Perhatikan pasangan hidup anda saat ini, dan tanyakan kepada diri sendiri, “Sudahkah memahami dan mengerti kondisinya hari ini?” Semoga anda bisa menjawab pertanyaan berikut ini:
“Tahukah apa yang sedang diinginkannya hari ini?”
“Tahukah anda, apa yang sedang dipikirkannya?”
“Tahukah anda apa yang menggelisahkan hatinya?”
Dalam kehidupan berumah tangga, sering ditemukan ketidakharmonisan antara suami dan isteri. Masing-masing merasa tidak dipahami oleh pasangan. Isteri menganggap suami terlalu egois, hanya mementingkan urusan dirinya sendiri, tanpa peduli kondisi dan keinginan isteri. Sebaliknya, suami menganggap isteri sangat mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan harapan suami. Mereka berdua saling menuntut dipahami oleh pasangan.
Pagi-pagi isteri merasa sangat sibuk dengan urusan rumah tangga. Bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, dan menyiapkan keperluan anak-anak yang akan berangkat sekolah. Dengan kesibukan pagi harinya, isteri merasa lelah dan akhirnya kesal dengan sikap suami yang tidak pernah mau membantu urusan rumah tangga. Ia melihat suami hanya bersantai di depan laptop atau komputer, tidak mempedulikan kesibukan pagi yang sangat menyita waktu, perhatian dan tenaga.
Sementara suami merasa perlu menyiapkan diri untuk bisa bekerja di kantor pada hari itu dengan kondisi prima. Selepas shalat Subuh ia masih menyiapkan beberapa urusan kantor. Menghidupkan komputer, membuka email, membaca berbagai berita. Itu semua penting bagi dirinya agar bisa masuk kerja dengan persiapan yang baik. Merasa lebih konfidens dengan berbagai “sarapan” berupa informasi terkini. Ia tidak mau diganggu oleh “teriakan” isteri yang memintanya melakukan beberapa urusan rumah tangga.
“Tolong siapkan tas sekolahnya adik dong Pa. Ini Mama masih belum selesai menyiapkan sarapan”, kata isteri dari dapur.
Suami yang tengah asyik di depan komputer tampak tenang saja dan tidak menunjukkan reaksi positif atas permintaan tersebut. Isteri mengulang permintaan tersebut dengan nada yang lebih tinggi, berharap suami mau membantunya. Namun seakan ia tengah berbicara dengan tembok. Tidak ada respon, bahkan untuk sekedar menjawab dengan “Ya” atau “Sebentar Ma”. Kondisi ini memicu emosi isteri yang merasa tidak dipedulikan dan tidak dipahami oleh suami.
Sementara suami merasa sangat tidak nyaman dengan “teriakan-teriakan” dari dapur tersebut, dan menganggap isteri tidak memahami betapa penting aktivitas yang sedang dilakukannya. Sebagai seorang profesional, ia merasa harus mendapat banyak berita dan informasi terkini, sebelum masuk kerja. Dengan cara itu ia merasa telah menggenggam dunia. Semua aktivitas pagi hari di depan komputer, baginya adalah bagian dari kerja profesional. Sementara sang isteri menganggap itu sebagai bagian dari kemalasan lelaki.
Saling Memahami
Jika anda merasa pasangan anda tidak memahami anda, tanyakan kepada diri sendiri apakah anda sudah berusaha memahami dia? Jangan menuntut pasangan memahami anda, kalau anda sendiri tidak mau memahami dia. Kuncinya di sini: anda harus menjadi orang pertama yang memahami pasangan anda. Jika ini yang terjadi, kedua belah pihak akan saling memahami.
Jika kedua belah pihak menuntut dipahami oleh pasangannya, maka yang terjadi tak ada satupun dari keduanya yang memahami pasangan. Yang terjadi hanyalah suasana ketegangan karena saling menuntut hak untuk dipahami. Ungkapan berikut merupakan contoh tuntutan yang tidak efektif, apabila diungkapkan oleh kedua belah pihak:
“Engkau sangat egois, tidak pernah memahami diriku. Engkau hanya peduli urusanmu sendiri”.
“Cobalah engkau belajar memahami diriku, jangan aku yang harus selalu memahamimu”
“Mengapa engkau tak mau mengerti kondisi diriku? Bukankah aku selalu memahami kondisimu?”
Jika suami dan isteri menuntut hal yang serupa seperti di atas, maka sesungguhnya mereka berdua tidak akan pernah saling memahami pasangannya. Kedua belah pihak menuntut untuk dipahami, bukan berusaha memahami. Ujungnya hanyalah pertengkaran dan perasaan tidak dipahami oleh pasangan.
Melelehkan Kebekuan
“Terimalah aku apa adanya”, ungkap seorang isteri kepada suaminya. Kalimat tersebut benar, namun bisa digunakan secara tidak benar. Menjadi benar apabila dimaksudkan suami dan isteri harus saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, tidak menuntut hal yang berlebihan dan di luar kesanggupan pasangan. Menjadi tidak benar apabila dimaksudkan untuk menyatakan ketidakmauan berubah.
“Aku memang seperti ini. Tidak akan bisa berubah. Terserah kamu akan berkata apa”.
Itu kalimat yang salah. Semua dari kita bisa berubah, karena sifat manusia yang sangat lentur dan bisa dibentuk. Maka keinginan untuk dipahami harus bermula dari melelehkan kebekuan diri, jangan enggan untuk memulai, jangan enggan untuk membuka diri dan berubah menyesuaikan dengan keinginan pasangan.
Lilin yang kelihatan kokoh tegak, ternyata mudah leleh oleh panas. Es yang sangat keras membeku, ternyata mudah cair oleh suhu udara. Yang diperlukan adalah usaha dan energi, yaitu energi untuk memahami, energi untuk mengerti, energi untuk berubah menyesuaikan keinginan dan harapan pasangan. Jika energi itu dikeluarkan dengan kesungguhan, maka akan sangat mudah belajar memahami dan mendalami relung-relung hati dan perasaan pasangan.
Yang sulit hanyalah awalnya. Setelah usaha dicurahkan untuk memahami pasangan, maka kebekuan pun mencair, meleleh menjadi bentuk yang sangat lunak. Tidak perlu ada kesombongan diri yang menutup untuk memulai hal baru. Tidak perlu memenangkan ego yang mengajak untuk selalu bertahan dan tidak mau mengalah.
Berusahalah untuk selalu memahami pasangan, setiap saat, setiap waktu. Dengan cara itu, anda akan mendapatkan cintanya yang sangat menggebu.wallahualam........