Didih atau saren dalam bahasa jawa adalah
darah yang mengalir dari hewan yang disembelih seperti ayam atau lainnya. Darah
yang mengalir tersebut dibiarkan membeku untuk kemudian dikonsumsi. Simak penjelaasannya berikut :
Darah haram dimakan berdasarkan ayat yang
telah disebutkan di atas. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa darah itu haram
dan najis, tidak boleh dimakan dan dimanfaatkan.” (Tafsir al-Qurthubi,
2/221).
Darah yang diharamkan disini adalah darah
yang mengalir, yang ditumpahkan, sebagaimana halnya yang disebutkan dalam ayat:
“Katakanlah,
“Tidaklah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua
itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang
siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. al-An’am:
145)
Ayat ini dengan tegas mengharamkan darah yang
mengalir (Dam Masfuh), adapun darah yang tidak mengalir, seperti yang darah
yang terdapat pada urat-urat daging atau yang melekat pada dagingnya, darah ini
diperbolehkan.
Ath-Thabari
menerangkan, “Penyebutan
syarat‘mengalir’, bukan yang lainnya, adalah dalil yang jelas bahwa darah
yang tidak mengalir itu halal dan bukan najis.” (Tafsir ath-Thabari,
9/633).
Kita sendiri menyaksikan ketika kita rendam
daging untuk kita masak, kita dapatkan air berubah merah. Darah ini bukan darah
masfuh yang disebut dalam ayat, jika darah ini juga haram niscaya ini adalah
perkara yang sangat memberatkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh
berkata, “Telah shahih bahwasanya mereka
(para sahabat) menaruh daging ke dalam bejana, sementara itu darah yang bercampur
air terlihat membentuk garis-garis. Tentang hal ini aku tidak mengetahui ada
perselisihan di kalangan para ulama bahwa hal itu dimaafkan dan tidak dianggap
najis, menurut kesepakatan mereka.” (al-Fatawa, 21/524)
Beliau juga berkata: “… Para sahabat Radhiyallahu’anhum di masa Nabi
Shallallahu’alaihiwasallam selalu mengambil daging lantas memasak dan
memakannya tanpa mencucinya terlebih dahulu, dalam keadaan mereka melihat darah
dalam bejana membentuk garis-garis. Sebab, Allah Ta’ala hanya mengharamkan
kepada mereka darah yang mengalir dan yang tumpah, adapun yang tersisa pada
urat-urat tidak diharamkan.” (al-Fatawa, 21/522)
Termasuk yang dikecualikan pula dari hukum
haramnya darah adalah yang telah berbentuk menjadi hati dan limpa. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
ُ “Telah
dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis
bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah adalah hati dan
limpa.” (HR. Ahmad, 2/97).
Jika telah jelas diharamkannya darah yang
mengalir, maka tidak boleh mengkonsumsinya. Adapun persangkaan bahwa saren atau
didih adalah sebab tambahnya darah, maka ketahuilah bahwa Allah tidak
menjadikan kesembuhan itu dengan sebab yang harom. Wabillahittaufiq.