بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين, وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين, أما بعد:
Sebagian muslim yang mempunyai hutang puasa terkadang belum membayar hutang puasanya sampai datang bulan Ramadhan selanjutnya, dalam kasus seperti ini apa yang harus dilakukan dalam perihal mengqadhanya?
Kawanku Pembaca seiman…
Harus diketahui bahwa hutang yang dimiliki seorang hamba kepada Allah Ta’ala lebih berhak ditunaikan oleh hamba tersebut.
Dan maksud hutang seorang hamba kepada Allah Ta’ala adalah ibadah-ibadah yang belum dikerjakan padahal diwajibkan atasnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Kawanku Pembaca seiman…
Harus diketahui bahwa hutang yang dimiliki seorang hamba kepada Allah Ta’ala lebih berhak ditunaikan oleh hamba tersebut.
Dan maksud hutang seorang hamba kepada Allah Ta’ala adalah ibadah-ibadah yang belum dikerjakan padahal diwajibkan atasnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
Artinya: “Dan Hutang terhadap Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” HR. BUkhari dan Muslim.
Harus diketahui pula, bahwa seorang yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan, maka ia wajib mengqadhanya sebelum datang Ramadhan selanjutnya.
Harus diketahui pula, bahwa seorang yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan, maka ia wajib mengqadhanya sebelum datang Ramadhan selanjutnya.
Mari perhatikan hadits berikut:
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : ( كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) .
Artinya: “’Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah aku mempunyai hutang puasa dari bulan Ramadhan, lalu aku tidak mampu mengqadhanya melainkan di dalam bulan Sya’ban, yang demikian itu karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” HR. Bukhari dan Muslim.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah mengomentari hadits ini:
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah mengomentari hadits ini:
وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ اهـ
Dan diambil pelajaran dari semangatnya ‘Aisyah radhiyallalhu ‘nha untuk mengqadhanya di dalam bulan Sya’ban, BAHWA TIDAK BOLEH MENGAKHIRKAN QADHA SAMPAI MASUK KE DALAM RAMADHAN YANG LAIN.” Lihat kitab Fath Al Bary ketika mengomentari hari di atas.
Al ‘ainy rahimahullah berkata:
Al ‘ainy rahimahullah berkata:
ومما يستفاد من هذا الحديث أن القضاء موسع ويصير في شعبان مضيقا ويؤخذ من حرصها على القضاء في شعبان أنه لا يجوز تأخير القضاء حتى يدخل رمضان فإن دخل فالقضاء واجب أيضا فلا يسقط
Artinya: “Dan yang diambil manfaat dari hadits ini adalah bahwa, mengqadha itu luas waktunya, tetapi jika masuk bulan Sya’ban menjadi sempit waktunya, dan diambil dari semangatnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengqadha di dalam bulan Sya’ban bahwa TIDAK BOLEH MENGAKHIRKAN QADHA SAMPAI MASUK RAMADHAN YANG LAIN, DAN JIKA MASUK JUGA (RAMADHAN YANG LAIN) MAKA QADHA TETAP WAJIB JUGA, TIDAK JATUH ATASNYA.” Lihat kitab ‘Umdat Al Qary fi Syarh Shahih Al Bukhary.
Dan jika ada yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan kemudian belum diqadha maka orang seperti ini tidak lepas dari dua keadaan:
Keadaan pertama: Pengakhiran qadha dari hutang Ramadhan tersebut karena sebuah alasan yang dibenarkan oleh syari’at, seperti sakit dan sakitnya berlanjutnya sampai datang ramadhan lainnya, atau alasan lain yang mengakibatkan ia tidak mampu untuk mengqadha hutang puasanya.
Orang seperti ini tidak berdosa dan wajibnya baginya mengqadha sejumlah hari yang ia berhutang puasa. Lihat dalil-dalinya berikut ini:
Dan jika ada yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan kemudian belum diqadha maka orang seperti ini tidak lepas dari dua keadaan:
Keadaan pertama: Pengakhiran qadha dari hutang Ramadhan tersebut karena sebuah alasan yang dibenarkan oleh syari’at, seperti sakit dan sakitnya berlanjutnya sampai datang ramadhan lainnya, atau alasan lain yang mengakibatkan ia tidak mampu untuk mengqadha hutang puasanya.
Orang seperti ini tidak berdosa dan wajibnya baginya mengqadha sejumlah hari yang ia berhutang puasa. Lihat dalil-dalinya berikut ini:
{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [التغابن: 16]
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. At Taghabun:16.
{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286]
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”QS. Al Baqarah: 286.
« وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ »
Artinya: “Dan jika Aku perintahkan kalian dengan sebuah perkara maka kerjakanlah darinya sesuai dengan kemampuan kalian.” HR. Bukhari.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
Dan Allah Ta’ala berfirman:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } [البقرة: 184]
Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah: 184.
Keadaan Kedua: Pengakhiran qadha hutang puasa Ramadhan karena kelalaian, kemalasan, peremehan dan tidak mempunyai alasan yang dibolehkan oleh syari’at.
Orang seperti ini, menurut kesepakatan para ulama tetap wajib mengqadha, hal in berdasarkan ayat yang mulia dari surat Al Baqarah yang sudah disebutkan di atas.
Dan terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, APAKAH DISAMPING MENGQADHA JUGA HARUS MEMBAYAR FIDYAH (YAITU MEMBERI MAKAN KEPADA FAKIR MISKIN) SEBAGAI TEBUSAN ATAS PENGAKHIRANNYA TANPA ADA ALASAN YANG DIBENARKAN OLEH SYARI’AT? ATAUKAH HANYA MENGQADHA SAJA?
Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat:
Yang pertama: wajib mengqadha dan membayar fidyah, dan ini adalah pendapatnya Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Asy Syafi’ie, Ishaq, Ats Tsaury dan Al Auza’iy rahimahumullah.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Keadaan Kedua: Pengakhiran qadha hutang puasa Ramadhan karena kelalaian, kemalasan, peremehan dan tidak mempunyai alasan yang dibolehkan oleh syari’at.
Orang seperti ini, menurut kesepakatan para ulama tetap wajib mengqadha, hal in berdasarkan ayat yang mulia dari surat Al Baqarah yang sudah disebutkan di atas.
Dan terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, APAKAH DISAMPING MENGQADHA JUGA HARUS MEMBAYAR FIDYAH (YAITU MEMBERI MAKAN KEPADA FAKIR MISKIN) SEBAGAI TEBUSAN ATAS PENGAKHIRANNYA TANPA ADA ALASAN YANG DIBENARKAN OLEH SYARI’AT? ATAUKAH HANYA MENGQADHA SAJA?
Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat:
Yang pertama: wajib mengqadha dan membayar fidyah, dan ini adalah pendapatnya Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Asy Syafi’ie, Ishaq, Ats Tsaury dan Al Auza’iy rahimahumullah.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
((من فرَّط في صيام شهر رمضان حتى يدركه رمضان آخر فليصم هذا الذي أدركه، ثم ليصم ما فاته، ويطعم مع كل يوم مسكيناً))
Artinya: “Barangsiapa yang meremehkan puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka berpuasalah ia bulan ini yang ia dapati (dari Ramadhan yang kedua) kemudian berpuasalah ia atas apa yang ia tinggalkan, dan memberikan maka setiap harinya seorang miskin.” HR. Ad Daruquthny dan ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Furu’ (5/64): “diriwayatkan oleh Sa’id dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma”, riwayat ini dishahihkan juga oleh An Nawawi di dalam kitab Al Majmu’ (6/346) .
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata tentang seseorang yang sakit lalu tidak berpuasa sampai memuali dulu, ia berpuasa sampai datang Ramadhan yang lain:
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata tentang seseorang yang sakit lalu tidak berpuasa sampai memuali dulu, ia berpuasa sampai datang Ramadhan yang lain:
((يصوم الذي حضره ويصوم الآخر ويطعم كل ليلة مسكيناً))
Artinya: “Ia berpuasa yang telah hadir dan brpuasa lainnya serta memberikan makanan setiap hari seorang miskin.” HR. Ad daruquthny (2/197) dan beliau berkata: “Sanadnya shahih mauquf.”
Yang kedua : wajib mengqadha saja. Dan ini pendapatnya Al Hasan Al Bashry, An Nakh’i, Al Bukhari berkata di dalam kitab shahihnya:
Yang kedua : wajib mengqadha saja. Dan ini pendapatnya Al Hasan Al Bashry, An Nakh’i, Al Bukhari berkata di dalam kitab shahihnya:
قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني : النخعي- : إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا ، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ . ثم قال البخاري : وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ ، إِنَّمَا قَالَ : ( فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) اهـ
“Berkata Ibrahim yaitu An Nakh’i: “Jika ia meremehkan sampai datang ramadhan lain, maka ia berpuasa pada keduanya dan ia tidak berpendapat ada kewajiban fidyah atasnya dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) membayar fidyah, kemudia Al Bukhari berkata: “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman: “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Yang ketiga: Wajib membayar fidyah saja. Dan ini adalah pendapatnya Abdullan bin Umar radhiyallahub ‘anhuma. Beliau berkata:
Yang ketiga: Wajib membayar fidyah saja. Dan ini adalah pendapatnya Abdullan bin Umar radhiyallahub ‘anhuma. Beliau berkata:
((من أدركه رمضان ولم يكن صام رمضان الخالي فليطعم مكان كل يوم مسكيناً مُدّاً من حنطة)).
Artinya: “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan dan belum berpuasa pada ramadhan yang lalu maka hendaklah ia memberi makan setiap harinya seorang miskin sebanyak satu mud dari gandum.” HR. Ad DaruQuthny (2/196) dan Ibnu Muflih berkata: “Disebutkan oleh Ath Thahawy dari riwayat Abdullah Al ‘Umary dan di dalam sanadnya terdapat lemah, riwayat dari Abdullah bin Umar; bahwa memberikan makan tanpa qadha’.” Lihat kitab AL Furu’ (5/74).
PENDAPAT LEBIH KUAT YANG DIPILIH OLEH PENULIS ADALAH PENDAPAT KEDUA YAITU HANYA DENGAN MENGQADHA TANPA FIDYAH, mari perhatikan penjelasan berikut:
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
PENDAPAT LEBIH KUAT YANG DIPILIH OLEH PENULIS ADALAH PENDAPAT KEDUA YAITU HANYA DENGAN MENGQADHA TANPA FIDYAH, mari perhatikan penjelasan berikut:
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
وأما أقوال الصحابة فإن في حجتها نظراً إذا خالفت ظاهر القرآن ، وهنا إيجاب الإطعام مخالف لظاهر القرآن ، لأن الله تعالى لم يوجب إلا عدة من أيام أخر ، ولم يوجب أكثر من ذلك ، وعليه فلا نلزم عباد الله بما لم يلزمهم الله به إلا بدليل تبرأ به الذمة ، على أن ما روي عن ابن عباس وأبي هريرة رضي الله عنهم يمكن أن يحمل على سبيل الاستحباب لا على سبيل الوجوب ، فالصحيح في هذه المسألة أنه لا يلزمه أكثر من الصيام إلا أنه يأثم بالتأخير . اهـ الشرح الممتع (6/451) .
Artinya: “Dan adapun perkataan para shahabat, sesungguhnya di dalam kehujjahannya menjadi perhatian jika menyelisihi zhahir ayat Al Quran, dan disini pewajiban memberi makan (yaitu membayar fidyah) menyelisihi zhahir Al Quran, karena Allagh ta’ala belum mewajibkan kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan tidak mewajibkan lebih daripada itu, maka berdasarkan hal ini kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggun jawab, apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin dibawa dalam jalur anjuran dan bukan dalam jalur kewajiabn, maka yang yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya lebih daripada puasa, tetapi ia berdosa ata pengakhirannya.” Lihat kitab Asy Syarh Al Mumti’ (6/451).
Semoga bermanfaat.
Semoga bermanfaat.