Shalat berjamaah di masjid merupakan perkara yang lazim. Namun sesungguhnya Islam telah mengatur hal-hal khusus bagi wanita. Dan bagaimana Islam menyikapi kondisi saat ini di mana para wanita datang ke masjid dengan bersolek dan membuka auratnya? Simak bahasan berikut.
Sejak zaman nubuwwah, kehadiran wanita untuk shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Hal ini kita ketahui dari hadits-hadits Rasulullah n, di antaranya hadits ‘Aisyah x. Kata beliau:
“Rasulullah n mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya berkata, ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak’1. Maka keluarlah Nabi n. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid:
مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ
‘Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
Aisyah x juga berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n صَلاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلَاةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Subuh bersama Rasulullah n, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Ummu Salamah x menceritakan, “Di masa Rasulullah n, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah n dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekadar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah n bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 866, 870)
Abu Qatadah al-Anshari z berkata, Rasulullah n bersabda:
إِنِّي لَأَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيْهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتيِ كَرَاهَةً أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 868)
Beberapa hadits di atas cukuplah menunjukkan bagaimana keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa hukum shalat berjamaah bagi wanita?
Dalam hal ini, wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.
Ibnu Hazm t berkata (al-Muhalla, 3/125), “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).”
Beliau juga berkata, “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib. Hal ini tidaklah diperselisihkan. Didapatkan atsar yang sahih bahwasanya para istri Nabi n shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar menuju masjid.” (al-Muhalla, 4/196)
Al-Imam an-Nawawi t menyatakan, “Teman-teman kami (yakni ulama mazhab Syafi’iyah) berkata bahwa hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
Ibnu Qudamah t juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah bagi wanita. Beliau menekankan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (al-Mughni, 2/18)
Rasulullah n sendiri telah bersabda kepada para wanita:
صَلاَةُ إِحْدَاكُنَّ فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا في حُجْرَتِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي حُجْرَتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي دَارِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي دَارِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي مَسْجِدِ قَوْمِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي مَسْجِدِ قَوْمِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا مَعِي
“Shalatnya salah seorang dari kalian di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 155)
Beliau n juga bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan al-Misykat no. 1062)
Dalam Nailul Authar, al-Imam asy-Syaukani t berkata setelah membawakan hadits di atas, “Yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid, seandainya mereka mengetahui yang demikian itu. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya sehingga meminta izin untuk keluar berjamaah di masjid, dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah. Yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah x ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan bersolek.”2 (Nailul Authar, 3/168)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t setelah menyebutkan hadits, “Meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu fatwanya, “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan saya katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal ini dikarenakan seorang wanita akan terjauhkan dari ikhtilath (bercampur-baur tanpa batas) bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah (godaan).” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t juga mengatakan, “Nabi n bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Kita tahu bahwa shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari godaan maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (al-Fatawa al-Makkiyyah, hlm. 26—27, sebagaimana dinukil dalam al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati ma Yuhammul Mushallin, hlm. 570)
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di rumahnya. Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda Rasulullah n:
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama 25 (dalam riwayat lain: 27) derajat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
Dalam hal ini Ibnu Hajar al-‘Asqalani t menegaskan bahwa keutamaan 25 atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat berjamaah di masjid karena beberapa perkara yang tidak mungkin didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari, 2/165, 167)
Rasulullah n telah mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipatgandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus-menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa, ‘Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia!’ Terus-menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dengan demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan 25 atau 27 derajat. Akan tetapi mereka yang melakukannya mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya, secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di masjid. Wallahu a‘lam.
“Rasulullah n mengakhirkan shalat ‘Isya hingga ‘Umar berseru memanggil beliau seraya berkata, ‘Telah tertidur para wanita dan anak-anak’1. Maka keluarlah Nabi n. Beliau berkata kepada orang-orang yang hadir di masjid:
مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ
‘Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 566 dan Muslim no. 638)
Aisyah x juga berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n صَلاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلَاةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Subuh bersama Rasulullah n, mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
Ummu Salamah x menceritakan, “Di masa Rasulullah n, para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah n dan jamaah laki-laki tetap diam di tempat mereka sekadar waktu yang diinginkan Allah. Apabila Rasulullah n bangkit, bangkit pula kaum laki-laki tersebut.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 866, 870)
Abu Qatadah al-Anshari z berkata, Rasulullah n bersabda:
إِنِّي لَأَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ وَأَنَا أُرِيْدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيْهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتيِ كَرَاهَةً أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ
“Aku berdiri untuk menunaikan shalat dan tadinya aku berniat untuk memanjangkannya. Namun kemudian aku mendengar tangisan bayi, maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 868)
Beberapa hadits di atas cukuplah menunjukkan bagaimana keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Lalu sekarang timbul pertanyaan, apa hukum shalat berjamaah bagi wanita?
Dalam hal ini, wanita tidaklah sama dengan laki-laki. Dikarenakan ulama telah sepakat bahwa shalat jamaah tidaklah wajib bagi wanita dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan mereka dalam permasalahan ini.
Ibnu Hazm t berkata (al-Muhalla, 3/125), “Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).”
Beliau juga berkata, “Adapun kaum wanita, hadirnya mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib. Hal ini tidaklah diperselisihkan. Didapatkan atsar yang sahih bahwasanya para istri Nabi n shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar menuju masjid.” (al-Muhalla, 4/196)
Al-Imam an-Nawawi t menyatakan, “Teman-teman kami (yakni ulama mazhab Syafi’iyah) berkata bahwa hukum shalat berjamaah bagi wanita tidaklah fardhu ‘ain tidak pula fardhu kifayah, akan tetapi hanya mustahab (sunnah) saja bagi mereka.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/188)
Ibnu Qudamah t juga mengisyaratkan tidak wajibnya shalat jamaah bagi wanita. Beliau menekankan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (al-Mughni, 2/18)
Rasulullah n sendiri telah bersabda kepada para wanita:
صَلاَةُ إِحْدَاكُنَّ فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا في حُجْرَتِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي حُجْرَتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي دَارِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي دَارِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي مَسْجِدِ قَوْمِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي مَسْجِدِ قَوْمِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا مَعِي
“Shalatnya salah seorang dari kalian di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Dan shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 155)
Beliau n juga bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)
Dalam riwayat Abu Dawud (no. 480) ada tambahan:
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Abu Dawud no. 576 dan al-Misykat no. 1062)
Dalam Nailul Authar, al-Imam asy-Syaukani t berkata setelah membawakan hadits di atas, “Yakni shalat mereka di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid, seandainya mereka mengetahui yang demikian itu. Akan tetapi mereka tidak mengetahuinya sehingga meminta izin untuk keluar berjamaah di masjid, dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah. Yang menekankan alasan ini adalah ucapan ‘Aisyah x ketika melihat para wanita keluar ke masjid dengan tabarruj dan bersolek.”2 (Nailul Authar, 3/168)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t setelah menyebutkan hadits, “Meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, menyatakan dalam salah satu fatwanya, “Hadits ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka akan saya katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal ini dikarenakan seorang wanita akan terjauhkan dari ikhtilath (bercampur-baur tanpa batas) bersama lelaki lain sehingga akan menjauhkannya dari fitnah (godaan).” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t juga mengatakan, “Nabi n bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Kita tahu bahwa shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari godaan maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (al-Fatawa al-Makkiyyah, hlm. 26—27, sebagaimana dinukil dalam al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati ma Yuhammul Mushallin, hlm. 570)
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita akan keutamaan shalat wanita di rumahnya. Setelah ini mungkin timbul pertanyaan di benak kita: Apakah shalat berjamaah yang dilakukan wanita di rumahnya masuk dalam sabda Rasulullah n:
“Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendiri lebih utama 25 (dalam riwayat lain: 27) derajat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 645, 646 dan Muslim no. 649, 650)
Dalam hal ini Ibnu Hajar al-‘Asqalani t menegaskan bahwa keutamaan 25 atau 27 derajat yang disebutkan dalam hadits khusus bagi shalat berjamaah di masjid karena beberapa perkara yang tidak mungkin didapatkan kecuali dengan datang berjamaah di masjid. (Fathul Bari, 2/165, 167)
Rasulullah n telah mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya:
“Shalat seseorang dengan berjamaah dilipatgandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus-menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa, ‘Ya Allah, berilah shalawat atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia!’ Terus-menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 647 dan Muslim no. 649)
Dengan demikian, shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan 25 atau 27 derajat. Akan tetapi mereka yang melakukannya mendapatkan keutamaan tersendiri, yaitu shalat mereka di rumahnya, secara sendiri ataupun berjamaah, lebih utama daripada shalatnya di masjid. Wallahu a‘lam.
Wanita Mengimami Jamaah Wanita
Ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah.
Ada yang menganggap mustahab (sunnah), seperti riwayat dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah c. Ini pendapat yang dipegangi ‘Atha’, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Ada yang menganggap tidak disunnahkan, seperti pendapat al-Imam Ahmad3. Ada pula yang memakruhkannya seperti ashabur ra’yi.
Sedangkan asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Qatadah berpendapat bahwa shalat jamaah bagi wanita ini hanya dilakukan dalam shalat sunnah bukan shalat wajib. Al-Hasan dan Sulaiman bin Yasar mengatakan, wanita tidak boleh mengimani wanita lain dalam shalat wajib ataupun shalat sunnah.
Sedangkan al-Imam Malik berpan-dangan tidak pantas wanita mengimami seorang pun, karena dimakruhkan baginya untuk mengumandangkan adzan, sementara adzan merupakan panggilan untuk shalat berjamaah. (al-Mughni, 2/17)
Asy-Syaikh al-Albani t dalam Tamamul Minnah membawakan beberapa atsar yang berkaitan dengan hal ini. Di antaranya:
أَنَّها كَانَتْ تُؤَذِّنُ وَتُقِيْمُ وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ، وَتَقِفُ وَسَطَهُنَّ
“Dahulu dia (Aisyah x) pernah adzan dan iqamah serta mengimami para wanita dan beliau berdiri di tengah mereka.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra)
Hujairah bintu Hushain berkata, “Ummu Salamah x pernah mengimami kami dalam shalat Ashar, dan beliau berdiri di antara kami.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi)
Kemudian asy-Syaikh al-Albani berkata, “Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah n: ‘Para wanita itu saudara kandung (serupa) dengan laki-laki’.” (Tamamul Minnah, hlm. 154)
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bolehnya wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah di rumah, karena adanya contoh dari perbuatan para shahabiyah tanpa ada yang menyelisihi mereka. Juga tidak didapatkan adanya larangan Rasulullah n dalam hal ini.
Ibnu Hazm t berkata, “Boleh seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat, namun ia tidak boleh mengimami kaum laki-laki.” (al-Muhalla, 4/219)
Ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah.
Ada yang menganggap mustahab (sunnah), seperti riwayat dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah c. Ini pendapat yang dipegangi ‘Atha’, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Ada yang menganggap tidak disunnahkan, seperti pendapat al-Imam Ahmad3. Ada pula yang memakruhkannya seperti ashabur ra’yi.
Sedangkan asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Qatadah berpendapat bahwa shalat jamaah bagi wanita ini hanya dilakukan dalam shalat sunnah bukan shalat wajib. Al-Hasan dan Sulaiman bin Yasar mengatakan, wanita tidak boleh mengimani wanita lain dalam shalat wajib ataupun shalat sunnah.
Sedangkan al-Imam Malik berpan-dangan tidak pantas wanita mengimami seorang pun, karena dimakruhkan baginya untuk mengumandangkan adzan, sementara adzan merupakan panggilan untuk shalat berjamaah. (al-Mughni, 2/17)
Asy-Syaikh al-Albani t dalam Tamamul Minnah membawakan beberapa atsar yang berkaitan dengan hal ini. Di antaranya:
أَنَّها كَانَتْ تُؤَذِّنُ وَتُقِيْمُ وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ، وَتَقِفُ وَسَطَهُنَّ
“Dahulu dia (Aisyah x) pernah adzan dan iqamah serta mengimami para wanita dan beliau berdiri di tengah mereka.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra)
Hujairah bintu Hushain berkata, “Ummu Salamah x pernah mengimami kami dalam shalat Ashar, dan beliau berdiri di antara kami.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi)
Kemudian asy-Syaikh al-Albani berkata, “Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah n: ‘Para wanita itu saudara kandung (serupa) dengan laki-laki’.” (Tamamul Minnah, hlm. 154)
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bolehnya wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah di rumah, karena adanya contoh dari perbuatan para shahabiyah tanpa ada yang menyelisihi mereka. Juga tidak didapatkan adanya larangan Rasulullah n dalam hal ini.
Ibnu Hazm t berkata, “Boleh seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat, namun ia tidak boleh mengimami kaum laki-laki.” (al-Muhalla, 4/219)
Tata Cara Berjamaah bagi Wanita
Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan bila para wanita ingin menegakkan shalat berjamaah di kalangan mereka. Di antaranya:
1. Adzan dan iqamah
Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, dibolehkan bagi wanita untuk adzan dan iqamah dengan dalil atsar dari ‘Aisyah x di atas dan atsar lainnya seperti yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/202)—dengan sanad yang jayyid (bagus), kata asy-Syaikh al-Albani4—dari Wahab bin Kisan. Ia berkata, “Ibnu ‘Umar ditanya, ‘Apakah ada adzan bagi wanita?’ Mendapat pertanyaan demikian, Ibnu ‘Umar marah dan berkata, ‘Apakah aku melarang dari dzikrullah (berzikir kepada Allah l)?’.”
Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan bila para wanita ingin menegakkan shalat berjamaah di kalangan mereka. Di antaranya:
1. Adzan dan iqamah
Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, dibolehkan bagi wanita untuk adzan dan iqamah dengan dalil atsar dari ‘Aisyah x di atas dan atsar lainnya seperti yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/202)—dengan sanad yang jayyid (bagus), kata asy-Syaikh al-Albani4—dari Wahab bin Kisan. Ia berkata, “Ibnu ‘Umar ditanya, ‘Apakah ada adzan bagi wanita?’ Mendapat pertanyaan demikian, Ibnu ‘Umar marah dan berkata, ‘Apakah aku melarang dari dzikrullah (berzikir kepada Allah l)?’.”
2. Posisi Imam
Imam wanita berdiri di tengah-tengah makmumnya di dalam shaf, sebagaimana riwayat ‘Aisyah dan Ummu Salamah c di atas. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama salaf. Namun bila imam tersebut maju di depan shaf maka tidak didapatkan larangan dalam hal ini. Akan tetapi berpegang teguh dengan apa yang dilakukan salaf adalah lebih baik dan lebih utama. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/352)
Ibnu Juraij berkata, “Bila seorang wanita mengimami wanita lain, maka ia tidak maju di depan mereka tetapi ia sejajar dengan mereka. Ini dilakukan dalam shalat wajib maupun sunnah.” Lalu ada yang berkata kepada Ibnu Juraij, “Bagaimana bila jamaah itu banyak hingga mencapai dua shaf atau lebih?” Ibnu Juraij menjawab, ‘Ia berdiri di tengah-tengah mereka’.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, 3/140)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ma’mar (al-Mushannaf, 3/140). Juga al-Hasan dan asy-Sya’bi dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/89).
Imam wanita berdiri di tengah-tengah makmumnya di dalam shaf, sebagaimana riwayat ‘Aisyah dan Ummu Salamah c di atas. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama salaf. Namun bila imam tersebut maju di depan shaf maka tidak didapatkan larangan dalam hal ini. Akan tetapi berpegang teguh dengan apa yang dilakukan salaf adalah lebih baik dan lebih utama. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/352)
Ibnu Juraij berkata, “Bila seorang wanita mengimami wanita lain, maka ia tidak maju di depan mereka tetapi ia sejajar dengan mereka. Ini dilakukan dalam shalat wajib maupun sunnah.” Lalu ada yang berkata kepada Ibnu Juraij, “Bagaimana bila jamaah itu banyak hingga mencapai dua shaf atau lebih?” Ibnu Juraij menjawab, ‘Ia berdiri di tengah-tengah mereka’.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, 3/140)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ma’mar (al-Mushannaf, 3/140). Juga al-Hasan dan asy-Sya’bi dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/89).
3. Memperdengarkan suara atau tidak?
Ibnu Qudamah t berkata, “Wanita memperdengarkan suaranya dalam shalat jahr5. Namun bila di tempat itu ada laki-laki maka ia tidak boleh memperdengarkan suaranya kecuali bila laki-laki itu adalah mahramnya.” (al-Mughni, 2/17)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ibnu Qudamah t berkata, “Wanita memperdengarkan suaranya dalam shalat jahr5. Namun bila di tempat itu ada laki-laki maka ia tidak boleh memperdengarkan suaranya kecuali bila laki-laki itu adalah mahramnya.” (al-Mughni, 2/17)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
CATATAN PENTING UNTUK IMAM SHALAT
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata dalam salah satu fatwanya:
“Dibolehkan bagi wanita untuk shalat secara berjamaah dengan diimami salah seorang dari mereka, dan imam ini berdiri di shaf makmumnya (bersisian), bukan di depan mereka. Shalat berjamaah ini tidaklah wajib bagi mereka karena kewajiban jamaah termasuk kekhususan laki-laki. Adapun mereka, boleh shalat berjamaah ataupun sendirian.”
Ketika beliau ditanya tentang kebolehan wanita memperdengarkan suaranya di dalam shalat jahriyah dalam rangka memudahkan untuk khusyuk, beliau menjawab, “Untuk shalat yang dilakukan pada malam hari, disunnahkan baginya jahr dalam bacaan shalat, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat nafilah (sunnah) selama tidak terdengar oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Karena bila sampai terdengar, dikhawatirkan laki-laki itu akan terfitnah (tergoda) dengan suaranya. Bila di tempat tersebut tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya, namun ketika mengeraskan bacaan shalatnya berakibat mengganggu dan mengacaukan orang lain yang sedang shalat, maka hendaknya ia merendahkan suaranya (membaca dengan sirr).
Adapun dalam shalat yang dilakukan pada siang hari, ia tidak boleh memperdengarkan suaranya ketika membaca surat Al-Qur’an. Karena shalat siang hari adalah sirriyyah. Ia membaca sebatas didengar dirinya sendiri karena tidak disunnahkan jahr dalam shalat siang hari.” (al-Muntaqa, asy-Syaikh al-Fauzan, 3/76, 201)
“Dibolehkan bagi wanita untuk shalat secara berjamaah dengan diimami salah seorang dari mereka, dan imam ini berdiri di shaf makmumnya (bersisian), bukan di depan mereka. Shalat berjamaah ini tidaklah wajib bagi mereka karena kewajiban jamaah termasuk kekhususan laki-laki. Adapun mereka, boleh shalat berjamaah ataupun sendirian.”
Ketika beliau ditanya tentang kebolehan wanita memperdengarkan suaranya di dalam shalat jahriyah dalam rangka memudahkan untuk khusyuk, beliau menjawab, “Untuk shalat yang dilakukan pada malam hari, disunnahkan baginya jahr dalam bacaan shalat, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat nafilah (sunnah) selama tidak terdengar oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Karena bila sampai terdengar, dikhawatirkan laki-laki itu akan terfitnah (tergoda) dengan suaranya. Bila di tempat tersebut tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya, namun ketika mengeraskan bacaan shalatnya berakibat mengganggu dan mengacaukan orang lain yang sedang shalat, maka hendaknya ia merendahkan suaranya (membaca dengan sirr).
Adapun dalam shalat yang dilakukan pada siang hari, ia tidak boleh memperdengarkan suaranya ketika membaca surat Al-Qur’an. Karena shalat siang hari adalah sirriyyah. Ia membaca sebatas didengar dirinya sendiri karena tidak disunnahkan jahr dalam shalat siang hari.” (al-Muntaqa, asy-Syaikh al-Fauzan, 3/76, 201)
1 Yakni mereka yang ikut hadir untuk shalat berjamaah di masjid. (Syarh Shahih Muslim 5/137, Fathul Bari, 2/59)
2 Yang dimaksud al-Imam asy-Syaukani t adalah atsar yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari (no. 869) dan al-Imam Muslim (no. 445) dari ‘Aisyah x, ia berkata, “Seandainya Rasulullah n melihat apa yang diperbuat oleh para wanita itu niscaya beliau akan melarang mereka mendatangi masjid sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil.”
Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Yang diperbuat oleh para wanita tersebut adalah (keluar ke masjid dengan) mengenakan perhiasan, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus.” (Syarah Shahih Muslim, 4/164)
Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Yang diperbuat oleh para wanita tersebut adalah (keluar ke masjid dengan) mengenakan perhiasan, wangi-wangian, dan pakaian yang bagus.” (Syarah Shahih Muslim, 4/164)
3 Didapatkan pula keterangan bahwa al-Imam Ahmad t juga menganggap mustahab. Ibnu Hazm t berkata, “Al-Auza’i, ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, dan Abu Tsaur rahimahumullah berkata, ‘Disunnahkan bagi seorang wanita untuk mengimami wanita lain dan ia berdiri di tengah-tengah mereka’.” (al-Muhalla, 4/220)
4 Tamamul Minnah, hlm. 153.
5 Yaitu shalat Maghrib, ‘Isya, dan Subuh.