Apa Hukum Talqin?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 31 Oktober 2012






Tanya: Apa hukum talqin?
Jawab: Talqin itu ada dua macam: yaitu Talqin sunnah dan Talqin bid’ah
[Pertama] Talqin Sunnah
( 501 ) – وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian ucapan laa ilah illallah” (Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no 501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan kitab hadits yang empat [Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, pent]”).
Ibnu Utsaimin pernah ditanya,
“Apa yang perlu dilakukan oleh orang yang duduk di dekat orang yang hendak meninggal dunia? Apakah membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amal yang berdasar hadits yang shahih atau tidak?”.
Jawaban beliau,
“Membesuk orang yang sakit adalah salah satu hak sesama muslim, satu dengan yang lainnya. Orang yang menjenguk orang yang sakit hendaknya mengingatkan si sakit untuk bertaubat dan menulis wasiat serta memenuhi waktunya dengan berdzikir karena orang yang sedang sakit membutuhkan untuk diingatkan dengan hal-hal ini.
Jika si sakit dalam keadaan sekarat dan orang-orang di sekelilingnya merasa yakin bahwa si sakit hendak meninggal dunia maka sepatutnya orang tersebut ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana perintah Nabi.
Orang yang berada di dekat orang yang sedang sakaratul maut hendaknya menyebut nama Allah (baca: laa ilaha illallah) di dekatnya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang sedang sekarat sehingga dia menjadi ingat. Para ulama mengatakan dia sepatutnya menggunakan kalimat perintah untuk keperluan tersebut karena boleh jadi dikarenakan sedang susah dan sempit dada orang yang sekarat tadi malah tidak mau mengucapkan laa ilaha illallah sehingga yang terjadi malah suul khatimah. Jadi orang yang sedang sekarat tersebut diingatkan dengan perbuatan dengan adanya orang yang membaca laa ilaha illallah di dekatnya.
Sampai-sampai para ulama mengatakan bahwa jika setelah diingatkan untuk mengucapkan laa ilaha illallah orang tersebut mengucapkannya maka hendaknya orang yang mentalqin itu diam dan tidak mengajaknya berbicara supaya kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah. Jika orang yang sedang sekarat tersebut mengucapkan sesuatu maka talqin hendaknya diulangi sehingga kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah.
Sedangkan membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amalan yang dianjurkan oleh banyak ulama mengingat sabda Nabi, “Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian”.
Akan tetapi derajat hadits ini diperbincangkan oleh sebagian ulama. Jadi kesimpulannya, menurut ulama yang menshahihkan hadits tersebut maka membaca surat Yasin di dekat orang yang meninggal dunia adalah amalan yang dianjurkan. Sedangkan menurut ulama yang menilainya sebagai hadits yang lemah maka perbuatan tersebut tidaklah dianjurkan” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/40, Asy Syamilah).
[Kedua] Talqin Bid’ah
وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ .أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا .
Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” [Dalam Bulughul Maram no hadits 546, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada shahabat). Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi)].
Muhammad Amir ash Shan’ani mengatakan, “Setelah membawakan redaksi hadits di atas al Haitsami berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak kukenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin Abdullah dan dia adalah seorang perawi yang lemah…. Al Atsram mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang apa yang dilakukan oleh banyak orang ketika jenazah telah dimakamkan ada seorang yang berdiri dan berkata, ‘Wahai fulan bin fulanah’. Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang melakukannya melainkan para penduduk daerah Syam ketika Abul Mughirah meninggal dunia. Tentang masalah tersebut diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari guru-guru mereka bahwa mereka, para guru, melakukannya”. Menganjurkan talqin semacam ini adalah pendapat para ulama bermazhab Syafii.
Dalam Al Manar Al Munif, Ibnul Qoyyim mengatakan,
“Sesungguhnya hadits tentang talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh para ulama hadits sebagai hadits palsu. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya dari Hamzah bin Habib dari para gurunya yang berasal dari daerah Himsh (di Suriah, Syam, pent). Jadi perbuatan ini hanya dilakukan oleh orang-orang Himsh….
Dalam Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim juga berkata tegas sebagaimana perkataan beliau di Al Manar Al Munif. Sedangkan di kitab Ar Ruuh, Ibnul Qoyyim menjadikan hadits talqin di atas sebagai salah satu dalil bahwa mayit itu mendengar perkataan orang yang hidup di dekatnya. Terus-menerusnya talqin semacam ini dilakukan dari masa ke masa tanpa ada orang yang mengingkarinya, menurut Ibnul Qoyyim, sudah cukup untuk dijadikan dalil untuk mengamalkannya. Akan tetapi di kitab Ar Ruuh, beliau sendiri tidak menilai hadits talqin di atas sebagai hadits yang shahih bahkan beliau dengan tegas mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang lemah.
Yang bisa kita simpulkan dari perkataan para ulama peneliti sesungguhnya hadits tentang talqin di atas adalah hadits yang lemah sehingga mengamalkan isi kandungannya adalah bid’ah (amalan yang tidak ada tuntunannya). Tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang yang mempraktekkannya” (Subulus Salam 3/157, Asy Syamilah).
Syeikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin.
Jawaban beliau,
“Talqin itu dilakukan ketika hendak meninggal dunia yaitu pada saat proses pencabutan nyawa. Orang yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika pamannya, Abu Thalib hendak meninggal dunia. Nabi mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaha illallah, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk membelamu di hadapan Allah’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya sehingga mati dalam keadaan musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amal yang bid’ah karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi tentang hal tersebut. Yang sepatutnya dilakukan adalah kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya lalu berkata, ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia diberi keteguhan dalam memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya’.
Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amal yang bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah).