1. Apakah boleh seorang isteri puasa sunnah tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya?
Jawab: Tidak boleh seorang istri puasa sunnah tanpa izin suaminya berdasarkan hadits yang dibawakan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya bahwasanya Nabi r bersabda:
Jawab: Tidak boleh seorang istri puasa sunnah tanpa izin suaminya berdasarkan hadits yang dibawakan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih keduanya bahwasanya Nabi r bersabda:
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izinnya.”
2. Apa hukumnya bila seorang wanita memakai jimat-jimat untuk menolak bala?
Jawab: Allah U telah menerangkan bahwa manfaat dan mudharat itu berasal dari-Nya.
Jawab: Allah U telah menerangkan bahwa manfaat dan mudharat itu berasal dari-Nya.
“Katakanlah, apa pendapat kalian terhadap apa yang kalian seru selain Allah apabila Allah berkehendak untuk menimpakan kemudharatan kepadaku apakah mereka itu dapat menghilangkan kemudharatan tersebut atau Allah berkehendak untuk merahmatiku apakah mereka dapat menahan rahmat Allah tersebut. Katakanlah, cukup bagiku Allah, hanya kepada-Nya orang-orang yang tawakkal itu bertawakkal.” (Az-Zumar: 38)
Rasulullah r bersabda:
Rasulullah r bersabda:
“Jangan engkau biarkan di leher unta ada gantungan jimat atau semisalnya kecuali engkau putus.” (HR. Al-Bukhari, 6/141)
Maka menggantung jimat-jimat dan semisalnya diharamkan walaupun bertuliskan ayat Al- Qur`an atau doa-doa nabawiyyah karena hal tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah r terhadap dirinya dan tidak pula diperbuat beliau terhadap salah seorang dari shahabatnya.
Dalil lain yang menunjukkan haramnya perbuatan ini adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad bahwasanya Nabi r bersabda:
Maka menggantung jimat-jimat dan semisalnya diharamkan walaupun bertuliskan ayat Al- Qur`an atau doa-doa nabawiyyah karena hal tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah r terhadap dirinya dan tidak pula diperbuat beliau terhadap salah seorang dari shahabatnya.
Dalil lain yang menunjukkan haramnya perbuatan ini adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad bahwasanya Nabi r bersabda:
“Siapa yang menggantung tamimah atau wad’ah (semacam jimat-jimat) maka sungguh ia telah berbuat syirik.” (Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1/809)
Orang yang menggantung jimat ini, bila ia berkeyakinan jimat tersebut dapat memberikan manfaat atau mudharat selain Allah I atau bersama-sama dengan Allah I maka dia musyrik. Sementara kita tahu bahwa syirik adalah dosa yang paling besar. Allah I berfirman:
Orang yang menggantung jimat ini, bila ia berkeyakinan jimat tersebut dapat memberikan manfaat atau mudharat selain Allah I atau bersama-sama dengan Allah I maka dia musyrik. Sementara kita tahu bahwa syirik adalah dosa yang paling besar. Allah I berfirman:
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki dan siapa yang berbuat syirik terhadap Allah maka sungguh ia telah mengada-adakan (berbuat) dosa yang besar.” (An-Nisa: 48)
Walaupun orang yang melakukan hal tersebut tidak meyakini jimat itu dapat memberi manfaat atau menolak mudharat, akan tetapi dia menganggap memakai jimat merupakan sebab datangnya manfaat dari Allah I atau tertolaknya mudharat dengan kehendak Allah I, maka haram hukumnya karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi r dan ia telah mengada-ada dengan menetapkan sesuatu yang bukan sebab secara syar’i dan qadari sebagai sebab.
(Disusun oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah.
Pertanyaan dan Jawaban yang ada dinukil dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah hafizhahallah, putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i t )
Walaupun orang yang melakukan hal tersebut tidak meyakini jimat itu dapat memberi manfaat atau menolak mudharat, akan tetapi dia menganggap memakai jimat merupakan sebab datangnya manfaat dari Allah I atau tertolaknya mudharat dengan kehendak Allah I, maka haram hukumnya karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi r dan ia telah mengada-ada dengan menetapkan sesuatu yang bukan sebab secara syar’i dan qadari sebagai sebab.
(Disusun oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah.
Pertanyaan dan Jawaban yang ada dinukil dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah hafizhahallah, putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i t )