomba-lomba mengikuti audisi putri-putri kecantikan, dari tingkat lokal sampai tingkat internasional. Hanya demi sebuah mahkota dari emas permata dan gelar ‘Miss Universe’ atau sejenisnya, mereka rela menelanjangi dirinya sekaligus menanggalkan rasa malu sebagai sebaik-baik mahkota di dirinya. Naudzubillah min dzaliik…
Apakah mereka tidak menyadari, kelak di hari tuanya ketika kecantikan fisik sudah memudar, atau bahkan ketika jasad telah menyatu dengan tanah, apakah yang bisa dibanggakan dari kecantikan itu? Ketika telah berada di alam kubur dan bertemu dengan malaikat yang akan bertanya tentang amal ibadah kita selama di dunia dengan penuh rasa malu karena telah menanggalkan mahkota kemuliaan yang hakiki semasa di dunia.
Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah Radhiyyallahu ‘Anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis, kemudian beliau berkata, “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”
Betapa pun Allah ketika menetapkan hijab yang sempurna bagi kaum wanita, itu adalah sebuah penjagaan tersendiri dari Allah kepada kita—kaum wanita—terhadap mahkota yang ada pada diri kita. Namun kenapa ketika Allah sendiri telah memberikan perlindungan kepada kita, justeru kita sendiri yang berlepas diri dari penjagaan itu sehingga mahkota kemuliaan kita pun hilang di telan zaman?
Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13)
Wahai, muslimah…
Peliharalah rasa malu itu pada diri kita, sebagai sebaik-baik perhiasan kita sebagai wanita yang mulia dan dimuliakan. Sungguh, rasa malu itu lebih berharga jika kau bandingkan dengan mahkota yang terbuat dari emas permata, namun untuk mendapatkan (mahkota emas permata itu), kau harus menelanjangi dirimu di depan public.
Wahai saudariku muslimah…
Kembalilah ke jalan Rabb-mu dengan sepenuh kemuliaan, dengan rasa malu dikarenakan keimananmu pada Rabb-mu…
More aboutMuslimah Cantik, Bermahkota Rasa Malu

Rincian Hukum Meninggalkan Shalat

Diposting oleh Mutiarahikmah


Tidak sedikit remaja yang sering bolong shalatnya, terutama barangkali shalat Shubuh. Atau mungkin saja ada yang shalat hanya ketika Jumatan saja, sekali sepekan. Atau yang lebih parah lagi jika setahun sekali. Artikel ini akan merinci mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga bermanfaat.
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, hal. 7)

Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Kasus kedua: Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in. Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, shahih)
Kasus ketiga: Ttidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya]. (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
Kasus keempat: Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima: Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190)
Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“ (Ash Sholah, hal. 12)
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Ash Sholah, hal. 12)
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“ (Ash Sholah, 35-36)
Wallahu waliyyu taufiq was sadaad.
More aboutRincian Hukum Meninggalkan Shalat

Orang yang Meninggalkan Shalat Bukanlah Muslim

Diposting oleh Mutiarahikmah


Kalau remaja sudah malas-malas melaksanakan shalat, maka bisa jadi dicap bukan muslim. Karena sebagaimana kata Umar, orang yang meninggalkan shalat bukanlah muslim.
Ibnu Zanjawaih mengatakan, ” ’Amr bin Ar Robi’ telah menceritakan pada kami, (dia berkata) Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) dari Yusuf, (dia berkata) dari Ibnu Syihab, beliau berkata,” ’Ubaid bin Abdillah bin ‘Utbah (berkata) bahwa Abdullah bin Abbas mengabarkannya,”Dia mendatangi Umar bin Al Khoththob ketika beliau ditikam (dibunuh) di masjid. Lalu Ibnu Abbas berkata,”Aku dan beberapa orang di masjid membawanya (Umar) ke rumahnya.”
Lalu Ibnu Abbas berkata, ”Lalu Abdurrahman bin ‘Auf diperintahkan untuk mengimami orang-orang.”
Kemudian beliau berkata lagi, ”Tatkala kami menemui Umar di rumahnya, maut hampir menghapirinya. Beliau tetap dalam keadaan tidak sadar hingga semakin parah. Lalu (tiba-tiba) beliau sadar dan mengatakan,”Apakah orang-orang sudah melaksanakan shalat?”
Ibnu Abbas berkata, ”Kami mengatakan,’Ya’.
Lalu Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

”Tidaklah disebut Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu Umar meminta air wudhu, kemudian beliau berwudhu dan shalat. (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209)
Juga dikatakan yang demikian itu oleh semua sahabat yang hadir. Mereka semua tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh Umar.
Perkataan semacam ini juga dapat dilihat dari perkataan Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan tidak diketahui sahabat yang menyelisihinya.
Al Hafidz Abdul Haq Al Isybiliy rahimahullah dalam kitabnya mengenai shalat, beliau mengatakan, ”Sejumlah sahabat dan orang-orang setelahnya berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu kafir karena sebab meninggalkan shalat tersebut hingga keluar waktunya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Umar bin Al Khaththab, Mu’adz bin Jabbal, Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Abud Darda’, begitu juga diriwayatkan dari Ali dan beberapa sahabat.”
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.
Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalahshohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Semoga Allah senantiasa memberi taufik pada para remaja untuk menjaga shalat.
More aboutOrang yang Meninggalkan Shalat Bukanlah Muslim

Bolehkah Langsung Tidur Setelah “Bercinta”

Diposting oleh Mutiarahikmah on Sabtu, 05 April 2014


Setiap muslim pasti paham bahwa setelah berhubungan seksual, suami istri wajib mandi junub untuk mensucikan diri dari hadats besar. Yang menjadi pertanyaan adalah, bolehkah menunda mandi junub dengan tidur terlebih dahulu? Misalnya karena alasan mandi di malam hari terasa dingin dan berat.

Berikut ini 6 hadits yang menjelaskan mengenai masalah tersebut:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَ نَوْمُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَابَةِ أَيَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَوْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ
Dari Abdullah bin Abu Qais dia berkata; "Aku bertanya kepada Aisyah bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidur dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur? Atau tidur sebelum mandi? ' Aisyah menjawab, 'Semua pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.. Kadang beliau mandi dahulu lantas tidur, dan kadang (hanya) wudhu lalu tidur." (HR. An Nasa’i)

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ
Umar bin Al Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah boleh seorang dari kami tidur dalam keadaan dia junub?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Ya. Jika salah seorang dari kalian berwudhu, maka hendaklah ia tidur meskipun dalam keadaan junub." (HR. Bukhari)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَيْسٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ وِتْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قُلْتُ كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِي الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً
Dari Abdullah bin Abi Qais dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah tentang witir Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam. Lalu dia menyebutkan suatu hadits. Aku bertanya lagi, 'Bagaimana (yang harus) beliau perbuat ketika dalam keadaan junub, apakah beliau harus mandi sebelum tidur atau tidur tanpa mandi? ' Aisyah menjawab, 'Sungguh semuanya telah dilakukan beliau, kadang beliau mandi lalu tidur, kadang beliau berwudhu lalu tidur.' Aku berkata, 'Segala puji bagi Allah yang menciptakan dalam perkara tersebut suatu keleluasaan'." (HR. Muslim)

إِذَا أَصَابَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ فَلَا يَنَمْ حَتَّى يَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
"Apabila kalian menggauli istri kalian, kemudian hendak tidur sebelum mandi, maka jangan tidur hingga berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat." (HR. Malik dalam Al Muwatha’)

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجْنِبُ ثُمَّ يَنَامُ وَلَا يَمَسُّ مَاءً حَتَّى يَقُومَ بَعْدَ ذَلِكَ فَيَغْتَسِلَ
Dari Aisyah ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam junub kemudian tidur tanpa menyentuh air. Setelah itu beliau bangun dan mandi." (HR. Ibnu Majah)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ وَلَا يَمَسُّ مَاءً 
Dari 'Aisyah ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah tidur dalam keadaan junub, dan beliau tidak menyentuh air." (HR. Tirmidzi)

Jadi, dari keenam hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa boleh bagi suami istri untuk tidur setelah “bercinta” di malam hari (menunda mandi junub) dan dianjurkan untuk wudhu terlebih dahulu sebelum tidur. Wallahu a’lam bish shawab.
More aboutBolehkah Langsung Tidur Setelah “Bercinta”