Islam memang tidak menentukan konsep yang pasti mengenai kriteria “wanita cantik”, dan juga tidak menentukan bagaimana penampilan seorang wanita agar nampak lebih cantik.Islam hanya membahas konsep tentang bagaimana wanita Muslimah harus berpenampilan pada berbagai kesempatan,dan kepada siapa saja ia dapat sepenuhnya menunjukkan kecantikannya.
Di depan pria lain,tentu wanita wajib berpenampilan sesuai dengan syariat; menutupi seluruh bagian tubuh,termasuk leher,kaki,dan rambut—meski hanya sehelai saja—selain wajah dan kedua dampal tangan.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (An-Nur:31)
Di samping itu,busana yang ia kenakan tidak boleh terlalu tipis sehingga kulitnya bisa kelihatan,dan juga tidak boleh terlalu ketat sehingga tampak bentuk lekuk tubuhnya.
Di depan suami, ia dianjurkan melakukan tindakan-tindakan tertentu yang membikin penampilannya lebih menarik hati, seperti bersolek dan berpenampilan rapi dan bersih. Namun perlu dicamkan, ketika melakukan upaya mempercantik diri—seperti memperindah bentuk tubuh atau memutihkan wajah—ia harus menyadari bahwa itu semua semata-mata untuk meraih pahala dan ridha Allah.
Dengan demikian,intisari kecantikan wanita dalam agama Islam, jika sudah sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan Allah I. Tidak mengesampingkan aturan tersebut dan malah menuruti hawa nafsu.Tidak boleh mengikuti ketentuan-ketentuan yang murni ditetapkan oleh pemikiran manusia. Lebih-lebih pandangan hidup sekuler Barat yang cenderung menyuguhkan konsep kebebasan. Kita harus tetap berpegang teguh kepada sabda Nabi r, bahwa wanita shalihah adalah (seperti) perhiasan dunia yang paling mahal dan bernilai.
Kita bandingkan antara perhiasan mahal dan perhiasan murah.
Perhiasan mahal biasanya memiliki ciri-ciri: 1) dijual di toko berkelas; 2) disimpan di etalase yang hanya bisa dipandang dari balik kaca; 3) disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh; 4) tidak boleh dicoba dulu; 5) harganya mahal dengan jaminan memuaskan; dan 6) bergaransi. Sedangkan perhiasan murah biasanya memiliki ciri-ciri: 1) ada di toko murah, di emperan, atau di pasar; 2) tidak disegel; 3) diobral; 4) boleh dicoba, bebas disentuh, dipegang, dicoba berulang kali oleh banyak orang; 5) setelah dicoba boleh tidak jadi dibeli; dan 6) tidak ada garansi.Islam memperlakukan wanita persis seperti perhiasan mahal.
Pengertian filosifi dari perbandingan di atas: “toko berkelas” adalah keluarga Muslim yang bermartabat dan taat pada agama; “disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh” adalah prinsip di balik busana muslimahnya; “tidak bisa dicoba dulu” adalah prinsip menjaga kehormatan dengan tidak bisa dicumbui atau digauli tanpa dinikahi dulu; “harganya mahal” adalah pembelinya harus pria yang juga “mahal”.
Pria murahan tidak akan sanggup “membeli” wanita mahal karena tidak akan berani,segan,malu mendapatkannya, dan merasa dirinya tidak seimbang; “bergaransi” adalah orisinal, dijamin masih steril, perawan, dan belum pernah disentuh pria lain.
Jelas, menutupi aurat adalah menjaga diri, menyegel diri, menghormati diri,dan memuliakan diri.Wanita yang menutupi aurat dengan benar adalah perhiasan mahal yang tersimpan dalam etalase,terjaga dalam sebuah kotak yang tidak bisa dibuka, tersegel, tidak bisa disentuh, dan harganya mahal.
Sebaliknya, wanita yang membuka aurat, mulai dari betis, paha, lengan, rambut, leher, dada, apalagi lebih dari itu, adalah “barang obralan” yang murah, tidak perlu repot-repot ingin membukanya karena ia sudah membukanya sendiri secara “gratis”, silakan bebas menatapnya, bahkan menyentuh, meraba, mencicipi, dan menikmatinya.Kalau semisal sudah jemu, atau tidak cocok, boleh tidak jadi memilikinya.
Jadilah ia barang bekas alias sampah. Barang bekas tentu murah dan tidak berkualitas, karena sudah pernah dipakai.
Mengapa wanita yang seharusnya mahal menjadi murah? Sebagaimana penjelasan Rosulullah karena hilangnya rasa malu: “Al-hayâ’u minal-îmân” (malu itu sebagian dari iman). “Iman itu ada tujuh puluh cabang dan malu adalah salah satunya.” (HR. Muslim).
Sehubungan dengan ilustrasi perhiasan mahal tadi, sering bermunculan pertanyaan-pertanyaan “konyol” sebagai berikut: pertama, bagaimana dengan wanita yang menutupi aurat tapi tidak menjaga akhlak, bebas berpacaran, bermesraan, dan banyak disentuh, apalagi sudah tidak perawan? Ia adalah “barang mahal” yang palsu, aslinya murah, bungkusnya pun murah, kerudungnya hanya tren, mode, atau ikut-ikutan, sehingga gampang dibuka, dan bahkan dicoba;
Kedua,:bagaimana dengan wanita yang merasa tidak perlu menutupi aurat, yang penting bisa menjaga diri? Itu hanya alasan belum bisa taat pada agama. Kalau benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal yang diobral. Barang bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah nilainya dari barang mahal yang tidak diobral;
Ketiga,: bagaimana dengan wanita yang mengatakan: “Ah, yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya parah, mendingan begini, ndak berkerudung tapi punya prinsip”? Itu artinya menutupi kesalahan dengan kesalahan lain. “Berkerudung tapi kelakuannya parah” adalah salah, “mendingan begini, ndak berkerudung tapi punya prinsip” juga salah. Jadi, ia lari dari satu kesalahan dan bersembunyi dalam kesalahan lain;
Keempat,: bagaimana dengan wanita yang berusaha mengotak-atik pengertian “aurat” dengan logika, kemudian berkesimpulan menutupi aurat tidak perlu? Menutupi aurat adalah perintah Allah I yang nash-nya sangat jelas dalam al-Qur’an dan Hadis, tak bisa ditawar lagi. Kalau yang menyatakan pria, berarti sedang memaksakan keinginan untuk merendahkan kaum wanita menjadi barang murahan. Kalau ia adalah wanita, secara tidak langsung sedang memerkosa dirinya dan wanita lain agar menjadi barang murahan.
Kelima,: bagaimana dengan pemikir, sebagian tokoh, bahkan ahli tafsir kontemporer yang mengatakan menutupi aurat seluruh tubuh itu tidak perlu, karena pengertian “sebenarnya” tentang aurat, ditilik dari bahasa Arab, ulûmul-Qur’ân, ilmu Tafsir, ilmu Hadis, sejarah, dsb. bukanlah seluruh tubuh kecuali muka dan dampal tangan? Seluas apapun ilmunya, ia sedang melegitimasi penolakannya kepada perintah Allah I dan tuntunan Nabi r dengan pemikirannya, yang berdasarkan hawa nafsu tapi mengatasnamakan ilmu agama. Ini paling berat pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Keenam, karena masih ada sebagian “orang pintar” dan “ahli agama” yang memperdebatkan, bagaimana sebenarnya batasan aurat yang pasti bagi wanita? Yang jelas, aurat yang diperintahkan Allah I untuk ditutupi ketika salat, adalah batasan aurat yang pasti. Tidak bisa ditawar lagi (baca: dikurangi). Mengenai pendapat yang menyatakan seluruh anggota tubuh, itu masih kontroversial. Tapi untuk lebih hati-hati, alangkah baiknya mengikuti pendapat ini. Wallâhu a’lam!