Umur umat Nabi Muhammad saw berkisar 60-70 tahun. Namun berkat rahmat Allah swt, umur yang singkat tersebut bisa mendatangkan keberkahan dengan cara melakukan amal-amal shalih pada waktu-waktu yang diberkahi (al-awqot al-mubarokah). Di antara waktu-waktu yang diberkahi tersebut adalah Malam Qadr (Laylatul Qadr) pada malam-malam 10 terakhir di bulan Ramadhan. Amal shalih yang dilakukan pada Malam Qadr lebih baik dari amal seribu bulan (80 tahun) sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qadr ayat 3, ‘Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan’.
Selain Malam Qadr, Allah swt juga memberikan kita waktu istimewa lainnya, yaitu sepuluh hari-hari pertama di bulan Dzulhijjah (Ayyam al-Asyri min Dzilhijjah), baik siang atau malamnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ – يَعْنِى أَيَّامُ الْعَشْرِ – قِيْلَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ شَيْئٌ
‘Tidaklah ada hari-hari di mana amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah dibanding hari-hari ini (yakni 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah)’. Lalu para sahabat berkata, ‘Tidak juga jihad di jalan Allah, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar untuk berjihad dengan diri dan hartanya kemudian semuanya itu tidak kembali lagi (yakni mati syahid)’. (Riwayat Bukhari).
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, ‘Yang jelas, sebab yang membuat istimewa Ayyam al-Asyri min Dzilhijjah adalah karena bersatunya induk ibadah (ummahat al-ibadah) di dalamnya, yaitu shalat, puasa, sedekah, dan haji. Sedangkan pada hari-hari yang lain, tidak ditemukan yang demikian’.
Amalan Umum Bulan Dzulhijjah
Bulan Dzulhijjah termasuk salah satu dari empat Bulan Suci (Syahr al-Haram). Tiga bulan lainnya adalah Dzulqa’dah, Muharram, dan Rajab. Secara umum, dianjurkan untuk meningkatan amal shalih di empat bulan suci tersebut, misalnya membaca al-Quran, memperbanyak zikir dan doa, memperbanyak sedekah (untuk kerabat dan orang lain), infak, amar ma’ruf nahyu munkar, menunjukkan bakti kepada orangtua (birrul walidayn) baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, memperbanyak sujud melalui shalat-shalat sunat, shalat berjamaah pada shaf terdepan, meninggalkan perbuatan dosa, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah swt dalam surat at-Taubah/9: 36, ‘Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu berbuat zalim terhadap dirimu dalam bulan yang empat itu…’
Yang dimaksud ayat ‘janganlah kamu berbuat zalim terhadap dirimu’ adalah jangan sampai terjerumus dalam perbuatan-perbuatan dosa. Agar diri kita tidak terjerumus perbuatan dosa, maka kita melakukan amal-amal shalih.
Amalan Khusus Bulan Dzulhijjah
Secara khusus, amalan-amalan di bulan Dzulhijjah ditekankan pada 10 hari-hari pertama di bulan Dzulhijjah (Ayyam al-Asyri min Dzilhijjah) sebagaimana pada hadits di atas. Hadits di atas tidak menyebut jenis amalnya, namun amal shalih apa saja yang dilakukan pada waktu tersebut memiliki nilai istimewa di mata Allah swt.
Amalan-amalan tersebut sebagai berikut.
Pertama, amal-amal shalih apa saja yang dilakukan pada 10 hari-hari pertama di bulan Dzulhijjah.
Kedua, melakukan haji dan umrah.
Ketiga, memperbanyak tahlil, takbir, dan tahmid. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ، فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ – رواه الطبراني فى المعجم الكبير
Tidaklah ada hari-hari yang lebih mulia di sisi Allah dan amal-amal shalih di dalamnya lebih dicintai-Nya dibanding amal-amal shalih pada 10 hari-hari pertama bulan Dzulhijjah. Oleh karena itu perbanyaklah mengucap tahlil, takbir, dan tahmid’ (Riwayat at-Thabrani).
Takbir ada dua: muthlaq (tidak terikat) dan muqoyyad (terikat). Takbir muthlaq dilakukan ketika masuk awal Dzulhijjah sampai 13 Dzulhijjah (akhir hari Tasyriq). Adapun takbir muqoyyad dilakukan sehabis shalat fardhu, yaitu mulai dari selesai shalat Subuh 9 Dzulhijjah sampai sehabis shalat Ashar 13 Dzulhijjah (akhir hari Tasyriq). Pada hari Idul Adha dianjurkan untuk melakukan takbir muthlaq dan muqoyyad.
Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah/2: 203, ‘Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang (yakni hari-hari Tasyriq tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah)…
Redaksi takbir (yang di dalamnya juga memuat tahlil dan tahmid):
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Boleh juga ditambah dengan:
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.
Bagi laki-laki sunnah mengeraskan takbir, dan bagi wanita sunnah sebaliknya.
Keempat, Puasa pada hari 9 Dzulhijjah bagi yang tidak melakukan ibadah haji. Diriwayatkan seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang puasa Arafah?’ Rasulullah menjawab,
إِنِّى أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ – رواه مسلم والترمذي، واللفظ للترمذي
‘Aku berharap kepada Allah agar puasa tersebut dapat menghapus dosa pada tahun yang lalu dan dosa tahun yang akan datang’ (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi)
Kelima, melakukan shalat Idul Adha dan mendengarkan khutbah Idul Adha.
Shalat Idul Adha dilakukan di masjid jika luas, jika tidak maka di tempat yang lebih luas, semisal lapangan, alun-alun, tempat terbuka, dsb.
Keenam, melakukan qurban binatang ternak (kambing, kerbau, sapi, dan unta) setelah shalat Idul Adha tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Allah berfirman dalam surat al-Kautsar 1-3,’Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus’.
Allah berfirman dalam surat al-Hajj ayat 34 dan 36, ‘Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka…’
Dan telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, karena kamu mendapatkan kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Rasulullah saw bersabda,
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لِأَنْ يُضَحِّيَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَخْضُرَنَّ مُصَلاَّنَا – رواه الحاكم
‘Barangsiapa yang diberi keluasan rizki untuk berqurban namun ia tidak berqurban, maka janganlah ia masuk ke dalam tempat shalat kami’ (Riwayat al-Hakim)
Mayoritas ulama (Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad) menilai qurban hukumnya sunnat muakkad, tidak seperti Imam Abu Hanifah yang menilainya sebagai wajib.
أَنَّ أًصْحَابَ رَسُوْلِ اللهِ قَالُوْا: مَا هَذِهِ اْلأَضَاحِى؟ فَقَالَ: سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ، قَالُوْا: فَمَا لَنَا فِيْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ، قَالُوْا: فَالصُّوْفُ؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنَ الصُّوْفِ حَسَنَةٌ – رواه الترمذي وأبن ماجة والحاكم وغيرهم
Suatu kali, Rasulullah ditanya para sahabatnya, ‘Wahai Rasulullah, apakah qurban itu?’. Rasulullah menjawab, ‘Qurban adalah sunnah ayah kalian, yaitu Ibrahim’. Para sahabat kembali bertanya, ‘Jika kami ber-qurban, apa yang kami dapatkan dari qurban itu?’. Rasulullah menjawab, ‘Pada setiap helai rambutnya, terdapat kebaikan’. Para sahabat kembali bertanya, ‘Bagaimana dengan bulu-bulunya?’. Rasulullah menjawab, ‘Pada setiap helai bulunya juga terdapat kebaikan’. (Hadits hasan, riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim, dll).waallahua'lam