Bolehkah menyalatkan orang yang mati bunuh diri? Misalnya, ia sengaja menggantung dirinya, menusuk diri dengan sebilah pisau, membakar diri, mengonsumsi racun atau menenggelamkan dirinya di tepi pantai. Sebagian muslim menganggap ia tidak boleh dishalatkan. Namun bagaimana pandangan Islam itu sendiri?
Ada yang pernah bertanya pada Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam,
“Kami pernah dapati orang yang mati tergantung di atas pohon dan di lehernya terdapat tali. Kami tidak mengetahui apakah orang tersebut mati tercekik (karena bunuh diri) atau ada yang membunuhnya lalu menggantungnya di atas pohon. Jika dia membunuh dirinya sendiri dengan menggantung dirinya di atas pohon, apakah ia dishalatkan oleh kaum muslimin?”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Jika ia seorang muslim, maka ia tetap dishalatkan baik ia mati bunuh diri atau dibunuh oleh orang lain. Jika ia sampai membunuh dirinya sendiri, itu termasuk dosa besar. Karena seorang muslim tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Allah mengharamkan seseorang membunuh dirinya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya pada hari kiamat, niscaya ia akan disiksa dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika ia jelas bunuh diri, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar. Namun ia tetap dishalatkan. Walau ada yang berbeda penilaian, namun yang tepat ia tetap dishalatkan. Sebagian muslim tetap menyolatkan, memandikan, mengafani dan menguburkannya.
Begitu pula ketika diketahui ia dibunuh oleh orang lain secara zalim, ia tetap dimandikan dan dishalatkan. Ia dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Wallahul musta’an. Laa hawla wa laa quwwata illa billah, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah.
Demikian fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang penulis ambil dari website pribadi beliau.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Umat Islam bersepakat bahwa orang yang melakukan dosa meskipun melakukan dosa besar tetap dishalatkan. Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
صلوا على كل من قال لا إله إلا الله محمد رسول الله
“Shalatkanlah setiap orang yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallahu Muhammad Rasulullah (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah)”, meskipun dalam sanadnya ada kelemahan. Apa yang kami sebutkan dari ijma (konsensus) dapat menguatkan dan menshahihkannya.” (Al Istidzkar, 3: 29)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Al Qadhi mengatakan, menurut pendapat para ulama, setiap jenazah muslim baik meninggal karena suatu hukuman, dirajam, bunuh diri dan anak zina tetap dishalatkan. Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa pemimpin umat sebaiknya tidak menyalati orang seperti itu ketika ia dihukum mati karena suatu hukuman. Dari Az Zuhri, ia berkata bahwa orang yang terkena hukuman raja dan yang diqishash tetap dishalatkan. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berbuat keonaran dan orang yang terbunuh dari kalangan kelompok pembangkang tidak dishalatkan.” (Lihat Syarh Muslimkarangan Nawawi)
Dalil yang menunjukkan akan kewajiban shalat kepada pelaku kemaksiatan adalah apa yang diriwayatkan oleh Samurah radhiyallahu anhu,
أَنَّ رَجُلا قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَمَّا أَنَا فَلا أُصَلِّي عَلَيْه
“Ada orang yang bunuh diri dengan pisau, maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kalau saya, maka saya tidak shalatkan dia.” (HR. An Nasa’i no. 1964 dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Nampaknya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujui para sahabat yang menyalatinya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam enggan menyalatinya sebagai hukuman terhadap kemaksiatannya dan sebagai pelajaran bagi orang lain atas perbuatannya.
Ini menunjukkan dianjurkannya menyalatkan pelaku maksiat kecuali pemimpin umat. Seyogyanya dia tidak menyalatkan pelaku dosa besar yang terus menerus dan mati dalam kondisi seperti itu. Hal ini dilakukan karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya yang lain jera dan tidak melakukan semacam itu.
Ibnu Abdul Barr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menyalati pelaku dosa besar. Akan tetapi tidak boleh melarang orang lain menyalatkannya. Bahkan ia harus memberikan arahan pada orang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan, ‘Shalatkanlah sahabat kalian’.” (Al Istidzkar, 5: 85)
Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.