1. Maksiat.
Imam Al-Auzai berpendapat bahwa gibah itu membatalkan puasa, sementara Ibnu Hazm menyatakan bahwa semua maksiat itu sama hukumnya dengan gibah, yaitu membatalkan puasa.
Keduanya berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ, وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya serta kejahilan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)
Juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Betapa banyak orang yang berpuasa sedang dia tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali haus.” (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Sementara seluruh ulama lainnya berpandapat bahwa maksiat tidak membatalkan puasa, dan inilah pendapat yang benar. Adapun pendalilan mereka dengan kedua hadits di atas, maka An-Nawawi telah mejawabnya dalam Al-Majmu’ (6/356), “Teman-teman semazhab kami telah menjawab hadits-hadits ini: Bahwa yang dimaksudkan dengan hadits ini adalah bahwa kesempurnaan puasa dan keutamaannya yang dicari, itu hanya bisa didapatkan dengan menjaga lisan dari ucapan sia-sia dan ucapan yang rendah, tidak menunjukkan bahwa puasanya batal.”
2. Makan dan minum dalam keadaan lupa.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
a. Puasanya syah dan tidak batal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, juga merupakan mazhab Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa sedang dia tengah berpuasa, lantas dia makan atau minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena dia hanya diberi makan dan minum oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)
Dalam hadits ini Nabi menyuruh untuk menyempurnakan puasanya dan tidak memerintahkannya untuk membayar qadha`, ini menunjukkan puasanya syah. Demikian diterangkan oleh Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/457-458)
b. Puasanya batal dan dia wajib membayar qadha. Ini adalah pendapat Malik dan Rabiah, gurunya.
Mereka mengatakan: Karena menahan dari pembatal puasa adalah rukun puasa sementara rukun kalau ditinggalkan maka akan membatalkan ibadah, baik sengaja maupun lupa. Dalam hal ini mereka mengkiaskannya kepada shalat.
Yang kuat adalah pendapat yang pertama. Adapun kias pendapat kedua maka dia adalah kias yang batil karena bertentangan dengan dalil.
Catatan:
Walaupun tidak membatalkan puasanya, akan tetapi siapa yang melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya dia menegurnya dan mengingatkannya, berdasarkan keumuman dalil amar ma’ruf dan nahi mungkar. Lihat kitab Al-Furu’ (3/53)
3. Melakukan jima’ bukan pada kemaluan.
Maksudnya dia menyentuhkan kemaluannya pada bagian tubuh istrinya (selain kemaluan) -misalnya di antara dua pahanya-, maninya keluar maupun tidak.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Itu membatalkan puasanya dan dia wajib membayar kaffarah.
Ini adalah pendapat Malik, Atha`, Al-Hasan, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
2. Itu membatalkan puasanya akan tetapi tidak ada kewajiban kaffarah.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, dan riwayat lain dari Ahmad.
Mereka mengatakan: Karena ini bukanlah jima’ yang sempurna sehingga dikiaskan dengan mencium, dan tidak ada dalil akan wajibnya kaffarah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
3. Tidak membatalkan puasanya walaupun maninya keluar. Ibnu Muflih menyebutkan kemungkinan pendapat ini dalam Al-Furu’ dan kelihatannya beliau condong kepada pendapat ini.
Telah berlalu bahwa ini adalah pendapat Ibnu Hazm.
Yang rajih adalah pendapat ketiga kedua, ini yang dirajihkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani.
Hal itu karena tidak ada dalil yang menyatakan perbuatan ini adalah pembatal puasa. Adapun mengkiaskannya dengan jima’, maka kias ini kurang detail, karena adanya perbedaan antara jima’ dengan kasus di atas.
Adapun sekedar karena keluarnya mani, maka para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ itu membatalkan puasa walaupun tidak ada mani yang keluar. Maka ini menunjukkan patokan pembatal puasa adalah perbuatan jima’, bukan keluarnya mani.
Adapun sekedar karena adanya syahwat, maka kita katakan adanya syahwat tidak cukup untuk menghukumi batalnya puasa seseorang, sebagaimana yang akan datang bahwa orang yang mencium istrinya karena syahwat tidaklah membatalkan puasanya.
Jadi, yang benar pada kasus di atas puasanya tidak batal, akan tetapi puasanya makruh bahkan dikhawatirkan dia kehilangan pahala puasanya -walaupun puasanya syah-, wallahu a’lam.
[Al-Mughni: 3/26, Al-Inshaf: 3/284, Syarh Kitab Ash-Shiyamk: 1/302, dan Al-Majmu’: 6/342]
4. Sisa makanan pada gigi atau yang ikut pada ludah.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
Jika dia tidak bisa untuk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka para ulama sepakat bahwa hal itu tidak mengapa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-Majmu’ (6/320)
Jika dia bisa mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan. Sementara Abu Hanifah berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, dan ucapannya ini tidak berlandaskan dalil.
5. Menelan dahak atau ingus dan semacamnya.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. Jika dia tidak keluar ke mulut, akan tetapi dari otak atau hidung langsung ke lambung maka hal itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Jika dia keluar ke mulut lalu sengaja tertelan, maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
4. Membatalkan puasanya. Ini yang masyhur dalam mazhab Al-Hanabilah dan merupakan mazhab Asy-Syafi’iyah. Mereka mengatakan karena apa yang ada dalam mulut dihukumi sama seperti apa yang datang dari luar. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
5. Tidak membatalkan puasanya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan karena dia tidak keluar dari mulut sehingga tidak bisa dikatakan makan dan minum. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Kami katakan: Untuk keluar dari khilaf, hendaknya dia membuangnya dan tidak sengaja menelannya, wallahu a’lam.
6. Infus
Jika infusnya dimasukkan melalui urat nadi atau otot maka: Jika infusnya berupa makanan atau sesuatu yang bisa menguatkan fisiknya maka itu membatalkan puasanya. Kalau bukan maka puasanya tetap syah. Ini adalah pendapat yang difatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-.
Lihat Tuhfatul Ikhwan hal 175
Adapun jika infusnya dimasukkan melalui hidung lalu diteruskan ke otak maka dalam hal ini ada tiga mazhab di kalangan ulama:
a. Jika dia sampai ke otak maka itu membatalkan puasanya. Karena semua yang sampai ke otak pasti akan sampai ke lambung atau ke tenggorokan, mengingat antara otak dan lambung ada saluran yang menyambungkannya.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah -rahimahullah-.
b. Tidak membatalkan puasa kecuali diyakini dia masuk ke tenggorokan. Ini adalah pendapat Imam Malik.
c. Tidak membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibrahim dan Ibnu Hazm.
Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- adalah pendapat yang kedua.
7. Onani.
Imam Empat dan mayoritas ulama berpendapat bahwa onani membatalkan puasa, karena dia dihukumi tidak meninggalkan syahwatnya. Ini yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sementara Ibnu Hazm berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa karena tidak adanya dalil yang menunjukkan batalnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan Syaikh Al-Albani -rahimahumullah-.
Wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sekedar keluarnya mani bukanlah pembatal puasa -walaupun puasanya makruh-. Kembali ke hukum asal, puasa seseorang tidaklah batal kecuali ada dalil tegas yang menyatakannya.
8. Bermesraan atau mencium atau memandang wanita.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. Jika hal itu menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini:
1. Dia mengqadha kalau keluar maninya bukan karena memandang (yakni karena mencium atau bermesraan). Jika hanya keluar madzi maka tidak ada qadha.
Ini adalah pendapat para ulama Kufah dan Imam Asy-Syafi’i.
2. Jika yang keluar mani (karena salah satu dari tiga sebab di atas) maka dia mengqadha sekaligus bayar kaffarah. Tapi jika yang keluar madzi maka dia hanya mengqadha.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ishaq bin Rahawaih. Yang dijadikan dalil bagi pendapat mereka adalah bahwa keluarnya mani merupakan puncak tujuan dari jima’, sementara jima mengharuskan membayar kaffarah.
3. Tidak ada kewajiban qadha` atasnya dan tidak pula kaffarah.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ash-Shan’ani tatkala beliau mengatakan, ”Yang nampak, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah kecuali atas orang yang melakukan jima’. Mengikutkan perbuatan selain jima’ kepadanya (jima’) adalah hal yang tidak tepat.”
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang terakhir, ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullah-.
Adapun pendapat pertama, mereka tidak mempunyai dalil atas pembedaan hukum yang mereka sebutkan. Sedangkan dalil pendapat kedua terbantahkan dengan kenyataan bahwa orang yang melakukan jima’ tetap wajib membayar kaffarah walaupun tidak ada mani yang keluar, wallahu a’lam.
b. Jika hal itu tidak menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Dalam masalah ini ada lima pendapat di kalangan ulama:
1. Boleh.
Pendapat ini dinukil dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (3/60) dan (4/185) dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm. Hanya saja Ibnu Hazm terlalu berlebihan hingga menyatakan sunnahnya.
Mereka berdalil dengan 3 hadits dari: Hafshah, Aisyah, dan Ummu Salamah, dimana dalam ketiga hadits ini disebutkan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mencium istrinya sedang beliau berpuasa. Hadits Aisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim sedang dua lainnya diriwayatkan oleh Muslim.
2. Haram.
Bahkan sebagian ulama -seperti Abdullah bin Syubrumah- berpendapat bahwa itu membatalkan puasa. Pendapat ini juga dibawakan dari Said bin Al-Musayyab.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, ”Maka sekarang (setelah malam), sentuhlah mereka (istri kalian).” (QS. Al-Baqarah: 187)
Mereka menjawab hadits-hadits yang membolehkan bahwa itu hukum itu hanya khusus berlaku untuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
3. Makruh secara mutlak.
Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Al-Malikiah.
Mereka mengatakan karena perbuatan ini merupakan wasilah terjadinya hal yang diharamkan. Adapun hadits-hadits yang membolehkan, mereka juga menjawabnya seperti jawaban pendapat kedua.
4. Makruh bagi pemuda dan boleh bagi yang sudah tua.
Dalil yang dijadikan pendukung bagi pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah dia berkata, ”Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi -shallallahu alaihi wasallam- lalu bertanya kepada beliau tentang ’menyentuh’ istri bagi orang yang berpuasa, maka beliau memberikannya keringanan. Dan ada orang lain yang datang kepada beliau dan menanyakan hal yang sama maka beliau melarangnya. Ternyata yang beliau berikan keringan adalah seorang yang tua, sementara yang beliau larang adalah seorang pemuda.”
Sanadnya shahih. Adapun rawi dalam sanadnya yang bernama Abul Anbas Al-Harits bin Ubaid, maka dia telah dinyatakan tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Main sebagaimana dalam Tarikh Ad-Darimi. Karenanya hukum majhul yang dilontarkan sebagian ulama kepadanya tidaklah tepat.
5. Jika dia bisa menguasai syahwatnya maka boleh, dan jika tidak bisa maka tidak boleh.
Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan Ats-Tsauri. Mereka berdalilkan hadits Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
”Adalah Rasulullah mencium dalam keadaan berpuasa dan beliau ’menyentuh’ dalam keadaan berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan hasratnya di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)
Terlarangnya orang yang tidak bisa menguasai dirinya karena hal itu bisa membahayakan puasanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil pendapat keempat.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang kelima. Dan kalaupun dia melakukannya padahal dia tidak bisa menguasai dirinya maka puasanya tidaklah batal sampai dia melakukan jima’.
Pendapat pertama terbantahkan dengan dalil pendapat keempat dan kelima.
Pendapat kedua dan ketiga terbantahkan dengan dalil pendapat pertama, keempat, dan kelima. Adapun ayat yang mereka pakai berdalil, maka dikatakan: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- sebagai penjelas Al-Qur`an telah mencium istrinya di siang hari, maka ini menunjukkan bahwa ’menyentuh’ dalam ayat itu bermakna lebih khusus yaitu jima’.
Adapun klaim mereka bahwa hukum boleh itu hanya berlaku untuk Nabi saja, maka terbantahkan dengan hadits Umar bin Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, ”Apakah orang yang berpuasa boleh mencium?” maka beliau menjawab, ”Tanya dia,” maksudnya Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni semua dosamu yang terdahulu dan belakangan,” maka beliau menjawab, ”Ketahuilah, demi Allah sungguh saya adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian.” (HR. Muslim)
Mirip dengan hadits seorang lelaki dari Al-Anshar mencium istrinya lalu setelah itu dia menyuruh istrinya untuk menanyakan masalah ini kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Setelah bertanya, istrinya mengabarkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Maka dia berkata, ”Sesungguhnya Nabi telah diberikan keringan pada beberapa perkara maka kembalilah bertanya kepada beliau.” Maka istrinya kembali menanyakannya maka Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, ”Saya adalah orang yang paling bertakwa dan yang paling tahu tentang batasan-batasan Allah di antara kalian.” (HR. Ahmad: 5/434 dan dishahihkan oleh Al-Wadi’i dalam Ash-Shahih)
Adapun pendapat keempat maka dijawab: Masalah syahwat adalah bersifat nisbi, tidak ada hubungannya dengan masalah umur. Terkadang ada orang tua yang syahwatnya lebih besar daripada pemuda dan sebaliknya. Juga terbantahkan dengan kisah Umar bin Salamah yang ketika itu beliau seorang pemuda.
[Al-Fath: 1927, As-Subul: 4/128-129, Al-Muhalla masalah no. 753 dan Al-Majmu’: 6/355]