Hutang Puasa Belum Dibayar, sudah Datang Ramadhan lagi?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Jumat, 28 Juni 2013


بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين, وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين, أما بعد:

Sebagian muslim yang mempunyai hutang puasa terkadang belum membayar hutang puasanya sampai datang bulan Ramadhan selanjutnya, dalam kasus seperti ini apa yang harus dilakukan dalam perihal mengqadhanya?
Kawanku Pembaca seiman…
Harus diketahui bahwa hutang yang dimiliki seorang hamba kepada Allah Ta’ala lebih berhak ditunaikan oleh hamba tersebut.
Dan maksud hutang seorang hamba kepada Allah Ta’ala adalah ibadah-ibadah yang belum dikerjakan padahal diwajibkan atasnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »
Artinya: “Dan Hutang terhadap Allah lebih berhak untuk ditunaikan.” HR. BUkhari dan Muslim. 
Harus diketahui pula, bahwa seorang yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan, maka ia wajib mengqadhanya sebelum datang Ramadhan selanjutnya.
Mari perhatikan hadits berikut:
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : ( كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) .
Artinya: “’Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah aku mempunyai hutang puasa dari bulan Ramadhan, lalu aku tidak mampu mengqadhanya melainkan di dalam bulan Sya’ban, yang demikian itu karena keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” HR. Bukhari dan Muslim.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah mengomentari hadits ini:

وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ اهـ
Dan diambil pelajaran dari semangatnya ‘Aisyah radhiyallalhu ‘nha untuk mengqadhanya di dalam bulan Sya’ban, BAHWA TIDAK BOLEH MENGAKHIRKAN QADHA SAMPAI MASUK KE DALAM RAMADHAN YANG LAIN.” Lihat kitab Fath Al Bary ketika mengomentari hari di atas.
Al ‘ainy rahimahullah berkata:

ومما يستفاد من هذا الحديث أن القضاء موسع ويصير في شعبان مضيقا ويؤخذ من حرصها على القضاء في شعبان أنه لا يجوز تأخير القضاء حتى يدخل رمضان فإن دخل فالقضاء واجب أيضا فلا يسقط
Artinya: “Dan yang diambil manfaat dari hadits ini adalah bahwa, mengqadha itu luas waktunya, tetapi jika masuk bulan Sya’ban menjadi sempit waktunya, dan diambil dari semangatnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengqadha di dalam bulan Sya’ban bahwa TIDAK BOLEH MENGAKHIRKAN QADHA SAMPAI MASUK RAMADHAN YANG LAIN, DAN JIKA MASUK JUGA (RAMADHAN YANG LAIN) MAKA QADHA TETAP WAJIB JUGA, TIDAK JATUH ATASNYA.” Lihat kitab ‘Umdat Al Qary fi Syarh Shahih Al Bukhary.
Dan jika ada yang berhutang puasa di dalam bulan Ramadhan kemudian belum diqadha maka orang seperti ini tidak lepas dari dua keadaan: 
Keadaan pertama: Pengakhiran qadha dari hutang Ramadhan tersebut karena sebuah alasan yang dibenarkan oleh syari’at, seperti sakit dan sakitnya berlanjutnya sampai datang ramadhan lainnya, atau alasan lain yang mengakibatkan ia tidak mampu untuk mengqadha hutang puasanya. 
Orang seperti ini tidak berdosa dan wajibnya baginya mengqadha sejumlah hari yang ia berhutang puasa. Lihat dalil-dalinya berikut ini:

{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [التغابن: 16]
Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. At Taghabun:16.

{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286]
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”QS. Al Baqarah: 286.

« وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ »
Artinya: “Dan jika Aku perintahkan kalian dengan sebuah perkara maka kerjakanlah darinya sesuai dengan kemampuan kalian.” HR. Bukhari.
Dan Allah Ta’ala berfirman:

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } [البقرة: 184]
Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” QS. Al Baqarah: 184.
Keadaan Kedua: Pengakhiran qadha hutang puasa Ramadhan karena kelalaian, kemalasan, peremehan dan tidak mempunyai alasan yang dibolehkan oleh syari’at.
Orang seperti ini, menurut kesepakatan para ulama tetap wajib mengqadha, hal in berdasarkan ayat yang mulia dari surat Al Baqarah yang sudah disebutkan di atas.
Dan terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, APAKAH DISAMPING MENGQADHA JUGA HARUS MEMBAYAR FIDYAH (YAITU MEMBERI MAKAN KEPADA FAKIR MISKIN) SEBAGAI TEBUSAN ATAS PENGAKHIRANNYA TANPA ADA ALASAN YANG DIBENARKAN OLEH SYARI’AT? ATAUKAH HANYA MENGQADHA SAJA?
Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat:
Yang pertama: wajib mengqadha dan membayar fidyah, dan ini adalah pendapatnya Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Asy Syafi’ie, Ishaq, Ats Tsaury dan Al Auza’iy rahimahumullah.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

((من فرَّط في صيام شهر رمضان حتى يدركه رمضان آخر فليصم هذا الذي أدركه، ثم ليصم ما فاته، ويطعم مع كل يوم مسكيناً))
Artinya: “Barangsiapa yang meremehkan puasa Ramadhan sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka berpuasalah ia bulan ini yang ia dapati (dari Ramadhan yang kedua) kemudian berpuasalah ia atas apa yang ia tinggalkan, dan memberikan maka setiap harinya seorang miskin.” HR. Ad Daruquthny dan ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Furu’ (5/64): “diriwayatkan oleh Sa’id dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma”, riwayat ini dishahihkan juga oleh An Nawawi di dalam kitab Al Majmu’ (6/346) .
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata tentang seseorang yang sakit lalu tidak berpuasa sampai memuali dulu, ia berpuasa sampai datang Ramadhan yang lain:

((يصوم الذي حضره ويصوم الآخر ويطعم كل ليلة مسكيناً))
Artinya: “Ia berpuasa yang telah hadir dan brpuasa lainnya serta memberikan makanan setiap hari seorang miskin.” HR. Ad daruquthny (2/197) dan beliau berkata: “Sanadnya shahih mauquf.” 
Yang kedua : wajib mengqadha saja. Dan ini pendapatnya Al Hasan Al Bashry, An Nakh’i, Al Bukhari berkata di dalam kitab shahihnya:

قَالَ إِبْرَاهِيمُ -يعني : النخعي- : إِذَا فَرَّطَ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ يَصُومُهُمَا وَلَمْ يَرَ عَلَيْهِ طَعَامًا ، وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مُرْسَلا وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُطْعِمُ . ثم قال البخاري : وَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهُ الإِطْعَامَ ، إِنَّمَا قَالَ : ( فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) اهـ
“Berkata Ibrahim yaitu An Nakh’i: “Jika ia meremehkan sampai datang ramadhan lain, maka ia berpuasa pada keduanya dan ia tidak berpendapat ada kewajiban fidyah atasnya dan diriwayatkan dari Abu Hurairah secara mursal dan juga Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa ia (juga) membayar fidyah, kemudia Al Bukhari berkata: “Allah tidak menyebutkan membayar fidyah, tetapi hanya berfirman: “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Yang ketiga: Wajib membayar fidyah saja. Dan ini adalah pendapatnya Abdullan bin Umar radhiyallahub ‘anhuma. Beliau berkata:

((من أدركه رمضان ولم يكن صام رمضان الخالي فليطعم مكان كل يوم مسكيناً مُدّاً من حنطة)).
Artinya: “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan dan belum berpuasa pada ramadhan yang lalu maka hendaklah ia memberi makan setiap harinya seorang miskin sebanyak satu mud dari gandum.” HR. Ad DaruQuthny (2/196) dan Ibnu Muflih berkata: “Disebutkan oleh Ath Thahawy dari riwayat Abdullah Al ‘Umary dan di dalam sanadnya terdapat lemah, riwayat dari Abdullah bin Umar; bahwa memberikan makan tanpa qadha’.” Lihat kitab AL Furu’ (5/74).
PENDAPAT LEBIH KUAT YANG DIPILIH OLEH PENULIS ADALAH PENDAPAT KEDUA YAITU HANYA DENGAN MENGQADHA TANPA FIDYAH, mari perhatikan penjelasan berikut:
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

وأما أقوال الصحابة فإن في حجتها نظراً إذا خالفت ظاهر القرآن ، وهنا إيجاب الإطعام مخالف لظاهر القرآن ، لأن الله تعالى لم يوجب إلا عدة من أيام أخر ، ولم يوجب أكثر من ذلك ، وعليه فلا نلزم عباد الله بما لم يلزمهم الله به إلا بدليل تبرأ به الذمة ، على أن ما روي عن ابن عباس وأبي هريرة رضي الله عنهم يمكن أن يحمل على سبيل الاستحباب لا على سبيل الوجوب ، فالصحيح في هذه المسألة أنه لا يلزمه أكثر من الصيام إلا أنه يأثم بالتأخير . اهـ الشرح الممتع (6/451) .
Artinya: “Dan adapun perkataan para shahabat, sesungguhnya di dalam kehujjahannya menjadi perhatian jika menyelisihi zhahir ayat Al Quran, dan disini pewajiban memberi makan (yaitu membayar fidyah) menyelisihi zhahir Al Quran, karena Allagh ta’ala belum mewajibkan kecuali menggantinya di beberapa hari yang lain dan tidak mewajibkan lebih daripada itu, maka berdasarkan hal ini kita tidak mewajibkan kepada hamba-hamba Allah dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Ta’ala atas mereka kecuali dengan dalil yang melepaskan kita dari tanggun jawab, apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum mungkin dibawa dalam jalur anjuran dan bukan dalam jalur kewajiabn, maka yang yang benar dalam permasalahan ini, bahwa tidak wajib baginya lebih daripada puasa, tetapi ia berdosa ata pengakhirannya.” Lihat kitab Asy Syarh Al Mumti’ (6/451).
Semoga bermanfaat.
More aboutHutang Puasa Belum Dibayar, sudah Datang Ramadhan lagi?

Ibu adalah Sekolahmu yang Pertama

Diposting oleh Mutiarahikmah


Selalu ada dilema antara karir dan keluarga, khususnya untuk kaum wanita. Hal itu tidak terlepas dari kodrat alamiah dan kodrat sosial kaum hawa itu sendiri. Secara alamiah, mereka cenderung memiliki naluri ‘seni’ mengasuh anak, melebihi kaum lelaki. Dan, secara otomatis, naluri ilmiah ini diikuti oleh kecenderungan sosial yang terjadi pada masyarakat secara umum.
Sebenarnya ini merupakan konfigurasi sosial yang ideal. Itu pula yang menjadi gambaran umum kaum Muslimah  dari generasi pertama umat ini. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu sebagai istri, ibu rumah tangga dan inang pengasuh bagi anak-anak mereka.
Yang menjadi persoalan, pola tersebut mulai bergeser seiring dengan arus perkembangan waktu. Naluri keibuan kaum hawa sedikit demi sedikit mulai menjadi tumpul, barangkali sebagai akibat tidak langsung dari misi kesetaraan gender yang terus menerus dihembuskan oleh Barat.
Sebenarnya, dalam Islam sendiri, tidak pernah ada larangan bagi kaum hawa untuk menekuni karir, senyampang hal itu dijalani sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh syariat. Kalaupun cukup sering terjadi polemik mengenai hal itu, fokus utamanya bukan tertuju pada boleh tidaknya berkairir, akan tetapi mengenai apakah mereka bisa memenuhi tuntunan agama selama menekuni kairir tersebut.
Secara umum, munculnya polemik mengenai wanita karir bersumber dari dua motivasi utama. Motivasi pertama, karena besarnya harapan terhadap kaum hawa sebagai pilar pendidikan generasi. Mengenai hal itu, Ahmad Syauqi, pujangga termasyhur dari Mesir, menyatakan:
ألأُمُّ مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا . . . . أَعْدَدْتَ جَيْلاً طَيِّبَ اْلأَعْرَاقِ
Ibu adalah sekolah. Jika engkau menyiapkannya (dengan baik), maka engkau menyiapkan sebuah generasi yang berkualitas tinggi.
Syekh Musthafa al-Ghulayaini, jubir dan motivator Dinasti Utsmani, menyatakan:
أَلنِّسَاءُ عِمَادُ الْبِلَادِ
Kaum hawa adalah pilar (keberhasilan generasi di) berbagai negeri.
Ibu berperan sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika ibu menghabiskan waktu untuk menekuni karir, maka anak-anak akan kehilangan sentuhan pendidikan dasar yang sangat menentukan perkembangan psikologi mereka. Hilangnya sentuhan tersebut ditengarai menjadi salah satu penyebab utama maraknya kenakalan remaja, khususnya di kalangan masyarakat perkotaan.
Motivasi kedua, kekhawatiran tidak bisa mematuhi ajaran hijab, atau aturan interaksi antara lelaki-perempuan. Pada umumnya wanita karir memang tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan syariat yang terkait dengan mereka. Di antara beberapa kebiasan wanita karir yang tidak sesuai dengan ajaran agama adalah: (1) Tampil menarik atau berhias di hadapan lelaki yang bukan suami atau mahramnya; (2) Biasa terjadi ikhtilath (campur baur), khulwah (berduaan), dan saling bersentuhan dengan lelaki bukan mahram; (3) Bepergian tanpa disertai oleh mahram; (4) Keluar rumah tanpa seizin dari suami atau wali; (5) Terbengkalainya tugas-tugas kerumah-tanggaan; (6) Adanya kecenderungan dunia usaha untuk menjadikan pesona jasmaniah perempuan sebagai daya tarik, khususnya dalam konteks pelayanan prima; (7) Terjadi kepemimpinan perempuan atas lelaki yang selalu menjadi polemik hangat dalam wacana hukum fikih; (8) Dan lain sebagainya.
Secara umum, ajaran Islam memang meletakkan batas ruang yang ketat antara lelaki dan perempuan.
Dalam kondisi seperti ini, muncullah banyak dilema. Khususnya, dilema antara persoalan ekonomi dan isu kesetaraan gender di satu sisi, malawan kepentingan rumah tangga, pendidikan anak, dan aturan agama di sisi yang lain.
Maka, persoalan wanita karir harus dilihat dengan sudut pandang yang jernih dan utuh. Terutama, mengenai apa tujuannya, dengan senantiasa mempertimbangkan apa maslahat dan apa mudaratnya. Sangat banyak kaum wanita yang terjun menekuni karir bukan karena didorong oleh kebutuhan mendesak, akan tetapi hanya untuk mencari popularitas, kepuasan, kesenangan, status sosial, kekayaan materi yang melimpah, dan semacamnya. Semantara untuk mengejar semua itu, dia harus mengorbankan pentingnya kerumah-tanggaan dan kepengasuhan anak. Dengan begitu, dia meninggalkan sesuatu yang sangat mendesak untuk mengejar sesuatu yang tidak terlalu penting, atau bahkan tidak baik.
Dalam agama Islam sendiri, desakan ekonomi merupakan pintu yang paling terbuka bagi wanita untuk menekuni sebuah perkerjaan. Beberapa data sejarah menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah bekerja sebagai penjahit. Juga tidak sedikit perempuan di masa itu yang bekerja sebagai pemintal atau penenun (industri tekstil). Siti Asma' binti Abi Bakar dikenal sebagai wanita yang bekerja keras untuk menghidupi putra-putrinya, karena status beliau sebagai single parent.
Beberapa data sejarah juga menyebutkan bahwa tidak sedikit perempuan pada masa Rasulullah SAW dan para Sahabat yang bekerja sebagai inang pengasuh, ibu susu, dan pelayan. Hal ini tidak terlepas kodrat alamiah perempuan sebagai pendidik ulung bagi anak-anak berusia dini. Bidang-bidang profesi yang erat dengan urusan ‘dalam’ kaum perempuan, memang sudah seharusnya diisi oleh kaum perempuan, semisal kebiadanan dan pengasuhan anak.
Jadi, izin berkarir bagi kaum wanita harus diposisikan sebagai opsi kedua, yakni karena tuntutan kondisi yang cukup mendesak. Bukannya dijadikan sebagai opsi utama, seperti yang sedang giat dikampanyekan oleh pemerintah saat ini. Sepertinya, mereka hendak ‘memaksa’ kaum hawa untuk berkarir di politik dengan kebijakan presentase keterwakilan perempuan di parlemen maupun di kepengurusan partai. Dari satu sisi, sepertinya langkah tersebut dianggap sebagai langkah maju untuk membela hak-hak perempuan, padahal secara psikologis berpotensi besar memudarkan jiwa keibuan dan keistrian.
 Jika sering membaca analisis mengenai kenakalan remaja, sebenarnya di Barat sendiri tidak jarang terdengar keluhan mengenai pudarnya jiwa keibuan karena tingginya gairah kaum hawa untuk menekuni karir. Hanya saja, keluhan-keluhan semacam ini lebih sering tertutupi oleh arus opini yang tidak seimbang.
Maka, sebagai umat dan bangsa yang menjunjung tinggi budaya ketimuran, kita harus berpikir lebih jernih mengenai hal itu, bukannya terdesak oleh perkembangan yang terjadi di negara-negara maju. Sudah ribuan tahun, kaum hawa kita berperan sebagai ibu dan istri, nyatanya roda sosial masyarakat berjalan dengan baik-baik saja. Sama sekali tidak menjadi beban sosial-ekonomi seperti yang banyak ditakutkan oleh generasi kita saat ini. 
More aboutIbu adalah Sekolahmu yang Pertama

Rumahku Surgaku, Istriku Bidadariku

Diposting oleh Mutiarahikmah


Kalaupun dia tidak memiliki kebutuhan biologis, tetap sangat berat baginya untuk hidup sebatang kara di dalam rumah,” dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’ ketika berbicara mengenai bangunan rumah tangga ideal dalam pandangan syariat dan tasawuf.

Istri adalah pendamping hidup yang di anugerahi keterampilan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak akrab dengan suami. Misalnya, berbagai macam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Penanggung jawab formal dari semua itu secara syariat adalah suami. Padahal, suami pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk menangani tugas-tugas tersebut. Kenapa demikian? Boleh jadi, agar istri punya kesempatan untuk meraih pahala besar, dengan berbakti, menjadi pembantu agama bagi istrinya.

“Dengan jalan ini, istri salehah merupakan pembantu agama bagi suami di rumah. Tanpa peran istri, akan banyak hal yang banyak mengganggu hati dan membuat hidupnya menjadi serba menyesakkan.” Demikian dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’. Terkait dengan itu, beliau mengutip pernyataan abu Sulaiman ad-Darani, “Istri salehah tidak termasuk urusan duniawi, karena dia justru membuat terfokus untuk akhirat.
Ada beberapa tokoh sufi yang memiliki istri yang juga sufi, sehingga aura akhirat bersinar sangat benderang dari atap rumah tangganya, dan nuansa duniawi nyaris berada pada titik nol. Misalnya,yang sangat terkenal dalam khasanah tasawuf, adalah pasangan Syekh Ahmad bin Abil Hawari dengan Rabiah asy-Syamiyah.
Mereka hidup di Damaskus pada awal Abad Ketiga Hijriyah. Mereka sama-sama dikenal sebagai tokoh sufi. Rabiah dikenal dengan pengabdian sufistiknya terhadap sang suami. Dalam kisah-kisah pengabdian Rabiah bertebaran kilau-kilau religius yang mempesona.
Secara fisik Rabiah sering sibuk di dapur, tapi hati dan pikirannya berisi Allah. Maka, konon, saat menyuguhkan masakannya kepada sang suami, Rabiah mempersilahkan dengan kalimat, “Suamiku, makanlah. Makanan ini tidaklah masak melainkan dengan kalimat tasbih.”
Rabiah sering membuatkan masakan-masakan kejantanan, lalu memberikan pakaian-pakaian yang bagus dan harum kepada Ibnu Abil Hawari. Setelah itu ia bilang, “Suamiku, sekarang datangilah istrimu yang lain. Bawalah seluruh semangat kejantananmu.”
Meski Rabiah sering bilang seperti itu, bukan berarti tak ada cinta yang bersemai di hatinya. Ia sangat mencintai Ibnu Abil Hawari, tapi bukan cinta asmara, melainkan cinta karena ikatan kebenaran. “Aku sangat mencintaimu, tapi bukan cinta istri kepada suaminya, melainkan cinta orang-orang yang saling bersaudara.” katanya kepada Ibnu Abil Hawari.
Hati dan pikiran Rabiah memang selalu senantiasa tertuju kepada Allah. Dia tidak memiliki kepentingan duniawi atas suaminya. Ahmad bin Abil Hawari pernah bercerita: suatu ketika aku memanggil Rabiah, tapi dia tidak menjawab. Ia baru menjawab beberapa saat kemudian. Ia berkata “Suamiku, hatiku sedang dikuasai rasa gembira dengan Allah. Akhirnya aku tak mampu menjawab panggilanmu.”
Jauh sebelum Ibnu Abil Hawari, ada Shilah bin Asyim, sufi masyhur dari kalangan tabiin yang membangun rumah tangga dengan Muadzah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan di Basrah. Saat malam pertama, sepupu Shilah menyediakan pemandian air panas untuk mereka dan menyiapkan kamar pengantin yang indah dan harum. Tapi, yang terjadi, Shilah dan Muadzah justru melewatkan malam penting itu dengan beribadah semalam suntuk. Mereka salat hingga pagi tiba.
Mengetahui akan hal itu, sepupu Shilah sangat kecewa. Ia datang menghardiknya. Maka, Shilah bin Hasyim angkat bicara, “Tadi malam engkau sediakan untukku pemandian yang membuatku mengingat neraka. Lalu, kau masukkan aku ke kamar yang membuatku mengingat surga. Maka, surga dan neraka itu memenuhi pikiranku hingga pagi hari.”
Dari perkawinan itu, Shilah dan Muadzah dikaruniai seorang putra. Ketika ia sudah dewasa, Shilah membawanya mengikuti sebuah perang. Mereka sama-sama gugur di sana. Mendengar hal itu, perempuan-perempuan di Basrah mendatangi rumah Muadzah untuk menyampaikan belasungkawa. Muadzah menyambut mereka. “Aku ucapkan selamat datang jika kalian ke sini untuk mengucapkan selamat kepadaku. Kalau bukan untuk itu, pulanglah kalian… Setelah ini aku tidak menyukai hidup melainkan sebagai perantara untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah mengumpulkan aku dengan suami dan anakku di surga.”
Itulah pernik kisah dalam rumah tangga ideal bagi para sufi. Sebenarnya, untuk focus kepada Allah, tak sedikit tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup membujang. Tapi, merekapun mungkin akan menikah jika mendapatkan istri seperti itu. Istri yang akan benar-benar menjadi pendukung, pemberi semangat, teman dan pembantu bagi suami agar mencurahkan seluruh waktunya untuk Allah. Istri yang membuat mereka semakin leluasa mencurahkan hati dan pikirannya untuk akhirat, seperti telah ditegaskan oleh Abu Sulaiman ad-Darani tentang istri salehah. Yâ Habbadzâh!
More aboutRumahku Surgaku, Istriku Bidadariku

Beginilah Seharusnya Wanita

Diposting oleh Mutiarahikmah


Inilah figur wanita-wanita istiewa yang diabadian oleh sejarah, dengan segudang prestasi, prestasi, dan prestasi. Ha litu bukan karena mereka mampu berkompetisi dengan kaum Adam di bidang yang sama, tapi karena mereka bijak memerankan tugas mereka di bidang yang ditekuni, dengan tanpa mengorbankan kodrat kewanitaannya.
Khadijah, Istri Tercinta
Parasnya cantik, hartanya melimpah, bernasab mulia pula. Itulah Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah SAW. Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad SAW, Khadijah perna menikah dua kali, tapi suaminya meninggal semua, dengan masing-masing meninggalkan putra.
Aktivitas Khadijah adalah berdagang, dengan mengirimkan kafilah-kafilah ke negeri Syam. Kafilah-kafilah itu nantinya akan kembali ke Mekah dengan membawa makanan, pakaian, dan komoditas lain, untuk diperdagangkan kembali. Kelihaian Khadijah dalam me-manage perputaran roda bisnisnya, membuat beliau menjadi wanita mulia, kaya, dan disegani.
Selama 15 tahun pernkahannya dengan Nabi Muhammad SAW, Kadijah dikaruniai tiga putra, yaitu al-Qasim, ath-Thahir, dan ath-Thayyib, serta empat putri, yakni Zainab, Ruqayyah, Ummi Kulsum, dan Fatimah az-Zahra’. Khadijah sukses memerankan diri sebagai istri yang baik dan sebagai ibu yang bijaksana bagi anak-anaknya.
Khadijah adalah istri tercinta. Ia bukan sekadar istri yang baik, tapi lebih dari itu, ia rla memberikan segalanya kepada suaminya. Dialah menjadi pelindung suami dari intimidasi orang Quraisy; menenangkan suaminya di kala gundah, dan meringankan suaminya dengan menyumbangkan hartanya di jalan dakwah. Karena itulah, ketika Khadijah wafat, Nabi Muhammad SAW sangat terpukul, hingga dalam sejarah tahun itu tercatat sebagai tahun duka.
Dan, tatkala salah satu stri Nabi SAW protes karena cemburu tatkala Nabi SAW menyebut-nyebut nama Khadijah, Nabi SAW marah: “Demi Allah! Tidaklah Allah pernah mengganti bagiku istri yang lebih baik dari dia. Dia telah beriman kepadaku saat oran-orang masih kafir. Ia telah membenarkan kepadaku saat orang-orang masih mendustaiku. A telah menolongku dengan hartanya di saat orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengariniai aku putra-putri darinya, bukan dari istri-istri yang lain.”
Fatimah az-Zahra’, Wanita yang Tabah
Fatimah az-Zahra’, putri Rasulullah SAW tercinta, adalah sayyidatu nisa’il-‘alamin, pemuka wanita seluruh alam. Namun, tidak berarti beliau meiliki tahta, tidak pula bergelimang harta. Sebaliknya, beliau bernaung di bawah di bawah tenda kesederhanaan bersama Sayidina Ali, al-Hasan, dan al-Husain, Muhsin, Zainab, dan Umi Kulsum; keluarga besarnya.
Kendati hidupnya serba tak kecukupan, Fatimah selalu menerima apa adanya, dan menjalani keadaan ini dengan penuh ketabahan. Pernah suatu ketika, Fatimah datang ke Rasulullah SAW meminta pelayanan dari hasil fai’, agar sedikit bisa meringankan beban hidupnya. Namun, Rasulullah SAW tidak mengabulkannya. Akan tetapi, Rasulullah SAW mengajarinya doa-doa, dan menyuruhnya minta tolong kepada Allah SAW dalam mengurusi rumah-tangga, mendidik anak, serta melayani suami. “Hai Fatimah, sabarlah. Sesungguhnya, sebaik-baik wanita adalah yang memberi manfaat kepada keluarganya,” nasihat Rasulullah SAW.
Pada suatu hari, Rasulullah SAW menjenguk Fatimah, dan mendapatinya sedang menggiling gandum dengan batu giling, sementara baju yang dikenakannya tampak terbuat dari bulu onta. Maka Rasulullah SAW menangis seraya berkata, “Hai Fatimah, rasakanlah kepahitan hidup di dunia, agar kelak merasakan kenikmatan akhirat.”
Pada kesempatan yang lain, Rasulullah SAW menjenguk Fatimah yang sedang sakit. “Bagaimana keadaanmu wahai anakku?” Fatimah manjawab, “Aku sedang sakit dan lapar”. Nabi SAW lalu memberi nasihat, “Tidakkah engkau suka menjadi pemimpin wanita seluruh alam?”
Demikianlah, sulitnya manjalani hidup tidak membuat Fatimah az-Zahra’ kehilangan harga dirinya. Justru beliau sukses melewati masa-masa sulit dan ujian yang berat itu, berkat kesabaran dan ketabahannya yang luar biasa. Kemuliaan dan derajat yang tinggi memang seharusnya tak diukur dengan materi.
Aisyah, Sumber Rujukan Ilmu
Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah”. Merasa kurang puas, si penanya kembali bertanya, “Aku maksudkan dari kaum lelaki”. Rasul SAW menjawab, “Ayahnya”.
Jawaban Rasul SAW itu sudah cuku memberikan gambaran kepada kita mengenai siapa dan bagaimana kedudukan Sayidah Aisyah, salah satu istri Nabi SAW. Beliau adalah wanita mulia, dari keturunan mulia, putri Sahabat yang paling mulia, Abu Bakar ash-Shiddiq.
Raulullah SAW menikahi Aisyah pada usia belia. Sebagian orientalis menganggap ini aneh, lalu mereka mengkritik habis-habisan. Sebenarnya para orientalis itu keliru karena mereka menjadikan tredisi Barat sebagai standar kebenaran. Gadis Barat biasanya tidak kawin sebelum mencapai usia 25 tahun, sementara gadis seusia itu di Jazirah Arab dianggap sebagai usia perkawinan yang terlambat.
Pernikah Rasulullah SAW dengan Aisyah yang masih belia, ternyata menympan sejuta hikmahbagi umat Muhammad SAW. Aisyah adalah salah seorang istri Rasulullah SAW yang banyak memperoleh pendidikan langsung dari Rasulullah SAW; menerima ilmu, hukmah, dan petunjuk dari beliau. Karena itu, sepeninggal Rasul SAW, Aisyah menjadi sumber rujukan ilmu, terutama berkenaan dengan keperibadian Rasul dan keadaan rumha-tangga beliau, yang tidak banyak diketahui oleh khalayak.
Dalam hal ini, Abu Musa al-Asy’ari berkata, “Bila kami para sahabat mengalami kesulitan dalam suatu permasalahan, maka kami menanyakan jawabannya kepada Aisyah”.
Diriwayatkan dari Atha’ bin Rabah, “Adalah Aisyah yang paling faqih dan paling alim serta paling baik pendapatnya mengenai permasalahan hukum. Adalah Aisyah tempat berguru kaum pria, dan banyak murinya yang kemudian terkenal menjadi guru dan panutan generasi berikutnya”.
Karena itu, nama Aisyah menjadi harum semerbak, dan ditulis dengan tinta emas sejarah. Beliau berperan besar dalam mentransmisikan Hadis-Hadis Rasulullah SAW kepada generasi umat Islam. Beliaulah sebetulnya sang pelopor yang memilki peran besra dalam memajukan keilmuan  umat Islam. Dalam hal ini beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak malu untuk belajar agama.”
***
Cukuplah kiranya figur wanita-wanita yang di uaikan di atas, menjadi potret sempurna, untuk bagaimana seharusnya para wanita bisa menata diri. Para istri Nabi SAW (ummahatul-mu’minin) adalah figur wanita-wanita yang sempurna, yang menjadi teladan wanita sepanjang zaman. Masing-masing memiliki keistimewaan yang membuat mereka layak menjadi panutan.
Mereka adalah wanita-wanita yang telah teruji oleh sejarah. Sekali lagi penting ditegaskan bahwa mereka menjadi mulia dan bermartabat, bukan karena mereka mangambil alih peran kaum pria, akan tetapi karena mereka menunaikan tugas-tugas kewanitaan dengan arif dan bijak, mengikuti tatanan Ilahi yang telah digariskan. 
More aboutBeginilah Seharusnya Wanita

Adab Makan di Rumah Teman

Diposting oleh Mutiarahikmah on Kamis, 27 Juni 2013


    
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya[1051] atau di rumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian” [QS an Nur:61].
[1051] Maksudnya: rumah yang diserahkan kepadamu mengurusnya.
Terkait etika makan di rumah teman yang terdapat dalam ayat di atas, berikut ini penjelasan Ibnu Katsir:
وقوله: { أَوْ صَدِيقِكُمْ } أي: بيوت أصدقائكم وأصحابكم، فلا جناح عليكم في الأكل منها، إذا علمتم أن ذلك لا يَشُقُّ عليهم ولا يكرهون ذلك.
وقال قتادة: إذا دخلت بيت صديقك فلا بأس أن تأكل بغير إذنه.
Yang dimaksudkan adalah rumah shahabat dan temanmu. Tidaklah mengapa kalian makan di rumah kawan atau teman [meski tanpa izinnya, pent] jika kalian yakin bahwa hal tersebut tidaklah menyusahkan dirinya dan tidak ada perasaan tidak suka dalam diri mereka dengan perbuatan tersebut.
Qotadah mengatakan, “Jika anda masuk ke dalam rumah teman dekatmu maka tidak mengapa jika anda memakan makananan yang ada di rumahnya tanpa meminta izin terlebih dahulu”.
Siapkah kita menerapkan aturan ini?
More aboutAdab Makan di Rumah Teman

Hukum Sholat tanpa Penutup Kepala

Diposting oleh Mutiarahikmah


Allah berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Yang artinya, “Wahai anak keturunan Adam kenakanlah pakaian perhiasan kalian setiap kali kalian mengerjakan shalat” [QS al A’raf:31].
Syaikh Abdurrahman as Sa’di menjelaskan ayat di atas dengan mengatakan, “Maknanya tutupilah aurat kalian ketika kalian mengerjakan shalat baik shalat yang wajib maupun shalat sunah karena tertutupnya aurat itu menyebabkan indahnya badan sebagaimana terbukanya aurat itu menyebabkan badan nampak jelek dan tidak sedap dipandang.
Zinah [perhiasan] dalam ayat di atas bisa juga bermakna pakaian yang lebih dari sekedar menutup aurat itulah pakaian yang bersih dan rapi.
Jadi dalam ayat di atas terdapat perintah untuk menutupi aurat ketika ketika hendak mengerjakan shalat dan mema
kai pakaian yang menyebabkan orang yang memakainya nampak sedap dipandang mata serta memakai pakaian yang bersih dari kotoran dan najis” [Taisir Karim ar Rahman hal 311, terbitan Dar Ibnul Jauzi , cet kedua 1426 H].
Berdasarkan makna yang kedua yang disampaikan oleh Ibnu Sa’di di atas maka ketika kita mengerjakan shalat kita dianjurkan untuk memakai pakaian perhiasan. Itulah pakaian yang menyebabkan kita sedap dipandang jika kita memakainya. Tolak ukur pakaian perhiasan adalah kebiasaan masyarakat sehingga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain, satu zaman dengan zaman yang lain.
Sehingga jika di suatu daerah memakai peci adalah bagian dari berpakaian rapi dan menarik ketika shalat maka memakai peci adalah suatu hal yang dianjurkan sehingga tidak memakai peci dalam kondisi tersebut berarti melakukan hal yang kurang afdhol. Akan tetapi hukum memakai peci menjadi berbeda manakala kita
berdomisili di suatu yang tidak menilai berpeci sebagai bagian dari kerapian berpakaian dalam shalat.
More aboutHukum Sholat tanpa Penutup Kepala

Bolehkah Mengusap Jilbab Ketika Berwudhu?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 26 Juni 2013


Sering kali, seorang muslimah berjilbab merasa kesulitan jika harus berwudhu di tempat umum yang terbuka. InMaksud hati ingin  berwudhu secara sempurna dengan membasuh anggota wudhu secara langsung. Akan tetapi jika hal itu dilakukan maka dikhawatirkan auratnya akan terlihat oleh orang lain yang bukan mahram. Karena anggota wudhu seorang wanita muslimah sebagian besarnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan menurut pendapat yang rojih (terkuat).Lalu, bagaimana cara berwudhu jika kita berada pada kondisi yang demikian?
Saudariku, tidak perlu bingung dan mempersulit diri sendiri, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kemudahan dan keringanan bagi hamba-Nya dalam syari’at Islam ini. Allah Ta’ala berfirman,
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”(QS. Al Baqarah: 185)
Pada bahasan kali ini, kita akan membahas mengenai hukum wudhunya seorang muslimah dengan tetap mengenakan jilbabnya. Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan.
Seorang Wanita Boleh Berwudhu dengan Tetap Memakai Jilbabnya
Terkait wudhunya seorang muslimah dengan tetap memakai jilbab penutup kepala, maka diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengusap jilbabnya sebagai ganti dari mengusap kepala. Lalu apa dalil yang membolehkan hal tersebut?
Dalilnya adalah bahwasanya Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dulu pernah berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya dan beliau mengusap kerudungnya. Ummu Salamah adalah istri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apakah Ummu Salamah akan melakukannya (mengusap kerudung) tanpa izin dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 21/186, Asy Syamilah). Apabila mengusap kerudung ketika berwudhu tidak diperbolehkan, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamakan melarang Ummu Salamah melakukannya.
Ibnu Mundzir rahimahullah dalam Al-Mughni (1/132) mengatakan, “Adapun kain penutup kepala wanita (kerudung) maka boleh mengusapnya karena Ummu Salamah sering mengusap kerudungnya.”
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berwudhu dengan mengusap surban penutup kepala yang beliau kenakan. Maka hal ini dapat diqiyaskan dengan mengusap kerudung bagi wanita.
Dari ‘Amru bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, dari bapaknya, beliau berkata,
رأيت النبي صلّى الله عليه وسلّم، يمسح على عمامته وخفَّيه
“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari (1/308 no. 205) dan lainnya)
Juga dari Bilal radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، مسح على الخفين والخمار
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kedua khuf dan khimarnya.” (HR. Muslim (1/231) no. 275)
Dalam kondisi apakah seorang wanita diperbolehkan untuk mengusap kerudungnya ketika berwudhu?
Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “(Pendapat) yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad, bahwasanya seorang wanita mengusap kerudungnya jika menutupi hingga di bawah lehernya, karena mengusap semacam ini terdapat contoh dari sebagian istri-istri para sahabat radhiyallahu ‘anhunna. Bagaimanapun, jika hal tersebut (membuka kerudung) menyulitkan, baik karena udara yang amat dingin atau sulit untuk melepas kerudung dan memakainya lagi, maka bertoleransi dalam hal seperti ini tidaklah mengapa. Jika tidak, maka yang lebih utama adalah mengusap kepala secara langsung.” (Majmu’ Fatawawa Rasaail Ibni ‘Utsaimin (11/120), Maktabah Syamilah)
Syaikhul Islam IbnuTaimiyyah rahimahullah mengatakan, “Adapun jika tidak ada kebutuhan akan hal tersebut (berwudhu dengan tetap memakai kerudung -pen) maka terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama (yaitu boleh berwudhu dengan tetap memakai kerudung ataukah harus melepas kerudung -pen).”(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (21/218))
Dengan demikian, jika membuka kerudung itu menyulitkan misalnya karena udara yang amat dingin, kerudung sulit untuk dilepas dan sulit untuk dipakai kembali, dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membuka kerudung karena dikhawatirkan akan terlihat auratnya oleh orang lain atau udzur yang lainnya maka tidaklah mengapa untuk tidak membuka kerudung ketika berwudhu. Namun, jika memungkinkan untuk membuka kerudung, maka yang lebih utama adalah membukanya sehingga dapat mengusap kepalanya secara langsung.
Tata Cara Mengusap Kerudung
Adapun mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala pada saat wudhu, menurut pendapat yang kuat ada dua cara [1], diqiyaskan dengan tata cara mengusap surban, yaitu:
1. Cukup mengusap kerudung yang sedang dipakai.
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu dari bapaknya,
“Aku pernah melihat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas surbannya dan kedua khufnya.”
Surban boleh diusap seluruhnya atau sebagian besarnya [2]. Karena kerudung bagi seorang wanita bias diqiyaskan dengan surban bagi pria, maka cara mengusapnya pun sama, yaitu boleh mengusap seluruh bagian kerudung yang menutupi kepala atau boleh sebagiannya saja. Akan tetapi, jika dirasa sulit untuk mengusap seluruh kerudung, maka diperbolehkan mengusap sebagian kerudung saja yaitu bagian atasnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu di atas.
2. Mengusap bagian depan kepala (ubun-ubun) kemudian mengusap kerudung.
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu,
أن النبي صلّى الله عليه وسلّم، توضأ، ومسح بناصيته وعلى العمامة وعلى خفيه
“Bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu mengusap ubun-ubunnya, surbannya, dan juga khufnya.” (HR. Muslim (1/230) no. 274)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
رأيتُ رسولَ اللّه صلى الله عليه وسلم يتوضأ وعليه عمَامة قطْرِيَّةٌ، فَأدْخَلَ يَدَه مِنْ تحت العمَامَة، فمسح مُقدَّمَ رأسه، ولم يَنْقُضِ العِمًامَة
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, sedang beliau memakai surban dari Qatar. Maka beliau menyelipkan tangannya dari bawah surban untuk menyapu kepala bagian depan, tanpa melepas surban itu.” (HR. Abu Dawud)
Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah berkata, “Jika seorang wanita takut akan dingin dan yang semisalnya maka dia boleh mengusap kerudungnya. Karena sesungguhnya Ummu Salamah mengusap kerudungnya. Dan hendaknya mengusap kerudung disertai dengan mengusap sebagian rambutnya.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (21/218), Maktabah Syamilah)
Maka diperbolehkan bagi seorang muslimah untuk mengusap kerudungnya saja atau mengusap kerudung beserta sebagian rambutnya. Namun, untuk berhati-hati hendaknya mengusap sebagian kecil dari rambut bagian depannya beserta kerudung, karena jumhur ulama tidak membolehkan hanya mengusap kerudung saja, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari. (Lihat Fiqhus Sunnah lin Nisaa, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim)
Syarat-Syarat Mengusap Kerudung
Para ulama berselisih pendapat tentang syarat-syarat mengusap penutup kepala (dalam konteks bahasan ini adalah kerudung). Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap penutup kepala sama dengan syarat-syarat mengusap khuf (sepatu). Perlu diketahui bahwa di antara syarat-syarat mengusap khuf adalah khuf dipakai dalam keadaan suci dan batas waktu mengusap khuf adalah sehari semalam untuk orang yang mukim dan tiga hari tiga malam untuk musafir.
Sebagian lagi berpendapat bahwa syarat-syarat mengusap kerudung tidak dapat diqiyaskan dengan persyaratan mengusap khuf. Mengapa demikian? Meskipun sama-sama mengusap, tetapi mengusap kerudung merupakan pengganti dari mengusap kepala yang mana kepala merupakan anggota wudhu yang cukup dengan diusap, sedangkan mengusap khuf merupakan pengganti dari mengusap kaki yang mana kaki merupakan anggota wudhu yang dibasuh/dicuci.
Oleh karena itu tidaklah disyaratkan untuk memakai penutup kepala dalam keadaan suci dan tidak ada batasan waktu, dan inilah pendapat yang lebih kuat, insya Allah. Mereka berpendapat karena dalam hal ini tidak ada ketetapan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai batasan waktunya. Kapanpun seorang wanita muslimah memakai kerudung dan berkepentingan untuk mengusapnya ketika berwudhu maka ia boleh mengusapnya, dan bila mana ia bisa melepas kerudungnya ketika berwudhu maka ia mengusap kepalanya, dan tidak ada batas waktu untuk hal tersebut. Namun, untuk lebih berhati-hati hendaknya kita tidak memakai penutup kepala kecuali dalam keadaan suci. (Majmu’ Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (11/119)). Wallahu a’lam.
[1] Thohurul Muslimi fii Dhouil Kitabi was Sunnati Mafhuumun wa Fadhoilun wa Adabun wa Ahkamun hal. 35 & 52, SyaikhSa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, MaktabahSyamilah
[2]Syarh Al-’Umdah hal. 276 dan Majmu’ Fatawawa Rasaail Ibni ‘Utsaimin (11/119)
More aboutBolehkah Mengusap Jilbab Ketika Berwudhu?

Hukum Membaca Al Quran Tanpa Berwudhu

Diposting oleh Mutiarahikmah


Pertanyaan:
Apakah hukum orang yang membaca al-Qur’an sementara dia dalam kondisi tidak berwudhu, baik dibaca secara hafalan maupun dibaca dari mushaf?
Jawaban oleh Syaikh Shalih al-Fauzan :
Seseorang boleh membaca al-Qur’an tanpa wudhu bila bacaannya secara hafalan sebab tidak ada yang mencegah Rasulullah shallallahu ‘alaihii wa sallam membaca al-Qur’an selain kondisi junub. Beliau pernah membaca al-Qur’an dalam kondisi berwudhu dan tidak berwudhu.
Sedangkan terkait dengan mushaf, maka tidak boleh bagi orang yang dalam kondisi berhadats untuk menyentuhnya, baik hadats kecil maupun hadats besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.“(Al-Wa-qi’ah: 79). Yakni orang-orang yang suci dari semua hadats, najis dan syirik.
Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam yang dimuat di dalam surat beliau kepada pegawainya yang bernama Amru bin Hizam, beliau menyebutkan,
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرًا
Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang dalam kondisi suci.” (Muwaththa’ Imam Malik, kitab al-Qur’an, Hal. 199; Sunan ad-Darimi, kitab ath-Thalaq (2183)).
Hal ini merupakan kesepakatan para imam kaum muslimin bahwa orang yang dalam kondisi berhadats kecil ataupun besar tidak boleh menyentuh mushaf kecuali ditutup dengan pelapis, seperti mushaf tersebut berada di dalam kotak atau kantong, atau dia menyentuhnya dilapisi baju atau lengan baju.
More aboutHukum Membaca Al Quran Tanpa Berwudhu

Apakah Sah Shalat Laki-laki yang Hanya Memakai Kaos Singlet Saja?

Diposting oleh Mutiarahikmah


Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoha terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Para ulama sepakat (kecuali segelintir orang saja) bahwa menutup aurat adalah syarat sahnya shalat menurut kemampuan. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil berikut ini:
1. Firman Allah Ta’ala: “
    يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
    Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)
    Maksudnya: tutuplah aurat kalian ketika hendak melaksanakan shalat. Karena mereka (kaum jahiliyah) melaksanakan thawaf di Baitullah dengan telanjang lalu turulah ayat ini, sebagaimana yang tertera dalam Shahih Muslim.
    2. Hadits Salamah bin al-Akwa’ yang bertanya kepada Nabishallallau 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ketika kami sedang berburu, apakah salah seorang kami dibolehkan shalat dengan satu kain?” Beliau menjawab, “Boleh, dan bersarunglah dengannya, walau ia hanya bisa mejahitnya dengan duri.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i. Dihassankan oleh al-Nawawi dalam Majmu’nya dan Al-Albani dalam al-Misykah no. 760)
    3. Hadits Jabir yang mengisahkan shalatnya di samping Nabishallallau 'alaihi wa sallam yang sambil berselimut sepotong kain. Beliau bersabda, “Apabila kainmu lebar, maka berselimutlah dengannya. Dan jika sempit, maka bersarunglah dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
      Berbarti tidak sah shalat dengan memakai sesuatu yang lebih sempit dari kain dan dijadikan sarung (menutup bagian bawah tubuh). Ini menunjukkan bahwa wajib menutup aurat dalam shalat. Sebaliknya, membuka aurat dilarang yang menyebabkan batalnya shalat. Dengan demikian, menurut mayoritas ulama, dalam hadits ini terkandung makna syarat sahnya shalat, yaitu menutup aurat.
      4. Ibnu Abdil Barr rahimahullah menyebutkan adanya ijma’ tentang tidak sahnya orang shalat tanpa busana, padahal ia mampu menutup auratnya. Demikian pula Ibnu Taimiyahrahimahullah menukilnya.
      5. Menutup aurat ketika berdiri shalat di hadapan AllahSubhanahu wa Ta'ala adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. (Lihat: Al-Bada’i: 1/116, al-Dasuqi: 1/211, Mughni al-Muhtaj: 1/184, dan Kasyaf al-Qana’: 1/263)
        Aurat Shalat Laki-laki
        Yang perlu diketahui bahwa pembahasan aurat dalam shalat berbeda dengan aurat yang tidak boleh dilihat orang. Sedangkan istilah menutup aurat yang ditetapkan Fuqaha’ sebagai syarat sahnya shalat tidak berasal dari lisan Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam. Al-Qur’an dan Sunnah juga tidak menyebutkan bahwa apa yang ditutup oleh orang yang sedang shalat adalah aurat. Allah Subhanahu wa Ta'alahanya menyebutkan:
        يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِد
        Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)
        Aurat yang tidak boleh dilihat adalah kaitannya dengan syahwat. Sementara perintah mengenakan pakaian dalam shalat adalah berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala yang harus dipenuhi. Maka siapapun tidak boleh mengerjakan thawaf di Ka’bah dan shalat tanpa menutup aurat, walaupun ia sendirian. Dari sini dapat disimpulkan, mengenakan pakaian dalam shalat bukan karena untuk menutup aurat dari pandangan manusia. Sebab keduanya memiliki jenis hukum yang berbeda.
        Karena itu, ketika shalat terkadang seseorang harus menutup anggota badannya yang boleh ditampakkan di luar shalat seperti kepada istri atau anaknya. Dan terkadang ada anggota badan yang boleh ditampakkan ketika shalat, namun tidak boleh ditampakkan di luar shalat. Contohnya seperti pendapat mereka yang mewajibkan menutup wajah dan telapak tangan bagi wanita dari pandangan laki-laki asing, namun tidak wajib menutupnya dalam shalat.
        Menurut jumhur ulama bahwa aurat seorang laki-laki di dalam shalat adalah antara pusar dan lutut. Sedangkan madhab Zahiriyah berpendapat, aurat laki-laki dalam shalat hanya qubul dan dubur saja. Namun pendapat Zahiriyah ini adalah pendapat yang tidak kuat.
        Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dan adapun shalatnya seorang laki-laki dengan membuka paha padahal ia mampu menutupnya dengan kain, maka ini tidak boleh. Dan tidak seyogyanya ada khilaf dalam hal itu.”
        Pendapat Jumhur didukung oleh beberapa hadits, antara lain: Sabda Nabi shallallau 'alaihi wa sallam, “Antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Abu Dawud dan dihassankan Syaikh Al-Albani dalam al-Irwa’: 1/226)
        Juga hadits Jurhud, bahwa saat Nabi shallallau 'alaihi wa sallam melewatinya dan kain yang menutupi pahanya tersingkap. Kemudian beliau bersabda: “Tutupilah ia (pahamu), sesungguhnya ia adalah aurat.” (HR. Malik, Ahmad, Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi serta Bukhari dalam shahihnya).
        Hadits ini memiliki penguat dari hadits-hadits lain, seperti hadits Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Jangan engkau singkap pahamu dan jangan pula melihat paha orang yang masih hidup atau yang sudah mati.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim. Walaupun hadits ini dhaif, namun layak sebagai penguat dari hadits Jurhud di atas).
        Dari Muhammad bin Jahsy, ia berkata: Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam melewati Ma’mar sementara kedua pahanya tersingkap. Beliau bersabda: “Wahai Ma’mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat.” (HR. Ahmad, Hakim, dan lainnya. Imam al-Thahawi menyatakannya sebagai hadits shahih)
        Namun, hadits-hadits di atas menerangkan aurat dari pandangan manusia. Sementara aurat dalam shalat terdapat beberapa hadits yang menjelaskannya:
        1. Diriwayatkan dari Buraidah, ia mengatakan: “Rasulullahshallallau 'alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dengan selimut tanpa menyelempangkannya di atas pundak dan melarang shalat hanya memakai celana tanpa mengenakan selendang (kain yang menutupi pundaknya).” Hadits ini menunjukkan wajibnya menutup badan bagian atas saat mengerjakan shalat.
        2. Rasulullah shallallau 'alaihi wa sallam pernah melarang seseorang shalat dengan hanya mengenakan sehelai kain yang tidak menutupi pundaknya sedikitpun.
          Dari hadits yang dijadikan sandaran Jumhur dan ditambah kedua hadits di atas menunjukkan, seorang laki-laki diperintahkan menutup aurat dalam shalatnya yang meliputi: pahala dan lainnya hingga pundak. Walaupun ia shalat sendirian di dalam rumah dan tidak ada seorang pun yang melihatnya, ia tetap wajib menutup auratnya.
          Kesimpulan
          Seorang laki-laki diperintahkan untuk menutup kedua pundaknya hingga kedua lututnya dalam shalat. Kecuali jika ia tidak memiliki pakaian kecuali sehelai kain yang sempit, maka ia bersarung dengan memakai kain tersebut yang menutup antara lutut dan pusarnya; dan membiarkan bagian atasnya terbuka sebagaimana dalam hadits Jabir yang terdapat dalam Shahihain.
          Karena itu, teman Saudara Uki yang shalat dengan hanya memakai kaos dalam (singlet) maka sudah memenuhi syarat menutup aurat (memakai pakaian) dalam shalat. Sehingga tidak perlu diingkari berlebih dan tidak boleh divonis tidak sah.
          Namun, selayaknya orang yang shalat merasa menghadap Allah, Tuhan pencipta langit dan bumi yang telah menciptakan dirinya dan memberikan rizki kepadanya. Karena itu ia hendaknya memakai pakaian yang pantas dan layak.
          Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan QS. Al-A’raf: 31 berkata, “Berdasarkan ayat ini dan juga pengertian (yang menunjukkan) hal itu di dalam sunnah, bahwa dianjurkan untuk berhias diri ketika hendak melaksanakan shalat, lebih-lebih pada waktu shalat Jum’at dan hari raya. Serta disunnahkan memakai wewangian karena dia termasuk (perhiasan), siwak (juga termasuk) karena termasuk sebagai penyempurna. Dan di antara pakaian yang paling utama adalah yang berwarna putih.” Wallahu Ta’ala a’lam. 
          More aboutApakah Sah Shalat Laki-laki yang Hanya Memakai Kaos Singlet Saja?