Apa Hukum Talqin?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 31 Oktober 2012






Tanya: Apa hukum talqin?
Jawab: Talqin itu ada dua macam: yaitu Talqin sunnah dan Talqin bid’ah
[Pertama] Talqin Sunnah
( 501 ) – وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَا : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْأَرْبَعَةُ
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian ucapan laa ilah illallah” (Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no 501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan kitab hadits yang empat [Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, pent]”).
Ibnu Utsaimin pernah ditanya,
“Apa yang perlu dilakukan oleh orang yang duduk di dekat orang yang hendak meninggal dunia? Apakah membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amal yang berdasar hadits yang shahih atau tidak?”.
Jawaban beliau,
“Membesuk orang yang sakit adalah salah satu hak sesama muslim, satu dengan yang lainnya. Orang yang menjenguk orang yang sakit hendaknya mengingatkan si sakit untuk bertaubat dan menulis wasiat serta memenuhi waktunya dengan berdzikir karena orang yang sedang sakit membutuhkan untuk diingatkan dengan hal-hal ini.
Jika si sakit dalam keadaan sekarat dan orang-orang di sekelilingnya merasa yakin bahwa si sakit hendak meninggal dunia maka sepatutnya orang tersebut ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana perintah Nabi.
Orang yang berada di dekat orang yang sedang sakaratul maut hendaknya menyebut nama Allah (baca: laa ilaha illallah) di dekatnya dengan suara yang bisa didengar oleh orang yang sedang sekarat sehingga dia menjadi ingat. Para ulama mengatakan dia sepatutnya menggunakan kalimat perintah untuk keperluan tersebut karena boleh jadi dikarenakan sedang susah dan sempit dada orang yang sekarat tadi malah tidak mau mengucapkan laa ilaha illallah sehingga yang terjadi malah suul khatimah. Jadi orang yang sedang sekarat tersebut diingatkan dengan perbuatan dengan adanya orang yang membaca laa ilaha illallah di dekatnya.
Sampai-sampai para ulama mengatakan bahwa jika setelah diingatkan untuk mengucapkan laa ilaha illallah orang tersebut mengucapkannya maka hendaknya orang yang mentalqin itu diam dan tidak mengajaknya berbicara supaya kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah. Jika orang yang sedang sekarat tersebut mengucapkan sesuatu maka talqin hendaknya diulangi sehingga kalimat terakhir yang dia ucapkan adalah laa ilaha illallah.
Sedangkan membaca surat Yasin di dekat orang yang hendak meninggal dunia adalah amalan yang dianjurkan oleh banyak ulama mengingat sabda Nabi, “Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian”.
Akan tetapi derajat hadits ini diperbincangkan oleh sebagian ulama. Jadi kesimpulannya, menurut ulama yang menshahihkan hadits tersebut maka membaca surat Yasin di dekat orang yang meninggal dunia adalah amalan yang dianjurkan. Sedangkan menurut ulama yang menilainya sebagai hadits yang lemah maka perbuatan tersebut tidaklah dianjurkan” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/40, Asy Syamilah).
[Kedua] Talqin Bid’ah
وَعَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَحَدِ التَّابِعِينَ – قَالَ : كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ ، وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ .أَنْ يُقَالَ عِنْدَ قَبْرِهِ : يَا فُلَانُ ، قُلْ : لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، يَا فُلَانُ : قُلْ رَبِّي اللَّهُ ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ ، وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ ، رَوَاهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مَوْقُوفًا – وَلِلطَّبَرَانِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ مَرْفُوعًا مُطَوَّلًا .
Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” [Dalam Bulughul Maram no hadits 546, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada shahabat). Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi)].
Muhammad Amir ash Shan’ani mengatakan, “Setelah membawakan redaksi hadits di atas al Haitsami berkata, ‘Hadits tersebut diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dan dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak kukenal’. Dalam catatan kaki Majma’uz Zawaid disebutkan bahwa dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin Abdullah dan dia adalah seorang perawi yang lemah…. Al Atsram mengatakan, ‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang apa yang dilakukan oleh banyak orang ketika jenazah telah dimakamkan ada seorang yang berdiri dan berkata, ‘Wahai fulan bin fulanah’. Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang melakukannya melainkan para penduduk daerah Syam ketika Abul Mughirah meninggal dunia. Tentang masalah tersebut diriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Maryam dari guru-guru mereka bahwa mereka, para guru, melakukannya”. Menganjurkan talqin semacam ini adalah pendapat para ulama bermazhab Syafii.
Dalam Al Manar Al Munif, Ibnul Qoyyim mengatakan,
“Sesungguhnya hadits tentang talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh para ulama hadits sebagai hadits palsu. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam sunannya dari Hamzah bin Habib dari para gurunya yang berasal dari daerah Himsh (di Suriah, Syam, pent). Jadi perbuatan ini hanya dilakukan oleh orang-orang Himsh….
Dalam Zaadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim juga berkata tegas sebagaimana perkataan beliau di Al Manar Al Munif. Sedangkan di kitab Ar Ruuh, Ibnul Qoyyim menjadikan hadits talqin di atas sebagai salah satu dalil bahwa mayit itu mendengar perkataan orang yang hidup di dekatnya. Terus-menerusnya talqin semacam ini dilakukan dari masa ke masa tanpa ada orang yang mengingkarinya, menurut Ibnul Qoyyim, sudah cukup untuk dijadikan dalil untuk mengamalkannya. Akan tetapi di kitab Ar Ruuh, beliau sendiri tidak menilai hadits talqin di atas sebagai hadits yang shahih bahkan beliau dengan tegas mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang lemah.
Yang bisa kita simpulkan dari perkataan para ulama peneliti sesungguhnya hadits tentang talqin di atas adalah hadits yang lemah sehingga mengamalkan isi kandungannya adalah bid’ah (amalan yang tidak ada tuntunannya). Tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang yang mempraktekkannya” (Subulus Salam 3/157, Asy Syamilah).
Syeikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang kapankah waktu talqin.
Jawaban beliau,
“Talqin itu dilakukan ketika hendak meninggal dunia yaitu pada saat proses pencabutan nyawa. Orang yang hendak meninggal ditalqin laa ilaha illallah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika pamannya, Abu Thalib hendak meninggal dunia. Nabi mendatangi pamanya lantas berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah laa ilaha illallah, sebuah kalimat kalimat yang bisa kugunakan untuk membelamu di hadapan Allah’. Akan tetapi paman beliau tidak mau mengucapkannya sehingga mati dalam keadaan musyrik.
Sedangkan talqin setelah pemakaman maka itu adalah amal yang bid’ah karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi tentang hal tersebut. Yang sepatutnya dilakukan adalah kandungan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekatnya lalu berkata, ‘Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah agar dia diberi keteguhan dalam memberikan jawaban. Sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya’.
Adapun membaca Al Qur’an, demikian pula talqin di dekat kubur maka keduanya adalah amal yang bid’ah karena tidak ada dalil yang mendasarinya” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 215/42, Asy Syamilah). 
More aboutApa Hukum Talqin?

Kisah Nabi Nuh

Diposting oleh Mutiarahikmah on Selasa, 30 Oktober 2012



Nuh adalah keturunan kesembilan Nabi Adam, ayah Nuh bernama Lamik bin Mata, Nuh diutus ke negeri Armenia.
Kala itu penduduk Armenia banyak berbuat syirik, mereka tidak lagi beribadah kepada Allah, melainkan kepada patung – patung.
“Wahai saudaraku, aku adalah rasul Allah. Aku diutus untuk mengingatkan kalian. Mari, tinggalkan patung – patung itu! beribadahlah kepada Allah!” seru Nuh kepada penduduk Armenia. Penduduk Armenia malah mengejek Nuh. “Hai Nuh, jangan sok pintar! Kami tidak butuh nasihat! Kami tahu apa yang harus kami lakukan, ” kata salah seorang penduduk.
Nabi Nuh tidak putus asa. Ia terus mengajak kaumnya untuk beriman kepada Allah. “Saudaraku, kembalilah ke jalan yang benar. Jika tidak, kalian pasti mendapat hukuman di dunia, begitu juga siksaan di akhirat kelak,” kata Nuh.
“Hai Nuh, jangan banyak omong! Datangkan saja azab itu. Kami tidak takut, tantang penduduk”, mengejek Nuh.
Tak terasa, Nuh telah tinggal bersama penduduk Armenia selama 950th. sekian lama ia berdakwah, namun hasilnya belum memuaskan. “Sekian ratus rathun aku berdakwah, tak lebih dari 100 orang yang mau beriman. Itupun dari kalangan orang – orang miskin,” kata Nuh.
Suatu hari, Nuh didatangi beberapa pembesar yang kaya raya, mereka mau beriman dengan syarat Nuh harus mengusir orang – orang miskin yang menjadi pengikutnya. “Saudaraku semua manusia itu sama. Kaya n miskin tak berbeda. Perbedaan hanya ditentukan oleh ketaqwaan bukan oleh harta kekayaan,” jawab Nuh tegas. Para pembesar itu malu dan kecewa.
Nabi Nuh terus mengajak penduduk Armenia untuk beriman kepada Allah.”Hei, Nuh yang bodoh, pergilah kamu dari tempat ini! Kamu tidak pantas lagi tinggal disini!” teriak penduduk Armenia.
Kesesatan dan kejahatan penduduk Armenia sangat kelewat batas. Hati mereka keras seperti batu. Mereka sulit menerima nasihat – nasihat kabaikan.
Nuh berusaha bersabar. Namun, ia tidak kuasa melihat pengikutnya dihina, diusir, dan disakiti. Nuh pun berdoa. “Ya Allah, binasakanlah orang – orang kafir itu. Jangan biarkan seorang pun hidup. Sebab, mereka akan terus menyesatkan hamba – hamba-MU. Mereka juga hanya akan melahirkan anak – anak durhaka seperti mereka.”
Allah mengabulkan permohonan Nuh. Tak lama, Malaikat Jibril datang dan memerintahkan Nuh menanam sebuah pohon. “Benih ini dari surga dan akan tumbuh menjadi pohon yang sangat besar,” kata jibril. Lalu, Jibril menjelaskan agar Nuh dan pengikutnya membuat perahu besar dari pohon itu.
Tak lama setelah benih ditanam, tumbuhlah pohon sangat besar. Nuh dan pengikutnya segera membuat perahu dari pohon itu. Penduduk Armenia mentertawakan apa yg dikerjakan Nuh. “hahaha…lihat, apa yang dikerjakan orang – orang itu? Mereka membuat perahu di sebuah bukit? Hahaha…teriak penduduk Armenia.
Walau hinaan dan cacian itu sangat menyakitkan, namun Nuh dan pengikutnya berusaha untuk tetap sabar. Tak lama Allah memerintahkan Nuh untuk segera berkemas dan menaiki perahu beserta hewan – hewan dan pengikutnya. Tiba – tiba, langit pun mendung. Awan hitam bergumpal – gumpal. Petir berkilat menyilaukan. Terdengar guruh menggelegar. Keadaan benar – benar mengerikan. Tak lama berselang hujan turun sangat lebat.
Bumi pun digenangi air. Makin lama makin tinggi. Banjir besar melanda negeri. Sementara itu, penduduk Armenia yang kafir termasuk Kan’an anak Nuh, dihantam ombak yang datang bergulung – gulung. Mereka pun mati tenggelam. “Maha Besar Allah. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau!” seru Nuh penuh syukur. Nuh dan para pengikiutnya yang beriman gembira. Mereka pun hidup bahagia.
Dikutip dari buku Iqra Media
More aboutKisah Nabi Nuh

SYARAT DAN KRITERIA MENJADI IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Diposting oleh Mutiarahikmah on Senin, 29 Oktober 2012




Untuk menjadi imam shalat tidak menunggu ditunjuk dan juga bukan dengan cara berinisiatif, melainkan dengan pengetahuan yang jelas dan pasti tentang syarat dan kriteria yang lebih utama untuk menjadi imam.

Secara umum, orang yang harus dipilih jadi imam shalat adalah orang yang paling faqih dalam urusan agama terutama dalam masalah shalat.

Selain itu para ulama juga menyebutkan yang paling banyak hafalan Al-Qur’an nya, juga yang paling baik bacaannya dan lainnya.

Para ulama telah berhasil membuat peringkat yang paling berhak untuk menjadi imam dalam shalat. Misalnya dalam madzhab Al-Hanafiyah disebutkan peringkat itu yaitu:

1. Orang Yang Paling Baik Bacaannya

Di antara syarat yang paling utama untuk menjadi imam dalam shalat berjama’ah adalah orang yang paling baik bacaannya atau disebut dengan aqra’uhum. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau:

# Dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang menjadi imam shalat bagi manusia adalah yang paling baik bacaan kitabullahnya (Al-Quran Al-Karim). Bila mereka semua sama kemampuannya dalam membaca Al-Quran, maka yang paling banyak pengetahuannya terhadap sunnah” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)

# Dari Abu Masna Al-Badri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jama’ah di imami oleh yang lebih pandai membaca Kitab Allah. Jika sama-sama pandai dalam membaca Kitab Allah, maka oleh yang lebih alim tentang sunnah. Jika sama-sama pula, maka oleh yang lebih tua.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan aqra’uhum adalah yang paling paham, yakni yang paling paham dalam masalah agama, terutama dalam masalah shalat.

2. Orang Yang Paling Wara’

Lalu peringkat berikutnya adalah orang yang paling wara’, yaitu orang yang paling menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam masalah syubhat

# Dari Abi Martsad Al-ghanawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rahasia diterimanya shalat kamu adalah yang jadi imam (seharusnya) ulama di antara kalian. Karena para ulama itu merupakan wakil kalian kepada Tuhan kalian.” (HR. At-Thabrani dan Al-Hakim).

# Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jadikanlah orang-orang yang terpilih di antara kamu sebagai imam; karena mereka adalah orang-orang perantaraan kamu dengan Tuhanmu.” (HR. Ad-Daruqutni).

# “Apabila seseorang menjadi imam …, padahal di belakangnya ada orang-orang yang lebih utama daripadanya, maka semua mereka dalam kerendahan terus menerus.” (HR. Ahmad)

3. Orang Yang Lebih Tua Usianya

Peringkat berikutnya adalah yang lebih tua usianya. Dengan pertimbangan bahwa orang yang lebih tua umumnya lebih khusyu` dalal shalatnya. Selain itu memang ada dasar hadits berikut:

# Hendaklah yang lebih tua diantara kalian berdua yang menjadi imam (HR. Imam yang enam).

Apabila derajat mereka semua sama, maka boleh dilakukan undian.
Intinya kita dapat ambil bahwa syarat yang paling utama dari imam itu adalah yang paling baik bacaannya dan paling paham dalam hukum-hukum shalat.

4. Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan

a) Pembesar Negara & Tuan Rumah

Imam bagi pembesar-pembesar negara (apabila shalat bersama-sama mereka) & tuan rumah (kecuali jika ia idzinkan yang lain sebagai imam).

# Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah seseorang mengimami seseorang di dalam rumah tangga orang yang di imami itu dan di dalam pemerintahannya.” (HR. Muslim, hadits shahih)

b) Kaum Yang Tidak Menyukai Kita

Janganlah mengimami suatu kaum yang tidak menyukai kita.

# Dari Abu Amir Ibnu Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau mengimami suatu kaum, sedangkan mereka membencimu.” (HR. Abu
More aboutSYARAT DAN KRITERIA MENJADI IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Adab Makan Seorang Muslim

Diposting oleh Mutiarahikmah on Minggu, 28 Oktober 2012


Anjuran makan bersama dalam 1 piring
Di antara etika makan yang diajarkan oleh Nabi adalah anjuran makan bersama-sama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan pada makanan tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah orang yang makan maka keberkahan juga akan semakin bertambah. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan satu orang itu cukup untuk dua orang. Makanan dua orang itu cukup untuk empat orang. Makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim no 2059)
Dalam Fathul Baari 9/446 Ibnu Hajar mengatakan, “Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat keterangan tentang illat (sebab) terjadinya hal di atas. Pada awal hadits tersebut dinyatakan, ‘Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang’. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan satu orang itu mencukupi untuk dua orang dan seterusnya adalah disebabkan keberkahan yang ada dalam makan bersama. Semakin banyak jumlah orang yang turut makan maka keberkahan semakin bertambah.”
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” (HR Abu Dawud no. 3764 dan dinilai shahih oleh al-Albani.)
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid VII hal 231 Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa makan namun tidak kenyang itu memiliki beberapa sebab:
  1. Tidak menyebut nama Allah sebelum makan. Jika nama Allah tidak disebut sebelum makan maka setan akan turut menikmatinya dan berkah makanan tersebut menjadi hilang.
  2. Memulai makan dari sisi atas piring. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mulai makan dari sisi atas piring karena pada sisi atas piring tersebut terdapat barakah sehingga yang tepat adalah makan dari sisi pinggir piring.
  3. Makan sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri berarti setiap orang memegang piring sendiri sehingga setiap makanan yang ada harus dibagi lalu berkah makanan dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa sepatutnya makanan untuk sekelompok orang itu diletakkan dalam satu nampan baik berjumlah sepuluh ataupun lima orang hendaknya jatah makan untuk mereka diletakkan di satu piring yang cukup untuk mereka. Karena hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan makanan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa makan sendiri-sendiri merupakan sebab hilangnya keberkahan makanan.
Makruhnya makan dalam porsi terlalu banyak atau sedikit
Makan dalam porsi terlalu besar merupakan penyebab tubuh menjadi sakit dan merasa malas sehingga sangat berat untuk melakukan berbagai amal ketaatan. Di samping itu hal tersebut akan menyebabkan hati menjadi beku. Sebaliknya makan dalam porsi yang terlalu sedikit, juga akan menyebabkan badan menjadi lemah dan loyo sehingga tidak kuat melakukan berbagai amal taat. Solusi tepat untuk masalah ini adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita mempraktekkannya dalam keseharian kita tentu kita tidak terlalu sering pergi ke dokter. Dari Miqdam bin Ma’di Karib beliau menegaskan bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR. Ibnu Majah no. 3349 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Majah no. 2720)
Ibnu Muflih mengatakan, dalam al-Adab as-Syar’iyyah 3/183-185 bahwasanya Ibnu Abdil Barr dan ulama yang lain menyebutkan bahwa Umar bin Khatthab pada suatu hari pernah berkhutbah, dalam khutbahnya beliau mengatakan, “Jauhilah kekenyangan karena sesungguhnya kekenyangan itu menyebabkan malas untuk shalat dan bahkan badan malah menjadi sakit. Hendaknya kalian bersikap proporsional dalam makan karena hal tersebut menjauhkan dari sifat sombong, lebih sehat bagi badan dan lebih kuat untuk beribadah. Sesungguhnya seseorang itu tidak akan binasa kecuali ketika dia mengatakan keinginannya daripada agamanya.”
Al Fudhail bin Iyyadh mengatakan, “Ada dua hal yang menyebabkan hati menjadi beku dan keras yaitu banyak berbicara dan banyak makan.”
Al Khalal dalam Jami’nya meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau pernah mendapat pertanyaan, “Ada orang-orang yang makan terlalu sedikit dan mereka memang bersengaja untuk melakukan hal seperti itu?” Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak suka hal seperti itu, karena aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi mengatakan, “Ada sekelompok orang yang berbuat seperti itu, namun akhirnya mereka malah tidak kuat untuk mengerjakan berbagai amal yang hukumnya wajib.”
Larangan menghadiri jamuan yang menyediakan khamr
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu melarang dua jenis makanan, pertama, menghadiri jamuan yang mengedarkan khamar, kedua, makan sambil telungkup.” (HR. Abu Dawud no. 3774 dan dinilai shahih oleh al-Albani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menghadiri perjamuan yang mengedarkan khamr.” (HR. Ahmad no. 14241)
Hadits tersebut secara tegas melarang menghadiri jamuan makan yang menyediakan khamr. Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya adalah haram. Karena duduk di suatu tempat yang mengandung kemungkaran merupakan pertanda ridha dan rela dengan kemungkaran tersebut.
Anjuran makan berjamaah
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61)
Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Laits bin Bakr yang merupakan keturunan Bani Kinanah. Ada salah seorang dari mereka yang tidak mau makan sendirian. Beberapa waktu lamanya dia menahan lapar, sampai ada orang yang mau diajak makan bersama.”
Dalam al-Muharra al-Wajiz 11/328 Ibnu Athiyyah mengatakan, “Makan dengan bersama-sama merupakan tradisi Arab yang turun-temurun dari Nabi Ibrahim. Beliau tidak mau makan sendirian. Begitu pula sebagian orang-orang Arab ketika kedatangan tamu, mereka tidak mau makan kecuali bersama tamunya. Lalu turunlah ayat di atas yang menjelaskan adab makan yang benar dan membatalkan segala perilaku orang Arab yang menyelisihi ayat ini. Ayat ini secara tegas membolehkan makan sendirian, suatu hal yang diharamkan oleh bangsa Arab sebelumnya. Tentang ayat di atas Ibn Katsir menyatakan, “Ini merupakan keringanan dari Allah. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri atau bersama beberapa orang dalam satu wadah makanan meski makan dengan cara yang kedua itu lebih berkah dan lebih utama.”
Syekh Yahya bin Ali al-Hajuri mengatakan, “Inilah pendapat kami. Makan dengan berjamaah itu lebih utama di samping hal tersebut termasuk perangai dan akhlak orang Arab yang luhur. Terlebih lagi jika dipraktekkan ketika ada acara pertemuan. Kami tidak berpendapat bahwa makan dengan cara sendiri-sendiri adalah haram, karena tidak ada seorang pun ulama yang berpendapat demikian sepengetahuan kami kecuali jika dikaitkan dengan perilaku menyerupai orang-orang kafir. Menyerupai mereka adalah merupakan suatu hal yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang tegas.
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan pentingnya makan berjamaah, karena hal tersebut telah disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Hampir saja banyak orang mengerumuni kalian seperti orang-orang yang hendak makan mengerumuni sebuah piring besar.” (HR Abu Dawud, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab adalah beberapa orang makan dari satu piring. Ini merupakan cara makan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping merupakan adab kebiasaan orang Arab.
Dari Nafi’ beliau mengatakan, “Ibnu Umar memiliki kebiasaan tidak memakan kecuali bersama orang miskin. Suatu ketika aku mengajak seseorang untuk menemani beliau makan. Ternyata orang tersebut makan dalam porsi yang besar. Sesudah itu Ibnu Umar mengatakan, “Wahai Nafi’ janganlah kau ajak orang ini untuk menemani aku makan, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang beriman itu makan dengan menggunakan satu lambung sedangkan orang yang kafir makan dengan menggunakan tujuh lambung.” (HR. Bukhari no. 5393, dan Muslim no. 2060)
Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang teguh menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Sedangkan hadits di atas menunjukkan bahwa beliau hanya mau makan bila ditemani seorang yang miskin.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah (sejenis masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak untuk beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi, “Ayo makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan, “Engkau harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu.” Mendengar hal tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan tersebut dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya.” Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat, sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)
Pesan yang terkandung dalam hadits ini:
  1. Suami makan bersama istri-istrinya dari satu piring.
  2. Bersenda-gurau dengan istri, kedua hal ini dianjurkan dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga.
  3. Berlaku adil di antara istri dan bersikap adil terhadap pihak yang teraniaya meskipun dengan nada bergurau.
Hadits-Hadits tentang makan berjamaah
Dari Abdullah bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menemani makan istri yang haidh maka beliau bersabda, “Temanilah makan istri yang sedang haidh.” (HR. Turmudzi, Abu dawud dan Ibn Majah, hasan). Penulis kitab Aunul Ma’bud, syarah Abu Dawud dan penulis Tuhfah al Ahfadzi, Syarah sunan Turmudzi sepakat bahwa yang dimaksud menemani makan adalah makan bersama.
Hadits ini menunjukkan bahwa badan dan keringat wanita yang sedang haidh itu suci demikian pula menunjukkan pula bahwa di antara kiat menjaga keharmonisan hubungan suami istri adalah makan bersama dari satu wadah. Inilah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Abi Aufa beliau mengatakan, “Kami ikut perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh atau enam kali dan kami makan belalang bersama beliau.” (HR. Muslim no. 1952) al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Yang dimaksud kami makan belakang bersama beliau, ada dua kemungkinan, pertama, bersama dalam perang tidak dalam masalah makan. Kedua, bersama dalam makan. Kemungkinan yang kedua ini dikuatkan oleh riwayat Abu Nuaim dalam kitab at-Tib dengan redaksi, “Dan beliau makan bersama kami.”
Singkatnya kemungkinan makna yang benar adalah kemungkinan yang kedua. Sehingga hadits di atas menunjukkan betapa akrabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat. Untuk menjalin keakraban sesama mereka Nabi tidak segan untuk duduk makan bersama mereka.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah makan siang dan makan malam dengan menggunakan roti dan daging kecuali dalam hidangan sesama banyak orang.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibn Hibban dengan sanad shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada seorang sahabat Anshar yang tinggal di Quba mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami lalu berangkat bersama beliau ketika beliau telah selesai makan dan mencuci kedua tangannya, beliau berdoa…” hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5458 dari Abu Umamah dengan redaksi, “Apabila maidah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disingkirkan beliau berdoa…”
Al-Maidah adalah meja makan untuk satu atau dua orang. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Wahai Rabb kami, turunkanlah maidah dari langit untuk kami”, Ibn Katsir menyebutkan pendapat mayoritas salaf tentang makna maidah. Mereka mengatakan maidah adalah hidangan yang dinikmati oleh banyak orang. Makna seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Mamduh dalam karyanya, Lisanul Arab. Sedangkan hadits sebelumnya juga berkaitan dengan makan bersama karena dalam hadits tersebut dinyatakan, “Kami lalu berangkat bersama beliau.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit menuju kamar Shafiyah aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri acara walimah nikah beliau dengan Shafiyah. Rasulullah memerintahkan untuk membentangkan alas dari kulit. Di atasnya dituangkan kurma, keju dan lemak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini jelas menunjukkan acara makan bersama di atas alat kulit dan bolehnya membentangkan alas dan kulit untuk makan.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau bercerita ada seorang perempuan Yahudi dari penduduk Khaibar meracuni daging kambing bakar. Daging kambing tersebut lalu dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah lalu memilih kaki kambing, beliau makan dari kambing yang dihadiahkan tersebut bersama sahabat yang lain.” (HR Darimi, dengan sanad yang mursal namun memiliki beberapa hadits penguat)
Hadits di atas di samping menunjukkan bahwa di antara kebiasaan Nabi adalah makan bersama para sahabat juga menunjukkan bahwa Nabi itu tidak mengetahui hal yang gaib. Pada awal mulanya, Nabi tidak tahu kalau daging kambing yang disuguhkan itu beracun. (Disarikan dari buku Makan Berjamaah -edisi terjemah- karya Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, Penerbit Pustaka An-Najiyah)
-selesai, alhamdulillah-
More aboutAdab Makan Seorang Muslim

Amalan Haji pada Hari Tasyriq

Diposting oleh Mutiarahikmah


Ada dua amalan penting yang dilakukan Jama’ah Haji di hari-hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah) yaitu mabit di Mina dan lempar tiga jumrah yaitu ‘Ula, Wustho dan ‘Aqobah. Kedua amalan tersebut termasuk wajib haji. Mari kita lihat sekilas mengenai kedua amalan tersebut.
Mabit di Mina pada Hari Tasyriq
Bermalam di Mina adalah wajib pada hari-hari tasyriq. Demikian pendapat jumhur (baca: mayoritas) ulama. Yang disebut mabit atau bermalam berarti tinggal di Mina minimal separuh malam atau lebih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari-hari tersebut terus berada di Mina. Beliau terus berada di Mina sampai thowaf Wada’ ditunaikan. Jadi beliau tetap di Mina siang dan malam.
Kemudian shalat lima waktu yang dikerjakan oleh jama’ah haji di Mina tanpa dijamak, masing-masing shalat dikerjakan di waktunya, hanya cukup diqoshor saja (shalat empat raka’at menjadi dua raka’at). Karena demikianlah yang dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ia melakukannya secara jamak juga boleh akan tetapi hal itu menyelisihi yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lakukan.
Lempar Tiga Jumrah pada Hari Tasyriq
Pada hari tasyriq, ada tiga jumrah yang dilempar. Waktu lempar jumrah pada hari tasyriq adalah setelah zawal (matahari tergelincir ke barat) hingga tenggelamnya matahari. Demikian yang disepakati oleh para ulama. Namun jika dilakukan pada malam hari, maka tetap sah.
Sedangkan bagaimana jika melempar sebelum zawal, apakah dibolehkan? Boleh jika ada hajat. Namun afdholnya tetap ba’da zawal karena hal ini disepakati oleh para ulama.
Lempar jumrah yang dilakukan sama seperti hari sebelumnya ketika melempar jumrah ‘Aqobah dengan tujuh batu untuk tujuh kali lemparan dan setiap kali melempar disunnahkan mengucapkan takbir (Allahu akbar). Sah-sah saja menggunakan batu bekas melempar. Dan sah-sah saja mengambil batu dari tempat mana saja, tidak mesti dari Muzdalifah. Batu-batu tersebut juga tidak mesti dicuci terlebih dahulu sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.
Sebagian orang awam menganggap bahwa tiang lempar jumrah adalah setan atau tempat setan. Anggapan ini tidaklah ada landasannya. Semua ini dilakukan dalam rangka ibadah dan dzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah)” (HR. Abu Daud no. 1888, Tirmidzi no. 902 dan Ahmad 6: 46. At Tirmidzi mengatakan hadits inihasan shahih. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dho’if)
Urutan lempar jumrah yang dilakukan pada hari tasyriq adalah mulai dari jumrah Ula, lalu jumrah Wustho, lalu jumrah ‘Aqobah.
Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan, beliau melempar jumrah Ula dan menjadikannya di sisi kiri sambil beliau menghadap kiblat. Kemudian setelah itu beliau maju sedikit lalu menghadap kiblat kemudian berdo’a yang lama dengan mengangkat tangan.
Lalu beliau beralih ke jumrah Wustho dan menjadikannya di sisi kanan dan beliau menghadap kiblat lalu melempar. Kemudian beliau maju ke sisi kirinya dan berdo’a dengan do’a yang panjang sambil mengangkat tangan.
Kemudian setelah itu melempar jumrah Aqobah dan Mina dijadikan di sebelah kanan sedangkan Masjidil Haram di sisi kiri, lalu melempar. Dan setelah itu tidak disunnahkan untuk berdo’a.
lempar_tiga_jumrah
Nafr Awwal Sebelum Matahari Tenggelam
Boleh bersegar keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam pada hari tasyriq kedua (tanggal 12 Dzulhijjah). Berarti gugur dari mabit pada malam ketiga dari hari tasyriq dan gugur pula melempar jumrah pada hari tersebut. Hal ini berdasarkan ayat,
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَ؊ْهِ لِمَنِ اتَّقَى
Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 203).
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Referensi:
Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifiy, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H, hal.183-190.

@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 5 Dzulhijjah 1433 H
More aboutAmalan Haji pada Hari Tasyriq

TV Live Stream From Makkah and Madina

Diposting oleh Mutiarahikmah on Sabtu, 27 Oktober 2012

More aboutTV Live Stream From Makkah and Madina

Alat Musik Dalam Pandangan Ulama Madzhab Syafi'i

Diposting oleh Mutiarahikmah


Sebagian orang mengira alat musik itu haram karena klaim sebagian kalangan saja. Padahal sejak masa silam, ulama madzhab telah menyatakan haramnya. Musik yang dihasilkan haram didengar bahkan harus dijauhi. Alat musiknya pun haram dimanfaatkan. Jual beli dari alat musik itu pun tidak halal. Kali ini kami akan buktikan dari madzhab Syafi’i secara khusus karena hal ini jarang disinggung oleh para Kyai dan Ulama di negeri kita. Padahal sudah ada di kitab-kitab pegangan mereka.
Terlebih dahulu kita lihat bahwa nyanyian yang dihasilkan dari alat musik itu haram. Al Bakriy Ad Dimyathi berkata dalam I’anatuth Tholibin (2: 280),
بخلاف الصوت الحاصل من آلات اللهو والطرب المحرمة – كالوتر – فهو حرام يجب كف النفس من سماعه.
“Berbeda halnya dengan suara yang dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti ‘watr’, nyanyian seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.”
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Syarh Al Minhaj karya Ibnu Hajar Al Haitami disebutkan ,
( طُنْبُورٍ وَنَحْوِهِ ) مِنْ آلَاتِ اللَّهْوِ وَكُلِّ آلَةِ مَعْصِيَةٍ كَصَلِيبٍ وَكِتَابٍ لَا يَحِلُّ الِانْتِفَاعُ بِهِ
“Thunbur dan alat musik semacamnya, begitu pula setiap alat maksiat seperti salib dan kitab (maksiat), tidak boleh diambil manfaatnya.” Jika dikatakan demikian, berarti alat musik tidak boleh dijualbelikan. Jual belinya berarti jual beli yang tidak halal.
Dalam kitab karya Al Khotib Asy Syarbini yaitu Mughni Al Muhtaj disebutkan,
( وَآلَاتُ الْمَلَاهِي ) كَالطُّنْبُورِ ( لَا يَجِبُ فِي إبْطَالِهَا شَيْءٌ ) ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا مُحَرَّمَةٌ لَا تُقَابَلُ بِشَيْءٍ
“Berbagai alat musik seperti at thunbuur tidak wajib ada ganti rugi ketika barang tersebut dirusak. Karena barang yang diharamkan pemanfaatannya tidak ada kompensasi sama sekali ketika rusak.” Perkataan beliau ini menunjukkan bahwa alat musik adalah alat yang haram. Konsekuensinya tentu haram diperjualbelikan.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar penjelasan dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Matan Abi Syuja’) halaman 330 karya Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al Husaini Al Hushniy Ad Dimasyqi Asy Syafi’i ketika menjelaskan perkataan Abu Syuja’ bahwa di antara jual beli yang tidak sah (terlarang) adalah jual beli barang yang tidak ada manfaatnya. Syaikh Taqiyuddin memaparkan bahwa jika seseorang mengambil harta dari jual beli seperti ini, maka itu sama saja mengambil harta dengan jalan yang batil. Dalam perkataan selanjutnya, dijelaskan sebagai berikut:
وأما آلات اللهو المشغلة عن ذكر الله، فإن كانت بعد كسرها لا تعد مالاً كالمتخذة من الخشب ونحوه فبيعها باطل لأن منفعتها معدومة شرعاً، ولا يفعل ذلك إلا أهل المعاصي
“Adapun alat musik yang biasa melalaikan dari dzikirullah jika telah dihancurkan, maka tidak dianggap lagi harta berharga seperti yang telah hancur tadi berupa kayu dan selainnya, maka jual belinya tetap batil (tidak sah) karena saat itu tidak ada manfaatnya secara syar’i. Tidaklah yang melakukan demikian kecuali ahlu maksiat.”
Ini perkataan ulama Syafi’iyah yang bukan kami buat-buat. Namun mereka menyatakan sendiri dalam kitab-kitab mereka. Intinya, musik itu haram. Alat musik juga adalah alat yang haram. Pemanfaatannya termasuk diperjualbelikan adalah haram. Artinya, upah yang dihasilkan adalah upah yang haram. Penjelasan ini pun dapat menjawab bagaimana hukum shalawatan dan nasyid dengan menggunakan alat musik. Silakan direnungkan!
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Artikel menarik sebagian bahan kajian lebih jauh tentang musik: “Saatnya Meninggalkan Musik
More aboutAlat Musik Dalam Pandangan Ulama Madzhab Syafi'i