Pembahasan tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tidak dapat dilepaskan dari kajian tasawuf. Karena segala aspek yang terkait dengan dua akidah tersebut biasanya timbul dalam wilayah tasawuf. Di dalam tasawuf, kaum sufi itu sendiri pada dasarnya terbagi kepada dua bagian; kaum sufi sejati (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn) dan kaum sufi gadungan (Ghair al-Muhaqqiqîn). Pembagian semacam ini umumnya juga berlaku pada disiplin keilmuan atau komunitas lainnya. Realitas inilah yang mendorong salah seorang sufi besar di masanya, yaitu al-Hâfizh Abu Nu’aim menuliskan sebuah karya besar tentang biografi kaum sufi sejati dengan ajaran-ajarannya yang berjudul Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beliau sendiri di permulaan kitab tersebut bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab ini adalah untuk membedakan antara kaum sufi sejati dan kaum sufi gadungan.
Bahkan Ungkapan-ungkapan al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam menyerang kaum sufi gadungan cukup keras. Beliau menamakan mereka sebagai orang-orang pemalas, karena tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang mulhid berakidah hulûl, ittihâd atau kaum Ibâhiyyah (kaum yang menghalalkan segala sesuatu). Beliau juga mengatakan bahwa menyebutkan kesesatan-kesesatan kaum sufi gadungan dan menghindarkan diri dari mereka adalah kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atas setiap orang muslim. Karena hanya dengan demikian kemurnian ajaran Islam dapat terjaga. Juga hanya dengan cara ini, orang-orang yang saleh dari para wali Allah dapat diposisikan secara proporsional dengan tidak mencapuradukan antara mereka dengan kaum sufi gadungan yang notabene orang-orang sesat [Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, j. 1, h. 3-5.].
Demikian pula Imam al-Qusyairi dengan kitab tasawuf fenomenalnya, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, beliau mengatakan bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab tersebut adalah untuk membedakan antara sifat-sifat kaum sufi sejati dari kaum sufi gadungan. Pada pembukaan kitabnya ini Imam al-Qusyairi menulis sebuah sub judul; “Dawâfi’ Ta’lîf Hâdzihi ar-Risâlah (Sebab-sebab yang mendorong dituliskan risalah ini)”, bahwa salah satunya untuk tujuan tersebut [Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 27-28].
Bahkan sebelum datang Imam al-Qusyairi, Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam karya besarnya, al-Luma’ telah menjelaskan bahwa keberadaan sufi gadungan di masa beliau hidup sudah mulai merebak di kalangan orang-orang Islam. Tentang kondisi ini, dalam kitab al-Luma’ Imam as-Sarraj berkata:
Tasawuf yang didefinisikan sebagai ajaran yang mementingkan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia, penamaannya belum dikenal pada abad permulaan. Tasawuf baru dikenal sebagai sebuah nama atau sebagai disiplin yang melembaga pada sekitar abad ke dua hijriah [Lihat Ibn al-Jauzi, Talbîs…, h. 169. ]. Namun demikian secara faktual nilai-nilai tasawuf itu sendiri adalah sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Oleh karena itu dalam pandangan as-Sarraj, penyebutan istilah tasawuf sebenarnya sudah dikenal di kalangan sahabat Rasulullah. as-Sarraj membantah pendapat yang menyebutkan bahwa istilah tasawuf pertama kali dimunculkan oleh para ulama Baghdad. Beliau mengatakan bahwa fenomena perjumpaan para sahabat Rasulullah dengan Rasulullah sendiri serta keimanan mereka kepada Rasulullah adalah tingkatan tertinggi dalam derajat al-Ahwâl. Argumen kuat bagi hal ini, menurut as-Sarraj, adalah perkataan Imam al-Hasan al-Bashri, –seorang tabi’in yang pernah belajar langsung kepada sahabat Ali ibn Abi Thalib dan beberapa sahabat lainnya–, bahwa beliau berkata: “Aku melihat seorang sufi dari kalangan sahabat sedang melakukan thawaf” [as-Sarraj, al-Luma’…, h. 42].
As-Sarraj juga mengutip ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia berkata: “Kalau bukan karena Abu Hasyim ash-Shufi maka aku tidak akan pernah mengenal makna riya’ secara detail”. Imam Sufyan ats-Tsauri dalam perkataannya ini menamakan Abu Hasyim dengan “ash-Shûfi”, artinya seorang ahli tasawuf. Sementara itu Abu Hasyim adalah seorang yang seringkali belajar atau mengutip riwayat dari sahabat Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar. Dan sahabat Rasulullah yang terakhir disebut ini adalah di antara sahabat yang paling banyak menceritakan kaum sufi di kalangan sahabat Rasulullah sendiri [Ibid, h. 42-43].
Tentang sejarah timbul nama tasawuf, ada berbagai pendapat membicarakan hal tersebut. Satu pendapat mengatakan bahwa asal penamaan tasawuf disandarkan kepada Ahl ash-Shuffah; yaitu sebuah komunitas sahabat Rasulullah dari kaum Muhajirin yang selalu berdiam diri di masjid Nabawi. Sifat-sifat para sahabat dari Ahl ash-Shuffah ini sangat khas, seperti sifat zuhud, mementingkan orang lain, tidak banyak bergaul dengan khlayak, tidak terkait dengan kesenangan duniawi, dan hanya mementingkan akhirat [Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah, h. 279].
Pendapat lain mengatakan bahwa penamaan tasawuf timbul dari sebuah hadits. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah keluar rumah dengan warna muka yang lain dari biasanya, tiba-tiba beliau bersabda:
ذَهَبَ صَفْوُ الدّنيَا وَبَقِيَ الكَدَرُ، فَالْمَوْتُ اليَوْمَ تُحْفَةٌ لِكُلّ مُسْلِمٍ (رَوَاهُ الدّارَقُطْنيّ)
“Kemurnian dunia telah pergi, dan hanya tersisa kekeruhan, maka kematian hari ini adalah harapan berharga bagi seorang muslim” (HR. ad-Daraquthni)
Dalam hadits ini disebutkan kata “shafw ad-dunyâ”. Kata “shafw” dimungkinkan sebagai akar dari kata “tasawuf”. Oleh karenanya di kemudian hari, di antara landasan pokok dalam ajaran tasawuf adalah nilai-nilai yang terkandung dalam hadits ini, yaitu dari sabda Rasulullah bahwa kematian adalah “pembendaharaan” yang ditunggu-tunggu dan paling berharga bagi seorang muslim. Dari pemahaman hadits ini kemudian dikenal istilah tasawuf . Namun pendapat ini juga dinilai al-Qusyairi tidak benar, sebab dalam tinjauan kaedah bahasa penisbatan tasawuf, sufi, atau shufiyyah kepada kata “shafw” yang ada dalam hadits tersebut tidak benar, baik dari segi qiyâs maupun isytiqâq.
Pendapat lain mengatakan bahwa nama tasawuf diambil dari akar kata “ash-Shûf” yang berarti kain wol yang kasar. Penamaan ini diambil dari kebiasaan kaum sufi yang selalu memakai kain wol kasar karena sikap zuhud mereka. Dalam tinjauan bahasa penisbatan tasawuf kepada ash-Shûf dapat diterima. Dalam bahasa Arab bila dikatakan “Tashawwafa ar-Rajul” artinya “Labisa ash-Shûf”, seperti bila dikatakan “Taqammasha ar-Rajul” artinya “Labisa al-Qamîsh”. Hanya saja menurut al-Qusyairi tidak semua kaum sufi benar-benar memakai kain wol yang kasar.
Pendapat lain mengatakan tasawuf di ambil dari akar kata “Shafâ” yang berarti suci murni. Pendapat ini mirip dengan pendapat yang didasarkan kepada hadits nabi di atas, keduanya diambil dari akar kata yang sama, hanya saja pendapat ini dengan tanpa didasarkan kepada hadits tersebut. Pendapat ini dalam tinjauan bahasa juga tidak dapat dibenarkan, seperti halnya pendapat yang didasarkan kepada hadits di atas.
Pendapat lainnya mengatakan berasal dari akar akar kata “ash-Shaff” yang berarti barisan. Pendapat terakhir ini secara filosofis untuk mengungkapkan bahwa komunitas sufi seakan berada di barisan terdepan di antara orang-orang Islam dalam kesucian hati dan dalam melakukan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Al-Qusyairi berpendapat bahwa hal ini dalam tinjauan bahasa juga tidak dapat diterima, walaupun menurut al-Kalabadzi secara maknawi dapat diterima. Lihat al-Kalabadzi, at-Ta’arruf…, h. 31.
Al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilayah al-Auliyâ’ mengatakan bahwa kemungkinan pengambilan nama tasawuf secara bahasa setidaknya berasal dari salah satu dari empat perkara. Walau demikian empat perkara ini tidak hanya sebagai pengertian bahasa semata, namun juga secara hekekat merupakan kandungan dari nilai-nilai tasawuf itu sendiri. Artinya bahwa empat perkara ini termasuk di antara sifat-sifat yang dipegang teguh oleh kaum sufi, ialah sebagai berikut:
Pertama; kata tasawuf dapat berasal dari ash-Shûfânah yang berati tanaman rerumputan atau semacam sayuran-sayuran. Secara hakekat pengambilan nama tasawuf dari ash-Shûfânah ini adalah benar. Ini kerena kaum sufi sedikitpun tidak pernah berharap kepada sesama makhluk. Mereka telah merasa cukup dan puas dengan apapun dan seberapapun rizki yang dikaruniakan oleh Allah kepada mereka. Di antara yang membenarkan pendapat ini adalah pernyataan sahabat Sa’ad ibn Abi Waqqash, bahwa ia berkata: “Demi Allah sesungguhnya saya adalah orang Arab yang pertama kali berperang dengan panah di jalan Allah. Dan kami telah berkali-kali berperang bersama Rasulullah. Saat itu kami tidak memiliki makanan yang dapat kami makan, kecuali berasal dari dedaunan. Dalam keadaan itu kami tidak ubahnya seperti kambing-kambing”. [HR. Abu Nu’aim, Hilyah…, j. 1, h. 18]
Ke dua; kata tasawuf dapat berasal dari ash-Shûfah yang berarti kabilah. Pengambilan nama tasawuf dari kata ini juga memiliki dasar yang cukup kuat. Karena kaum sufi adalah sebagai kaum yang memiliki identitas tersendiri yang khas di antara berbagai komunitas lainnya. Di antara ciri khasnya ialah bahwa seluruh waktu yang mereka miliki dipergunakan hanya untuk ibadah kepada Allah, setiap tenaga yang mereka miliki hanya dijadikan dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah, dan bahwa segala konsentrasi hanya tercurahkan kepada-Nya saja. Sifat kaum sufi semacam ini seperti tersirat dalam sebuah hadits ketika Rasulullah berkata kepada sahabat Ali ibn Abi Thalib:
يَا عَلِيّ إذَا تَقَرَّبَ النّاسُ إلَى خَالِقِهِمْ فِي أبْوَابِ البِرّ فَتَقَرَّبْ إلَيْهِ بأنْوَاعِ العَقْلِ تَسْبِقهُمْ بالدّرَجَاتِ وَالزّلفَى عِنْدَ النّاسِ فِي الدّنيَا وَعِنْدَ اللهِ فِي الآخِرَةِ (رواه الحافظ أبو نعيم)
“Wahai Ali jika orang-orang mendekatkan diri kepada Pencipta mereka dengan berbagai kebaikan, maka mendekatkan dirilah engkau kepada-Nya dengan mempergunakan akal (berfikir). Dengan begitu engkau akan mendahului mereka dalam meraih derajat dan “kedekatan” (kemuliaan) di antara sesama manusia di dunia dan kepada Allah di akhirat”. (HR. Abu Nu’aim).
Termasuk yang dijadikan rujukan oleh al-Hâfizh Abu Nu’aim selain hadits ini adalah hadits lainnya, dari sahabat Abu Dzarr bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah apakah yang terdapat dalam lembaran-lembaran (shuhuf) Ibrahim?” Rasulullah menjawab: “Seluruhnya adalah pelajaran dan nasehat. Di antaranya: Hendaklah seorang yang berakal itu, –selama akalnya masih dalam keadaan sehat–, untuk membagi waktu dalam empat bagian. Seperempatnya ia jadikan untuk munajat kepada Tuhannya. Sepertempat lainya ia jadikan untuk melakukan muhasabah atas dirinya. Seperempat lainnya ia jadikan untuk berfikir tentang ciptaan-ciptaan Allah. Dan seperempat terakhir ia jadikan untuk mencari makan dan minumnya”
Ke tiga; kata tasawuf dapat diambil dari Shûf al-Qafâ, yang secara bahasa berarti bulu atau rambut bagian belakang kepala. Secara filosifis hal ini berarti menggambarkan bahwa kaum sufi adalah orang-orang yang hanya berserah diri kepada Allah. Ketundukan, kepasrahan, dan keyakinan mereka kepada Allah tidak dapat tergoyahkan oleh situasi dan kondisi apapun. Di antara hal yang melandasi kebenaran ajaran ini adalah hadits Rasulullah yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Ibrahim hendak dilemparkan oleh Namrud ke dalam api, maka seluruh makhluk Allah menjadi gelisah. Kemudian setiap makhluk tersebut, dari mulai langit, bumi, angin, awan, hujan, gunung-gunung, matahari, bulan, arsy, kursi, para malaikat, dan lain sebagainya meminta kepada Allah agar diperkenankan menolong Nabi Ibrahim. Namun setiap permohonan mereka dijawab oleh Allah: “Ibrahim adalah hamba-Ku, jika ia minta pertolongan kepadamu maka tolonglah ia, namun jika ia tidak memintanya maka tinggalkanlah ia”. Bahkan saat Nabi Ibrahim sudah diletakkan di atas manjanik (semacam ketepel berbentuk besar) handak dilemparkan, malaikat Jibril datang kepadanya. Setelah mengucapkan salam, jibril berkata: “Wahai Nabi Allah, saya adalah Jibril, adakah engkau membutuhkan pertolonganku?”. Nabi Ibrahim dengan tawakkal dan keyakinan yang kuat berkata: “Darimu aku tidak membutuhkan apapun, aku hanya membutuhkan Allah”. Akhirnya, ketika Nabi Ibrahim hendak jatuh ke dalam api maka datang perintah dari Allah kepada api untuk menjadi dingin yang memberi keselamatan kepada Nabi Ibrahim. Maka di saat itu pula api di seluruh pelosok dunia menjadi dingin, tidak ada sedikitpun makanan yang dapat dimasak oleh api. Allah memerintahkan kepada api tersebut untuk menjadi dingin yang memberikan keselamatan, karena bila tidak demikian maka Nabi Ibrahim akan sangat kedinginan di dalam api dan dapat membahayakannya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Nabi Ibrahim berkata: “Ketika aku berada di dalam api selama empat puluh hari lebih, tidak ada waktu malam dan dan tidak ada siang yang pernah aku rasakan di dunia ini yang lebih baik dari ketika aku berada dalam api tersebut, bahkan aku berharap seandainya seluruh hidupku berada di dalam api tersebut”.
Ke empat; Diambil dari kata ash-Shûf dalam pengertian bulu domba. Hal ini karena umumnya kaum sufi memakai pakaian wol kasar yang berasal dari bulu domba. Keadaan ini menunjukkan sikap zuhud mereka. Karena kain wol yang berasal dari bulu domba semacam yang mereka pakai ini tidak membutuhkan biaya. Di samping itu bahwa kain semacam itu menjadikan penggunanya sebagai orang yang memiliki sifat merendahan diri, menghinakan diri, tawadlu, qana’ah dan sifat-sifat khas lainnya. Sahabat Abu Musa al-Asy’ari berkata bahwa Rasulullah sering kali memakai pakaian yang berasal dari kain wol, menaiki keledai, dan datang kepada orang-orang lemah dan para fakir miskin. Kemudian al-Hasan al-Bashri berkata: “Saya bertemu dengan tujuh puluh orang sahabat Nabi yang telah ikut dalam perang Badar, dan saya tidak melihat pakaian mereka kecuali berasal dari kain wol”[al-Kalabadzi, at-Ta’arruf…, h. 31].
Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir dalam karyanya, al-Burhân al-Mu-ayyad menyebutkan bahwa asal penamaan tasawuf ini cukup unik, banyak orang yang tidak mengetahuinya, bahkan oleh kaum sufi sendiri. Ialah terdapat sekelompok orang dari kaum Mudlar, yang disebut dengan Banî ash-Sûfah (keturunan-keturunan ash-Sufah), dan ash-Sufah ini adalah seorang yang nama aslinya al-Ghauts ibn Murr ibn Ad ibn Thabikhah ar-Rabith. Disebutkan bahwa ibunda dari al-Ghauts tidak pernah punya anak laki-laki yang hidup. Kemudian ia bernadzar bila melahirkan anak laki-laki dan hidup hingga dewasa maka ia akan selalu mengikatkan kain wol (shûfah) pada kepala anak tersebut. Kemudian lahirlah kemudian al-Ghauts, dan dari al-Ghauts inilah kemudian lahir keturunan-keturunan yang yang dikenal Banî ash-Shûfah. Hingga kemudian setelah datang agama Islam maka mereka masuk ke dalam Islam dan menjadi orang-orang saleh ahli ibadah. Beberapa diantaranya adalah sahabat-sahabat Rasulullah yang telah meriwayatkan hadits. Dari sini kemudian dikenal penamaan bagi orang-orang yang dekat dengan sahabat nabi dari Banî ash-Shûfah tersebut, atau bergaul dengan mereka, atau yang mengambil hadits dari mereka, atau bahkan yang hanya berpakaian dan ahli ibadah seperti mereka, bahwa mereka sebagai orang-orang sufi. Adapun definisi tasawuf yang beragam dan banyak diungkapkan oleh kaum sufi sendiri, menurut Imam Ahmad ar-Rifa’i, lebih didasarkan kepada jalan atau media yang dipakai dalam menjalani tasawuf itu sendiri. Karena itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “Shafâ”, ada pula yang mengatakan dari kata “Mushâfât”, dan berbagai definisi lainnya. Namun demikian, dengan melihat kepada nilai-nilai yang ada di dalam tasawuf itu sendiri semua definisi tersebut adalah benar [al-Burhân al-Muayyad, h. 21].
Dalam pandangan as-Suhrawardi, pengambilan nama tasawuf dari kata ash-Shûf dapat diterima secara bahasa. Hal ini juga didasarkan kepada kebiasaan kaum sufi yang selalu berpakaian yang terbuat dari kain wol yang kasar. Hanya saja yang harus ditekankan disini adalah unsur filosofinya, ialah bahwa penisbatan kata tasawuf kepada kain wol adalah sebagai ungkapan bahwa kaum sufi adalah orang-orang fakir yang tidak pernah mementingkan dunia. Mereka berlaku zuhud dengan memerangi hawa nafsu, bahkan dalam dalam berpakaian mereka menghindari pakaian-pakaian yang lembut dan menyenangkan. Dari sinilah seorang pemula yang hendak masuk ke dalam wilayah tasawuf ia diajarkan untuk berlaku zuhud semacam itu. Zuhud tidak hanya berlaku dalam kesederhanaan makanan tapi juga dalam kesederhanaan berpakaian.
Masih menurut as-Suhrawardi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tasawuf tersebut berasal dari akar kata “ash-Sûfah”, yang berarti secarik kain wol yang tidak berharga. Penamaan ini untuk menggambarkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang mencampakkan diri dalam wilayah kefakiran, kemiskinan, ketawadluan, kerendahan diri, keterasingan dan menjauh dari keramaian. Layaknya secarik kain wol yang usang, mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak dihiraukan oleh orang kebanyakan. as-Suhrawardi melihat penisbatan kaum sufi kepada kaim wol (ash-Shûfah) dengan filosofis semacam ini secara bahasa dapat dibenarkan. Pendapat ini dapat dibuktikan karena hingga sekarang tidak sedikit dari orang-orang saleh ahli ibadah dan orang-orang zuhud yang masih tetap memakai kain wol yang kasar tersebut.
Berikut ini pernyataan ulama-ulama sufi tentang definisi tasawuf dan ajaran-ajarannya.
Imam al-Junaid al-Baghdadi, pimpinan kaum sufi (Sayyid ath-Thâ-ifah ash-Shûfiyyah), berkata: “Tasawuf ialah keluar dari setiap akhlak yang tercela dan masuk kepada setiap akhlak yang mulia” [Lihat as-Subki, Thabaqât…, j. 2, h. 271 dan Ibn al-Jauzi, Talbîs…, h. 169 dengan sanad dari Abu Hatim ath-Thabari dari al-Junaid. Lihat pula Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’ dengan sanad bersambung hingga al-Junaid, j. 1, h.22].
Pada kesempatan lain beliau berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak berbicara (al-Qâl Wa al-Qîl). Kita mengambil tasawuf dengan banyak lapar (puasa), bangun malam, dan meninggalkan segala kenikmatan-kenikmatan” [al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 430].
Secara lebih definitif tentang tasawuf dengan beberapa pokok ajaran yang terkait dengannya, Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:
Imam al-Qusyairi berkata: “Allah telah menjadikan kaum sufi ini sebagi orang-orang yang suci dari para walinya” [al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 36]. Secara lebih definitif tentang seorang sufi Imam al-Qusyairi berkata bahwa ia adalah seorang yang selalu berusaha membersihkan kotoran dalam jiwanya hingga kotoran tersebut tidak kembali lagi kepadanya. Dan apa bila ia telah “bersih” ia jaga kebersihan tersebut dengan selalu mengingat Allah. Sementara itu perkara apapun yang terjadi di sekitarnya tidak memberikan pengaruh kepadanya[Ibid, h. 283].
Abu al-Hasan al-Farghani berkata: Saya bertanya kepada Abu Bakr asy-Syibli: “Siapakah seorang sufi itu?”, beliau menjawab: “Dia adalah seorang yang berada di jalan Rasulullah, meletakan dunia di belakang punggungnya, dan menundukkan hawa nafsunya dengan kegetiran-kegetiran”. Aku katakan kepadanya: “Ini adalah seorang sufi, lantas apakah yang disebut dengan tasawuf?” Ia menjawab: “Memurnikan hati hanya bagi Allah Yang mengetahui segala hal yang gaib”. Aku berkata: “Yang lebih bagus dari itu, apa definisi tasawuf?” Ia menjawab: “Mengagungkan segala perintah Allah dan bersikap lemah lembut kepada semua hamba Allah”. Aku berkata: “Lebih bagus dari definisi tadi siapakah seorang sufi?” Ia menjawab: “Sufi adalah seorang yang menjauh dari segala kekeruhan, mensucikan diri dari segala kotoran, memenuhi hati dengan ingat kepada Allah, dan tidak ada perbedaan baginya antara emas dan debu” [Abu Nu’aim, Hilyah…, j. 1, h. 23].
Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Tasawuf adalah berusaha meraih hakekat dan meninggalkan segala apa yang berada di tangan para makhluk”[al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 280].
Imam Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “Pendapat yang paling baik tentang definisi tasawuf adalah perkataan mereka yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah sebuah jalan yang tidak dapat dilewati kecuali oleh orang-orang yang telah dibersihkan ruh mereka oleh Allah dari kotoran-kotoran” [Ibid, h. 283].
Imam Abu Ali ar-Raudzabari, salah seorang pemuka sufi pada masanya, ketika ditanya siapakah seorang sufi, beliau berkata: “Dia adalah seorang yang berpakaian wol dalam kesucian jiwanya, memberikan makanan-makanan pahit bagi hawa nafsunya, menjadikan dunia di belakang punggungnya, dan mencontoh Rasulullah dalam segala perbuatannya” [al-Kalabadzi, at-Ta’arruf…, h. 34].
Imam Abu al-Hasan an-Nauri ketika ditanya tentang definisi tasawuf, dengan sangat simpel mejawab: “Tasawuf adalah meninggalkan segala keinginan hawa nafsu”.
Dari beberapa penjelasan definisi tasawuf di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada dasarnya ajaran-ajaran tasawuf murni berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Seorang sufi adalah seorang yang konsisten mengerjakan dan berpegang teguh dengan syari’at Allah, mengekang hawa nafsunya pada makan, minum, cara berpakaian, dan hal-hal lainnya. Dalam perkara-perkara duniawi seorang sufi hanya mengambil kadar tertentu secukupnya. Ia habiskan setiap waktu dari kehidupannya dalam beribadah kepada Allah; dengan melaksanakan segala kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-langan-Nya dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang sunnah.