Berbahagilah bagi Anda yang Rajin Shalat Dhuha

Diposting oleh Mutiarahikmah on Kamis, 28 Agustus 2014



SETAHUN belakangan ini sering saya mendapat kiriman pesan pendek (SMS) dari seseorang sahabat. Salah satu kebiasaannya mengirimkan SMS berisi ajakan shalat Dhuha. Macam-macam bunyiSMS-nya. Kadang diawali dengan nasihat yang membuat saya merenungi diri yang berkubang dalam lumpur dosa dan kesalahan. Kadang diselipi jok-jok segar yang membuat tersenyum.
Pada suatu hari ia ‘mewakafkan’ pulsanya untuk mengirim SMStepat pada momentum Tahun Baru Islam, “Hikmah hijrah, semakin baik, meninggalkan yang munkar. Tinggalkan kemalasan menuju istiqamah beribadah. Monggo shalatDhuha.”
Di kesempatan yang lain ia menulis, “Ya Allah, aku berlindung padaMu dari ilmu yang tidak manfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tak pernah puas dan dari doa yang tidak terkabul. Matahri sudah tinggi, siap-siap shalat Dhuha.”
Ada juga SMS yang sangat memukul telak ke hati yang paling dalam, “Kita pernah bertemu dengan orang baik. Atau, orang yang menganggap diri kita baik. Benarkah? Sesungguhnya bukan kebaikan yang disandang, tapi ada kekuasaan Tuhan yang menutupi aib, kesalahan dan dosa-dosa kita sehingga tidak tampak. Kita tidak bisa bayangkan seandainya Tuhan tidak menutupi borok kita itu. Seandainya dosa itu berbau, maka tidak ada orang yang mau dekat dengan kita karena tidak tahan dengan baunya. Masihkah kita merasa baik? Kita hanya bisa minta kepada Tuhan agar menutupi kesalahan-kesalahan kita seperti yang terucap dalam doa diantara dua sujud. Ada 7 permohonan kita, satu di antaranya adalah WAJBURNI (tutupilah kesalahanku) dan Allah mengabulkan permintaan itu. Allahumma aamiin.. Waktunya shalat Dhuha.”
Shalat Dhuha mempunyai kedudukan mulia. Disunnahkan untuk kita kerjakan sejak terbitnya matahari sampai menjelang datangnya shalat dzuhur.
Seperti diungkap oleh Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam bukunya Khasais al-Ummah al-Muhamadiyah tentang keutamaannya, penulis membeberkan keutamaan-keutamaan yang disediakan oleh Allah bagi hamba yang menunaikannya lengkap dengan sumber haditsnya.
Pertama, orang yang shalat Dhuha akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah. “Barangsiapa yang selalu mengerjakan shalat Dhuha niscaya akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Turmudzi)
Kedua, barangsiapa yang menunaikan shalat Dhuha ia tergolong sebagai orang yang bertaubat kepada Alah. “Tidaklah seseorang selalu mengerjakan shalat Dhuha kecuali ia telah tergolong sebagai orang yang bertaubat.” (HR. Hakim).
Ketiga, orang yang menunaikan shalat Dhuha akan dicatat sebagai ahli ibadah dan taat kepada Allah. “Barangsiapa yang shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditulis sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang mengerjakannya sebanyak empat rakaat, maka dia ditulis sebagai orang yang ahli ibadah. Barangsiapa yang mengerjakannya enam rakaat, maka dia diselamatkan di hari itu. Barangsiapa mengerjakannya delapan rakaat, maka Allah tulis dia sebagai orang yang taat. Dan barangsiapa yang mengerjakannya dua belas rakaat, maka Allah akan membangun sebuah rumah di surga untuknya.” (HR. At-Thabrani).
Keempat, orang yang istiqamah melaksanakan shalat Dhuha kelak ia akan masuk surga lewat pintu khusus, pintu Dhuha yang disediakan oleh Allah. “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu bernama pintu Dhuha. Apabila Kiamat telah tiba maka akan ada suara yang berseru, ‘Di manakah orang-orang yang semasa hidup di dunia selalu mengerjakan shalat Dhuha? Ini adalah pintu buat kalian. Masuklah dengan rahmat Allah Subhanahu Wata’ala.” (HR. At-Thabrani).
Kelima, Allah menyukupkan rezekinya. “Wahai anak Adam, janganlah engkau merasa lemah dari empat rakaat dalam mengawali harimu, niscaya Aku (Allah) akan menyukupimu di akhir harimu.” (HR. Abu Darda`).
Keenam, orang yang mengerjakan shalat Dhuha ia telah mengeluarkan sedekah. “Hendaklah masing-masing kamu bersedekah untuk setiap ruas tulang badanmu pada setiap pagi. Sebab tiap kali bacaan tasbih itu adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah yang mungkar adalah sedekah. Dan sebagai ganti dari semua itu, maka cukuplah mengerjakan dua rakaat sholat Dhuha.” (HR Muslim).
Selain keutamaan yang sudah disebutkan di atas, masih ada keutamaan lainnya yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Yaitu dengan mengerjakan shalat Dhuha ada pahala besar berupa pahala seperti orang yang haji dan umrah yang diterima oleh Allah. Barangkali kemuliaan ini masih belum diketahui oleh banyak orang. 
Bunyi haditsnya, “Barangsiapa shalat subuh dengan berjamaah, kemudian duduk berdizkir kepada Allah sampai matahari terbit, lalu shalat dua rakaat, dia mendapat pahala seperti haji dan umrah yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. Turmudzi).
Dalam buku yang berjudul Panduan Shalat Dhuha (Terbitan Darul Uswah, Yogyakarta, 2013) yang ditulis oleh Ibrahim an-Naji dan diterjemahkan oleh Ahmad Suryana ini, diketengahkan syarat-syarat untuk dapat meraih pahala umrah dan haji yang sempurna itu.
Pertama, diawali dengan shalat subuh berjamaah, meski tidak dilakukan di masjid seperti mushalla, ini sudah cukup. Batas minimalnya shalat berjmaah adalah antara imam dan makmun.
Kedua, duduk di tempat shalatnya sampai terbitnya matahari.
Ketiga, tidak mengerjakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Syarat keempat menyibukkan diri dengan berzikir hingga waktu dibolehkannya shalat Dhuha.
Imam al-Ghazali menyebutkan amalan-amalan yang dilakukan di waktu antara subuh danshalat Dhuha: berdoa, berzikir dengan tasbih, membaca al-Qur`an dan bertafafkur.
Kelima, mengerjakan shalat Dhuha di tempat ia berzikir tersebut meski hanya dua rakaat.
Joging 20 menit menyehatkan tubuh, shalat Dhuha 2 rakaat tenangkan jiwa,” tulis sahabat saya suatu kali, maka bukan hanya jiwa yang tenang, dosa pun diampuni, dimudahkan dalam menjemput rezeki dan pahala umrah serta haji dapat diraih.
Berbahagilah orang yang shalat Dhuha. Mengawali pagi dengan ibadah. Santapan ruhani yang menggenapkan semangat menjalani kehidupan dengan penuh keyakinaan dan tawakal. Dari awal hingga akhir menautkan diri kepada Allah yang Maha Kaya.
Mudah-mudahan dengan mengetahui keutamaan shalat Dhuha kita lebih istiqamah melaksanakan shalat yang satu ini.
More aboutBerbahagilah bagi Anda yang Rajin Shalat Dhuha

Hukum Sabung Ayam

Diposting oleh Mutiarahikmah on Selasa, 26 Agustus 2014



Hukum sabung ayam disertai judi dan tanpa berjudi ? Bukankah ini menyakiti binatang ?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Terdapat hadis dari Mujahid, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ الْبَهَائِمِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengadu binatang. (HR. Abu Daud 2562, Turmudzi 1708, dan yang lainnya).
Hanya saja, hadis ini dinilai dhaif oleh para ulama, karena statusnya hadis mursal. At-Turmudzi mengisyaratkan bahwa hadis ini adalah mursal Mujahid.
As-Syaukani ketika menyebutkan hadis ini mengatakan,
ووجه النهي أنه إيلام للحيوانات وإتعاب لها بدون فائدة بل مجرد عبث.
Sisi larangannya, karena adu binatang akan menyakiti binatang, membebani mereka tanpa manfaat, selain hanya main-main. (Nailul Authar, 8/99)
Meskipun hadisnya dhaif, bukan berarti mengadu binatang hukumnya dibolehkan. Karena para ulama menegaskan bahwa mengadu binatang hukumnya terlarang.
Dalam al-Adab as-Syar’iyah, Ibnu Muflih mengatakan,
ويكره التحريش بين الناس، وكل حيوان بهيم، ككباش وديكة وغيرها. ذكره في (الرعاية الكبرى)، وذكر في: (المستوعب) أنه لا يجوز التحريش بين البهائم.
Sangat dibenci mengadu manusia dan seluruh binatang. Seperti kambing, ayam, atau yang lainnya. Sebagaimana keterangan yang disebutkan dalam kitab ar-Ri’ayah al-Kubro. Dan disebutkan dalam kitab al-Mustau’ib bahwa dilarang mengadu binatang. (al-Adab as-Syar’iyah, 3/342).
Ibnu Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah,
يُكْرَهُ التَّحْرِيشُ بَيْنَ الْبَهَائِمِ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ إي لَعَمْرِي، وَالْأَوْلَى الْقَطْعُ بِتَحْرِيمِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ النَّاسِ
Apakah mengadu binatang hukumnya makruh?
Beliau menjawab,
Subhanallah, sungguh aneh. Yang lebih layak, ini dihukumi haram melebihi mengadu manusia. (al-Adab as-Syar’iyah, 3/342).

Allahu a’lam.
More aboutHukum Sabung Ayam

Hukum Bekicot

Diposting oleh Mutiarahikmah



Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Salah satu binatang yang menjadi polimik terkait status kehalalannya adalahbekicot. Terlebih bagi mereka yang tinggal di iklim tropis, hewan ini sangat mudah dan banyak dijumpai. Namun apapun itu, sejatinya permasalahan halal dan haramnya bekicot termasuk masalah ijtihadiyah, sehingga tidak selayaknya di bawah ke ranah aqidah atau bahkan menjadi sumber perpecahan.

Berkaitan dengan hukum bekicot, ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan,
Pertama, bekicot ada dua: bekicot darat dan bekicot air
Kita tidak sedang membahas ciri fisiologi masing-masing, karena kita anggap, orang yang mengenal hewan ini, bisa memahami perbedaan bekicot darat dan bekicot air.
Kemudian, untuk bekicot air, baik perairan tawar atau laut, hukumnya halal, meskipun langsung dimasak tanpa disembelih.
Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Quran,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan… (QS. Al-Maidah: 96)
Ibn Abbas dalam riwayat yang sangat masyhur, mengatakan,
{صيده} ما أخذ منه حيًا {وَطَعَامُهُ} ما لفظه ميتًا
“Binatang buruan laut adalah hewan laut yang diambil hidup-hidup, dan makanan  dari laut adalah bangkai hewan laut.” (Tafsir Ibn Katsir, 3/197).
Al-Bukhari membawakan satu riwayat dari Syuraih, salah seorang sahabat nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau mengatakan,
كُلُّ شَيءٍ فِي الْبَحْرِ مَذْبُوحٌ
“Semua yang ada di laut, statusnya sudah disembelih” (HR. Bukhari secara muallaq).
Kedua, hukum bekicot darat
Bagian inilah yang diperselisihkan ulama.
Pendapat pertama, bekicot darat termasuk hasyarat. Dan hasyarat hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan Syafiiyah. An-nawawi mengatakan,
مذاهب العلماء في حشرات الأرض …. مذهبنا أنها حرام ، وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود . وقال مالك : حلال
“Madzhab-madzhab para ulama tentang hewan melata bumi…, madzhab kami (syafiiyah) hukumnya haram. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Daud. Sementara Malik mengatakan, boleh.” (Al-Majmu’, 9/16)
Ibnu Hazm mengatakan,
ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من الحشرات كلها : كالوزغ ، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود كله – طيارة وغير طيارة – والقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من أنواعها ؛ لقول الله تعالى : (حرمت عليكم الميتة) ؛ وقوله تعالى (إلا ما ذكيتم)
“Tidak halal makan bekicot darat, tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah…..” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, “Kecuali binatang yang kalian sembelih.”
Kemudian Ibn Hazm menegaskan,
وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق ، أو الصدر , فما لم يقدر فيه على ذكاة : فلا سبيل إلى أكله : فهو حرام ؛ لامتناع أكله ، إلا ميتة غير مذكى
“Sementara dalil yang shahih telah mengaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan kaluar untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai, yang tidak disembelih. (Al-Muhalla, 6/76).
Pendapat kedua, merupakan kebalikannya, bekicot hukumnya halal. Ini adalah pendapat Malikiyah. Mereka punya prinsip bahwa hewan yang tidak memiliki sistem transportasi darah merah, tidak harus disembelih. Mereka mengqiyaskannya sebagaimana belalang.
Cara menyembelihnya bebas, bisa dengan langsung direbus, dipanggang, atau ditusuk dengan kawat besi, sampai mati, sambil membaca basmalah.
Dalam Al-Mudawanah dinyatakan,
“سئل مالك عن شيء يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل ؟ قال : أراه مثل الجراد ، ما أخذ منه حيّاً فسلق أو شوي : فلا أرى بأكله بأساً , وما وجد منه ميتاً : فلا يؤكل
Imam Malik ditanya tentang binatang yang ada di daerah maroko, namanyabekicot. Biasanya berjalan di bebatuan, naik pohon. Bolehkah dia dimakan?
Imam Malik menjawab:
“Saya berpendapat, itu seperti belalang. Jika ditangkap hidup-hidup, lalu direbus atau dipangggang. Saya berpendapat, Tidak masalah dimakan, namun jika ditemukn dalam keadaan mati, jangan dimakan.” (Al-Mudawwanah, 1/542)
Al-Baji juga pernah menukil keterangan Imam Malik tentang bekicot,
ذكاته بالسلق ، أو يغرز بالشوك والإبر حتى يموت من ذلك ، ويسمَّى الله تعالى عند ذلك ، كما يسمى عند قطف رءوس الجراد
“Cara menyembelihnya adalah dengan dimasak, atau ditusuk kayu atau jarum sampai mati. Dengan dibacakan nama Allah (bismillah) ketika itu. Sebagaimana membaca bismillah ketika memutuskan kepala belalang.” (Al-Muntaqa Syarh Muwatha’, 3/110)
Jika perhatikan keterangan di atas, keterangan yang melarang makan bekicot, lebih mendekati kebenaran. Karena bekicot darat termasuk hewan melata yang tidak bisa disembelih. Dan semua binatang yang tidak mungkin bisa disembelih, maka tidak ada cara untuk bisa memakannya, karena statusnya bangkai.
Sisi yang lain, terdapat kaidah yang diakui bersama bahwa tidak mengkonsumsi binatang yang halal dimakan setelah disembelih, termasuk tindakan menyianyiakan harta, yang itu dilarang secara syariat. Sementara binatang seperti membuang bekicot, tidak termasuk bentuk menyia-nyiakan harta.
Sementara mengqiyaskan bekicot dengan belalang, seperti yang dipahami malikiyah, adalah qiyas yang tidak benar. Karena belalang dikecualikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hukum bangkai yang haram. Sementara bekicot tetap harus disembelih (menurut Malikiyah), hanya saja dengan cara yang tidak pada umumnya diterapkan.
Demikian keterangan tarjih yang dipilih oleh Syaikh Ali Farkus
Sumber: http://www.ferkous.com/site/rep/Bq131.php
Allahu a’lam
More aboutHukum Bekicot

Dahsyatnya Sakaratul Maut

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 20 Agustus 2014



Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar hamba-hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezaliman bersegera untuk meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.
Namun, berbagai peringatan dan pelajaran baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ

“Tidaklah berita itu seperti orang yang melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Ash-Shahihah no. 135)
Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan, dengan sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali hamba-hamba-Nya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ

“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya:

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ. وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ. وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ. فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ. تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan’, hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya. ‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang dia rasakan karena sakaratul maut itu. ‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka’ (para malaikat). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, kenapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ. وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ. وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ. وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ. إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, dia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.
Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi ‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ

“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (Lihat Ash-Shahihah no. 132)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَلَا أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ لِأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم

“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 4446)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama rahimahumullah mengatakan bahwa apabila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul r, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ. أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ

“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)
Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:
1. Agar makhluk mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan dia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, dia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal dia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut –padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya– hal itu akan memupus anggapan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi –selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad–, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut1.
2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ

“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”
Maka jawabannya adalah:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلَاءً فِي الدُّنْيَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.”2
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)
Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya:

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)
Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri tugas untuk mencabut arwah hamba-hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga tidak ada di dalam Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya:

قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu’.” (As-Sajdah: 11)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullahu berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ. ثُمَّ رُدُّوا إِلَى اللهِ مَوْلَاهُمُ الْحَقِّ أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)
Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)
Footnote :
1. Beliau mengisyaratkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ


“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi)
More aboutDahsyatnya Sakaratul Maut