Bacaan Dalam Shalat Jenazah

Diposting oleh Mutiarahikmah on Minggu, 28 April 2013



Dari Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf rahimahullah dia berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
“Aku shalat di belakang Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma pada suatu jenazah, lalu ia membaca surat Al Fatihah. Lalu beliau berkata, “Agar orang-orang tahu bahwa itu (membaca Al-Fatihah dalam shalat jenazah) adalah sunah.” (HR. Al-Bukhari no. 1335)
Auf bin Malik radhiallahu anhu berkata:
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْ دُعَائِهِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ قَالَ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنْ أَكُونَ أَنَا ذَلِكَ الْمَيِّتَ
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatkan jenazah, dan saya hafal do’a yang beliau ucapkan: “ALLAHUMMAGHFIR LAHU, WARHAMHU, WA ‘AAFIHI, WA’FU ‘ANHU. WA AKRIM NUZULAHU, WA WASSI’ MUDKHALAHU. WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARADI, WA NAQQIHI MINAL KHATHAAYAA KAMAA NAQQAITATS TSAUBAL ABYADHA MINAD DANASI. WA ABDILHU DAARAN KHAIRAN MIN DAARIHI, WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHI, WA ZAUJAN KHAIRAN MIN ZAUJIHI. WA ADKHILHUL JANNATA, WA A’IDZHU MIN ‘ADZAABIL QABRI, AU MIN ‘ADZAABIN NAAR. (Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia, dan maafkanlah ia. Muliakanlah tempat kembalinya, lapangkan kuburnya. Bersihkanlah ia dengan air, salju, dan air yang sejuk, dan bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran. Gantilah rumahnya -di dunia- dengan rumah yang lebih baik -di akhirat- serta gantilah keluarganya -di dunia- dengan keluarga yang lebih baik, dan istri di dunia dengan istri yang lebih baik. Masukkanlah ia ke dalam surga-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka).” Hingga saya (Auf) berangan-angan seandainya saya saja yang menjadi mayit itu.” (HR. Muslim no. 963)
Penjelasan ringkas:
Sudah diterangkan pada dua artikel sebelumnya dalam ‘Kaifiat Shalat Jenazah’ bahwa shalat jenazah terdiri dari 4 kali takbir. Adapun perinciannya, maka disebutkan dalam hadits Abu Umamah Sahl bin Hunaif radhiallahu anhu dimana beliau berkata:
السنة في الصلاة على الجنازة أن يكبر ثم يقرأ بأم القرآن ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يخلص الدعاء للميت ولا يقرأ إلا في الأولى
“Yang menjadi sunnah dalam shalat jenazah adalah bertakbir (yang pertama) lalu membaca Al-Fatihah, kemudian (pada takbir kedua) bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian (pada takbir ketiga) mendoakan jenazah. Tidak boleh membaca Al-Qur`an kecuali pada takbir yang pertama.” (HR. Al-Hakim: 1/360, Al-Baihaqi: 4/39, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ahkam Al-Jana`iz hal. 121)
Sementara pada takbir yang keempat tidak disyariatkan untuk membaca apa-apa karena tidak adanya dalil yang shahih dalam permasalahan. Jadi, setelah takbir yang keempat langsung salam.
Maka hadits Abu Umamah di atas merinci dua hadits (hadits Ibnu Abbas dan Anas) yang kami bawakan di atas. Yaitu bahwa Al-Fatihah dibaca pada takbir pertama dan doa kepada jenazah dibaca pada takbir yang ketiga. Adapun lafazh shalawat pada takbir yang kedua, maka disyariatkan untuk membaca shalawat yang biasa dibaca di dalam shalat. Wallahu a’lam.
More aboutBacaan Dalam Shalat Jenazah

Bahaya Ponsel Ditangan Anak

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 24 April 2013



Dulu benda satu ini dianggap sebuah barang mewah dan bergengsi. Namun siapa sangka belakangan ini berubah menjadi bak kacang goreng, dijual murah dan laris manis di berbagai kalangan. Siapa pun bisa menikmatinya.
Sekarang handphone (HP) atau telepon genggam atau telepon seluler (ponsel), benar-benar berada dalam genggaman siapa saja. Tak hanya kalangan pebisnis kelas tinggi, pedagang kaki lima pun berponsel. Tak cuma yang berpenampilan necis dan perlente, yang berkoteka di pedalaman pun kini bisa akrab dengan handphone. Yang lebih parah lagi, anak-anak pun sekarang diasuh oleh ponsel. Padahal nyata-nyata banyak akibat negatif yang ditimbulkannya.
Ada seorang ibu yang gelisah menunggu putranya yang tak kunjung pulang dari sekolah. Padahal hari telah senja. Sejak tadi dihubunginya si anak lewat ponselnya, tapi tak juga terhubung. “Memang begitu anak-anak!” gerutunya, “Kita yang kasih ponsel, sulitnya kita menghubungi. Eh… giliran dia pergi sama kita, krang-kring krang-kring teman-temannya bisa saja menghubungi!”
Ada lagi ibu yang mengeluhkan, murid-murid berponsel di sekolah anaknya –sebuah sekolah dasar ternama di sebuah kota besar– mendapat kiriman gambar-gambar tak senonoh dari pengirim tak dikenal. Akhirnya jadi hebohlah kanak-kanak yang harusnya masih polos dan bersih ini.
Ini baru dua dampak negatif yang nyata-nyata terjadi. Inilah akibatnya jika benda semacam ini ada di tangan yang tidak semestinya. Di balik satu keuntungan yang ingin diperoleh –agar mudah menghubungi si anak di setiap waktu– ternyata berbagai kerusakan tersimpan. Apalagi seiring perkembangan spesifikasinya, fitur-fitur ponsel turut dikembangkan dan dibuat kian mudah.
Hubungan telepon yang makin mudah
Inilah yang mungkin pada awalnya dikehendaki oleh orangtua; agar mereka mudah menghubungi dan mengontrol anak-anak melalui telepon. Namun ternyata efek sampingnya lebih membahayakan, karena anak-anak juga makin mudah menghubungi teman-temannya tanpa bisa terawasi. Tidak terlalu sulit bagi anak menghapus daftar panggilan keluar, sehingga anak merasa ‘aman’ menghubungi teman-teman yang selama ini dilarang oleh orangtuanya. Akibatnya, justru bertambah sulit pengawasan terhadap anak dilakukan.
Apalagi anak-anak yang ‘baru gede’, fasilitas yang diberikan orangtua ini dapat membuka celah fitnah terhadap lawan jenis. Tanpa rasa malu anak-anak perempuan mengobrol dengan teman laki-laki mereka. Wal ‘iyadzu billah!
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan t pernah ditanya tentang pembicaraan lewat telepon antara seseorang yang mengkhitbah (melamar) wanita dengan wanita yang dikhitbahnya (dilamarnya).
Beliau menjawab, “Pembicaraan antara orang yang mengkhitbah dengan wanita yang dikhitbahnya melalui telepon tidak mengapa jika hal ini dilakukan setelah khitbah ini diterima. Pembicaraan ini pun hanya dilakukan untuk saling memahami sekadar keperluannya, serta tidak ada fitnah antara mereka berdua. Namun bila hal ini dilakukan melalui perantaraan wali si wanita, maka ini lebih sempurna dan lebih jauh dari sesuatu yang mencurigakan.
Adapun pembicaraan (lewat telepon, pen.) yang terjadi antara pria dan wanita, maupun antara pemuda dan pemudi yang tidak terjadi khitbah di antara mereka, dan semata-mata untuk berkenalan –sebagaimana yang mereka katakan– maka ini perkara yang mungkar, haram dan menggiring ke arah fitnah serta bisa menjatuhkan pada perbuatan keji.
Allah l berfirman:
“Dan janganlah kalian berlemah lembut dalam berbicara sehingga orang yang berpenyakit di hatinya memiliki keinginan terhadap kalian  dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Maka seorang wanita tidak boleh berbicara dengan pria ajnabi (yang bukan mahramnya) kecuali karena suatu kepentingan, dengan ucapan yang baik, tidak mengandung fitnah maupun sesuatu yang mencurigakan.
Para ulama juga telah menyatakan bahwa seorang wanita yang berihram bertalbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Di dalam hadits dikatakan pula:
إِذَا أَنَابَكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتصفقِ النِّسَاءُ
“Apabila terjadi sesuatu dalam shalat kalian, hendaknya para laki-laki bertasbih dan para wanita menepukkan tangan.”
Ini termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya kepada laki-laki kecuali dalam keadaan-keadaan yang memang membutuhkan pembicaraan, disertai rasa malu.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 2/605-606)
Musik
Yang satu ini tak lepas dari ponsel. Dalam ponsel yang paling sederhana pun tersedia nada dering musik meski dengan format yang juga sederhana. Lebih-lebih lagi yang canggih. Bahkan tersedia khusus seri ponsel musik dalam berbagai merek dan harga yang bervariasi, dilengkapi deretan album lagu yang siap didengar oleh siapa pun yang menginginkan.
Sayangnya, masih banyak kaum muslimin yang kurang atau bahkan tidak memerhatikan hal ini. Ketika ada panggilan masuk, yang terdengar tak hanya deringan, tapi alunan musik atau penggalan lagu. Allahul musta’an!
Masihkah kita bermudah-mudah dalam hal ini, sementara telah jelas bagi kita haramnya musik dan nyanyian?1 Tidakkah kita merasa khawatir termasuk orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah n:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ …
“Sungguh nanti akan muncul di kalangan umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat musik….” (HR. Al-Bukhari no. 5590 dari sahabat yang mulia Abu ‘Amir Al-Asy’ari dan Abu Musa Al-Asy’ari c)
Gambar-gambar makhluk bernyawa
Kini ponsel tak sekadar menyajikan tulisan, namun juga gambar. Yang menjadi masalah, tampil juga gambar-gambar makhluk bernyawa. Tak hanya dalam bentuk gambar biasa ataupun foto. Kini konten-konten yang memuat gambar-gambar makhluk bernyawa tersedia pula dalam bentuk animasi atau gambar bergerak. Bisa dalam bentuk game ataupun film kartun, semua bisa didapatkan dengan mudah oleh peminat. Dari yang riil hingga khayalan. Semua ini menambah minat pengguna, termasuk anak-anak. Hanya Allah l sajalah yang dapat dimintai pertolongan menghadapi musibah seperti ini.
Bukankah Rasulullah n telah pernah memerintahkan untuk menghapus gambar-gambar bernyawa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib z kepada Abul Hayyaj Al-Asadi, “Maukah engkau kuutus dengan apa yang dulu Rasulullah n pernah mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):
أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Janganlah engkau biarkan gambar (makhluk bernyawa, pen.) kecuali engkau hapus dan jangan pula kau biarkan kubur yang ditinggikan kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 2240)2
Menyia-nyiakan waktu
Memegang ponsel di tangan, bagi anak-anak, bukan sebagai alat untuk mempercepat kerja atau mendukung aktivitas. Ponsel di tangan mereka tak ubahnya seperti mainan.
Waktu mereka banyak tersita untuk mengobrol atau berkirim sms dengan teman-teman tanpa suatu kepentingan yang mengharuskan. Belum lagi ketersediaan game yang kian menarik dan variatif, menambah kecanduan si anak. Apalagi berbagai konten bisa diunduh dengan relatif mudah dan murah.
Tidakkah kita ingat dengan peringatan Rasulullah n tentang waktu? Abdullah bin ‘Abbas c, menukilkan bahwa Rasulullah n bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang sebagian besar manusia terlena di dalamnya, kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412)
Terkikislah sudah kenikmatan menghabiskan waktu luang dengan membaca Al-Qur’an. Bahkan mungkin bagi mereka, membaca Al-Qur’an adalah aktivitas yang menjenuhkan. Nas’alullahas salamah! Betapa jauhnya keadaan anak-anak kita dengan anak-anak yang hidup dekat dengan masa Rasulullah n, padahal mestinya kita meneladani mereka. Lihat bagaimana ‘Abdullah bin ‘Abbas c menuturkan tentang dirinya:
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ n وَأَنَا ابْنُ عَشْرِ سِنِيْن وَقَدْ قَرَأْتُ المُحْكَمَ
“Rasulullah n wafat ketika aku berumur sepuluh tahun, sementara aku telah menghafal ayat-ayat muhkam3.” (HR. Al-Bukhari no. 5035)
Betapa jauhnya keadaan kita dengan generasi awal umat ini. Kita membuat anak-anak sibuk dengan hal-hal yang kurang atau bahkan tidak bermanfaat, sementara mereka selalu menghasung dan menyibukkan anak-anak dengan ilmu agama. Kita mengenyangkan anak-anak dengan berbagai permainan dan kesia-siaan, sementara mereka selalu mengenyangkan anak-anak dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n . Lihat bagaimana ‘Utbah bin Abi Sufyan z berpesan kepada pendidik putranya, “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits, dan jauhkan dia dari syair.” (Waratsatul Anbiya’, hal.30)
Dampak buruk bagi kesehatan
Bermain game dari sebuah ponsel adalah sebuah aktivitas yang mengasyikkan bagi anak-anak. Apalagi berbagai macam game terbaru bisa didapat dengan mudah. Tanpa terasa, anak-anak bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game.
Sebenarnya ini perlu diwaspadai, karena penggunaan ponsel yang berlebihan disinyalir dapat memengaruhi tubuh manusia. Hal ini disebabkan oleh radiasi yang timbul dari gelombang elektromagnetik pada ponsel.Berbagai penelitian telah dilakukan dan menunjukkan adanya pengaruh radiasi ponsel dalam memicu timbulnya penyakit kanker. Bahkan para dokter mulai memperingatkan adanya bahaya ponsel bagi anak-anak.
Melihat kenyataan seperti ini, orangtua yang bijaksana tentunya akan menimbang-nimbang, sudah tepatkah jika anak-anak mereka memegang peranti teknologi yang satu ini? Anak-anak kita masih memerlukan banyak bimbingan. Akal mereka belum sempurna untuk memilah yang benar dan yang salah, yang boleh dilakukan dan yang harus ditinggalkan. Mereka juga masih begitu rentan sehingga berbagai risiko relatif mudah akan menimpa mereka.
Tidakkah lebih baik jika kita pilihkan segala sesuatu yang terbaik, bukan menurut anggapan kita, namun menurut bimbingan syariat?
Bukankah lebih baik jika kita jauhkan anak-anak dari segala sesuatu yang mengandung bahaya bagi mereka?
Itu semua untuk kebaikan mereka, di dunia dan di akhirat, dan itu berarti kebaikan pula bagi kita –orangtua mereka.
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal, terputus seluruh amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Abu Dawud no. 2880, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
More aboutBahaya Ponsel Ditangan Anak

Umur, Anugrah yang Banyak Diabaikan

Diposting oleh Mutiarahikmah



Ada sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah l setelah senja, setelah pensiun atau purna tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya, padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat– kita tidak berbekal diri dengan ketaatan?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat, di mana manusia terbagi menjadi: ashhabul jannah (penghuni surga) dan ashhabul jahim (penghuni neraka). Itulah hakikat perjalanan manusia di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dan sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Allah l berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir t berkata: “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.” (Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)
Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu kita berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi n bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud z. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)
Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan: “Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.” Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?! Allah l berfirman:
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim t berkata: “Sesung-guhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil ‘Ilmi hal. 32)
Abdullah bin Umar c berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْـمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لـِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لـِمَوْتِكَ
“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi, janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang?! Allah l berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (Al-Mu`minun: 99-100)
Menyia-nyiakan Kesempatan
Banyak orang yang melewati hari-harinya dengan hura-hura, berfoya-foya, dan perbuatan sia-sia. Bahkan tidak jarang dari mereka yang tenggelam dalam dosa. Tidaklah mereka melakukan ketaatan sebagai bekal di hari kemudian dan tidak pula mengisi dengan kegiatan positif yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia. Seolah keadaannya mengatakan bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Tiada yang terbayang di benaknya kecuali terpenuhi syahwat dan nafsunya. Orang yang seperti ini tidak jauh dari binatang bahkan lebih jelek keadaannya. Nabi n bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu padanya, (yaitu nikmat) sehat dan senggang.” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2304)
Sesungguhnya Nabi kita n telah mengajarkan untuk serius dalam memanfaatkan kesempatan sebelum datangnya penghalang. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, bahwa Nabi n mengatakan kepada seseorang dengan menasihatinya:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kaya/kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 1077)
Al-Munawi t berkata: “Lakukanlah lima perkara sebelum mendapatkan lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakan (hidupmu pada) apa yang akan memberi manfaat setelah matimu, karena orang yang mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni gunakan masa sehat untuk beramal, karena terkadang datang penghalang seperti sakit sehingga kamu mendatangi akhirat tanpa bekal. “Dan masa senggangmu sebelum masa sibukmu” yakni manfaatkan (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum tersibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat dari adzab dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum tuamu”, yakni lakukan ketaatan di saat kamu mampu sebelum kelemahan usia lanjut menghinggapimu, sehingga kamu akan menyesali apa yang telah kamu sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah l. “Dan masa kayamu sebelum fakirmu” yakni manfaatkan untuk bersedekah dengan kelebihan hartamu sebelum dipaparkan kepada musibah yang menjadikanmu fakir, (jika demikian) kamu akan fakir di dunia dan akhirat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak ada.” (Faidhul Qadir, 2/21)
Telah Datang Peringatan
Terkadang telah datang kepada seseorang peringatan dari tubuhnya sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya menyadari akan keadaannya. Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai keriput dan kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah dekat. Allah l berfirman:
“Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allah l di atas: “Dan telah datang kepada kamu peringatan” yakni: uban.
Demikian pula jika Allah l telah memberi umur kepada seseorang hingga 60 tahun, berarti Allah l tidak meninggalkan lagi sebab untuk seorang memiliki alasan. Kesempatan telah Allah l berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi n bersabda:
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أُخِّرَ أَجَلُهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Allah telah menyampaikan puncak dalam pemberian udzur/alasan kepada seorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai umur 60 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 6419)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak lagi tersisa alasan baginya, seperti dengan mengatakan: “Kalau dipanjangkan ajalku, niscaya aku akan melakukan apa yang aku diperintah dengannya.” Dijadikannya umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada Allah l, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika masih kuat dan semangat. (Lihat Fathul Bari, 11/240)
Umur Umat Ini
Allah l telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba. Nabi n bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah z:
أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 11/240)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun, dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah l dan kasih sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur, badan dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah l. Dan manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal. Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir, yang mengambil rizki sedikit, dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek, supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang Allah l terhadap mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi t seperti dalam Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).
Orang yang Paling Baik
Manusia terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhiratnya. Nabi n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah z, lihat Shahih Al-Jami’ no. 3297)
Orang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya maka akan banyak pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka bertambahnya umur akan bertambah pula pahala dan amalannya.
Dahulu ada dua orang datang kepada Nabi n dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang yang lebih semangat itu ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya yang satu masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya. Maka ada seorang sahabat bernama Thalhah bin ‘Ubaidillah z bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di pintu surga. Lalu orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilakan masuk. Paginya, Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi Thalhah dan takjubnya manusia pun sampai kepada Nabi n. Maka Nabi n mengatakan: “Bukankah (orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah (kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah n bertanya lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah n bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.” (Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3185)
Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang kamu beristighfar kepada Allah l lebih baik daripada kamu mati selama setahun.”
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu ingin mati?” Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam keadaan seperti ini.”
Dan ada (pula) seorang salaf lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang masih tersisa dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab: “Menangisi dosa-dosa yang telah aku lakukan.”
Oleh karena itu, banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia, namun karena terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat malam, puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi t. (Lihat syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib –karya Ibnu Rajab t hal. 25-26)
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogianya seseorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika seorang yakin jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa cobaan yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah l. Dalam kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik daripada atasnya. Namun orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan, seperti seseorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung sembuh atau dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang seperti ini dilarang. Nabi n bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْـمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْـحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat hendaklah ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari no. 5671)
Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik kepada Allah l. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau bahkan sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari beramal dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali kesalahan.
Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi t gusar ketika kematian hendak menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi dengan perjalanan yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang belum pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menuju kekasihku (Allah l) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku saksikan yang seperti itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib- Ibnu Rajab t hal. 32 dan lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia`, 6/149-155)
Memohon Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukan jaminan seorang selamat dari adzab. Lihatlah bagaimana orang Yahudi sangat berambisi untuk diberi umur panjang. Allah l berfirman:
“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.” (Al-Baqarah: 96)
Adapun seorang mukmin tidaklah bertambah umur kecuali bertambah kebaikan. Oleh karena itu, boleh bagi seseorang untuk mendoakan panjangnya umur. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi n ketika mendoakan sahabat Anas bin Malik z:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ حَيَاتَهُ وَاغْفِرْ لَهُ
“Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya dan panjanglah hidupnya (umurnya) serta ampuni baginya.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 508)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam hadits ini, (ada faedah) bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.” (Syarah Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 2/311)
Namun seyogianya doa meminta panjang umur dibarengi dengan permohonan kebaikan dengan panjangnya umur itu. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah yang panjang umurnya namun jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa kalau mendoakan: ‘Semoga Allah l panjangkan hidupmu di atas ketaatan kepada Allah l’ dan yang semisalnya.” (Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hal. 89)
Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan Menjaga Waktu
Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi awal umat ini dalam memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah itu adalah dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan bahkan nyawa untuk meninggikan agama Allah l. Suatu generasi yang keridhaan Allah l adalah tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai manusia.
Maka, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga waktu adalah suatu hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah mereka, semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah l telah menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan dengan firman-Nya:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18)
Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam yang indah dengan bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya manusia terlelap dalam tidurnya. Namun sudah seperti itu keadaannya, mereka selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan. Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal dengan perasaan takut akan adzab Allah l. Demikian pula Ibrahim dan Isma’il e tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah l yang termulia, di tempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
“Wahai Allah, terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan orang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah l.
Inilah sahabat Abdullah bin Umar c, ketika Abu Hurairah z memberitahukannya tentang hadits Nabi n bahwa orang yang menshalati jenazah akan mendapatkan satu qirath (pahala yang besar) dan barangsiapa yang mengantarnya hingga dikubur akan mendapatkan dua qirath. Abdullah belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah. Utusan tadi bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab: “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan: “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.” (Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1040, cet. Al-Ma’arif)
Demikianlah, Abdullah bin Umar c sangat menyesal karena telah terlewatkan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar. Namun, pernahkah kita menyesali kesempatan emas yang terlewat tanpa kita manfaatkan? Paling yang kita sesali adalah gemerlapnya dunia yang luput kita dapatkan. Sungguh waktu seseorang adalah modal hidupnya.
Dahulu bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya untuk menulis, ia manfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad t: “Tidaklah aku melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca atau menelaah.”
Al-Imam Adz-Dzahabi t menyebutkan biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin t bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali ia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan. (Lihat Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi karya Abdul Aziz As-Sadhan, hal. 33-37)
Berlindung kepada Allah l dari Ketuaan/ Kepikunan
Semakin lanjut usia seseorang, semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya hingga kembali kepada keadaan yang serupa dengan anak kecil dalam hal lemahnya tubuh, sedikit akalnya, dan tidak adanya pengetahuan. Demikian pula munculnya pemandangan yang tidak bagus serta tidak mampu melakukan banyak ketaatan. Cukuplah seseorang berlindung dari kepikunan karena Allah l telah menamakannya dengan umur yang paling rendah/hina dan menjadi tidak tahu apa-apa yang sebelumnya ia tahu. Adalah Nabi n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.” (HR. Al-Bukhari no. 6367)
Orangtua Berjiwa Muda
Ketahuilah bahwa selagi manusia masih ada harapan hidup maka tidak akan terputus harapannya untuk mendapatkan dunia. Bahkan terkadang dirinya tidak mau mencabut diri dari kelezatan dan syahwat yang maksiat. Setan pun selalu membisikkan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga bila ia telah yakin akan mati dan tidak ada harapan lagi untuk hidup, barulah ia sadar dari mabuknya akan syahwat dunia. Ia pun menyesali penyia-nyiaan umurnya dengan penyesalan yang hampir membunuh dirinya. Ia meminta dikembalikan ke dunia untuk bertaubat dan beramal shalih. Namun permintaannya tidak digubris, sehingga berkumpullah padanya sakaratul maut dan penyesalan atas sesuatu yang telah lewat.
Allah l telah memperingatkan hamba-Nya akan hal ini, supaya mereka bersiap-siap menghadapi kematian dengan bertaubat dan beramal shalih sebelum datangnya. Allah l berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ. وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ. أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ لَـمِنَ السَّاخِرِينَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (Az-Zumar: 54-56) [Lihat Latha`iful Ma’arif, Al-Imam Ibnu Rajab t hal. 449-450]
‘Ali bin Abi Thalib z berkata: “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada anak-anak (pecinta)nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada amal.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi)
Nabi n bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الْأَمَلِ
“Orang yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).” (HR. Al-Bukhari no. 6420)
Wallahu a’lam.
More aboutUmur, Anugrah yang Banyak Diabaikan

Hukum Shalat Subuh Bagi Orang yang Bangun Kesiangan

Diposting oleh Mutiarahikmah on Selasa, 23 April 2013


Apabila saya bangun jam 6 pagi dan matahari sudah mulai terbit, apa yang harus saya lakukan dengan salat subuh saya?


Jawab:.
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu ‘ala rasulillah Semoga Allah swt mencurahkan keberkahan dan kemudahan kepada saudara serta keluarga. Kewajiban shalat merupakan salah satu kewajiban yang Allah swt telah tentukan waktunya. Hal ini selaras dengan firman Allah swt:
“Sesungguhnya shalat itu kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. 4:103)”
Dengan demikian, seorang muslim harus melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Lalu bagaimana dengan orang yang bangun tidur kesiangan, sehingga matahari telah terbit ?
Pertama, bagi orang yang ketiduran hingga matahari terbit. Bagi orang yang tertidur, tidak bangun di waktu subuh hingga matahari terbit, maka tatkala bangun ia harus segera melaksanakan shalat subuh. Dalam hal ini, ia tidak berdosa. Sebab, keterlambatannya untuk melaksanakan shalat bahkan hingga keluar waktunya bukan karena unsur kesengajaan. Hal ini pernah terjadi pada diri Rasulullah saw. Suatu ketika Rasulullah saw sedang dalam perjalanan. Ketika malam, beliau saw dan para sahabat tertidur hingga matahari terbit. Seketika itu, beliau saw memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamah. Akhirnya, Rasul saw dan para sahabat shalat subuh di kala matahari telah terbit.
Kedua, bagi orang yang ketiduran dan ada unsur kesengajaan. Sebenarnya ia telah terbangun di waktu subuh. Hanya saja, karena rasa malas dan terasa berat, ia tidur kembali sampai matahari terbit. Jadi, ada unsur kesengajaan. Sebagian besar para ulama berpandangan bahwa ia berkewajiban untuk mengqadha shalatnya. Hendaklah dirinya segera melaksanakan shalat ketika bangun. Di samping itu, ia harus bertaubat kepada Allah swt karena telah sengaja meninggalkan shalat tatkala telah tiba waktunya. Bagaimana pun juga, meninggalkan shalat secara sengaja termasuk dosa besar. Hal ini berdasarkan pada firman Allah swt:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (QS. 107:4)”
“(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. 107:5)”
Kesimpulannya, saudara tetap berkewajiban untuk melaksanakan shalat subuh setelah bangun tidur. Di samping itu, hendaklah berusaha sekuat tenaga untuk shalat subuh tepat waktu dan berjamaah. Dengan bangun pagi, kita akan mendapatkan keberkahan dari doa Rasulullah saw, “Ya Allah, berikanlah keberkahan pada umatku di waktu pagi-pagi.” (HR Ahmad).
Wallahu a’lam.
More aboutHukum Shalat Subuh Bagi Orang yang Bangun Kesiangan

Tidur, Sesudah Subuh dan Sebelum Isya, Bolehkah?

Diposting oleh Mutiarahikmah



Tidur, bagi kebanyakan orang merupakan kegiatan yang menyenangkan. Bahkan tak jarang kita menemui seseorang yang menjadikan tidur sebagai hobinya. :)Umumnya, ketika kita tidur, kita akan merilekskan sebagian besar organ tubuh atau dengan kata lain kita mengistirahatkan organ kita dari aktivitas seharian sehingga ketika kita bangun kita merasa lebih segar dan nyaman. Kecuali jika tidurnya kelebihan. Bukan segar yang kita peroleh malahan lesu dan lemas bahkan terkadang kita pusing. (Pengalaman pribadi, hhehehe…)
Tidur menjadi sesuatu yang esensi dalam kehidupan kita. Karena dengan tidur, kita menjadi segar kembali. Tubuh yang lelah, urat-urat yang mengerut, dan otot-otot yang dipakai beraktivitas seharian, bisa meremaja lagi dengan melakukan tidur.
Waktu yang dibutuhkan untuk tidur bagi orang dewasa berkisar 8 jam setiap hari. Namun, pekerjaan yang menyita waktu, menonton televisi dan kegiatan lain pada malam hari membuat hanya sedikit orang yang benar-benar tidur dalam jangka waktu tersebut.
Ada banyak yang dilakukan saat kita tidur. Saat tidur, tubuh kita juga memperbaiki sel-sel yang rusak dalam tubuh juga membuat pikiran kita menjadi lebih tenang. Kurang tidur dapat menyebabkan emosi yang tidak stabil, lelah, berkurangnya kemampuan berpikir. Sayangnya, banyak orang yang merasa sulit tidur saat malam hari. Walaupun sudah berniat untuk tidur, tapi mata tidak bisa terpejam dan tidak ada rasa kantuk.
Tetapi bukan itu yang mau saya angkat pada artikel ini. Tetapi, ternyata di dalam islam ada waktu tidur yang dianjurkan oleh Rasulullah Sallallaahu ‘alayhi Wasallam untuk tidak dilakukan. Walaupun dalam islam semua perbuatan itu bisa menjadi ibadah termasuk tidur, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Sallallaahu ‘alayhi Wasallam.
1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya”
(HR. Abu dawud 3/517, Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata:
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang shalih – adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
2. Tidur Sebelum Shalat Isya’
Diriwayatkan dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya” (HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).
Mayoritas hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’. Oleh sebab itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan:
“Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya.”
Dan sebagian ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini. Abdullah bin Mubarak mengatakan :
“Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadlan saja.”
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) :
“Di antara para ulama melihat adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat.”
More aboutTidur, Sesudah Subuh dan Sebelum Isya, Bolehkah?

HAKIKAT KECANTIKAN

Diposting oleh Mutiarahikmah on Minggu, 21 April 2013


Orang-orang yang terfitnah dengan wajah dan gambar cantik banyak sekali yang terperosok ke dalam perbuatan keji. Memang pantas dinamai perbuatan keji, karena Allah menamakannya perbuatan keji, perbuatan jeleki, kerusakanii, keburukaniii, syubhat dan kejahataniv. Seluruh perkara di atas bertentangan dengan kecantikan. Dari situ dapatlah kita ketahui bahwa kecantikan yang disukai oleh Allah bukanlah kecantikan lahiriyah, sebab Allah tidak hanya melihat kecantikan lahiriyah belaka. Amat mustahil hal itu menjadi sesuatu yang disukai oleh Allah. Kecantikan itu ada yang disukai oleh Allah dan ada yang dibenci. Sesungguhnya Allah membenci mempercantik diri (laki-laki) dengan mengenakan sutera dan emas, membenci berhias dengan pakaian kesombongan. Meskipun dengan perhiasan itu seseorang menjadi lebih cantik. Kecantikan ada tiga macam:
1.Kecantikan yang tidak menimbulkan mafsadat. Inilah kecantikan yang dicintai Allah.
2.Kecantikan yang membawa mafsadat dan mengundang kemarahan Allah. Inilah kecantikan yang dibenci Allah.
3.Kecantikan yang mengandung kedua unsur di atas. Jenis kecantikan yang ketiga ini dibenci Allah dari satu sisi dan disukai-Nya dari sisi yang lain.

Ini jika kecantikan tersebut kecantikan buatan, adapun jika kecantikan itu adalah kecantikan alami, bukan buatan ataupun polesan, maka sama sekali tidak berkaitan dengan pahala dan dosa, tidak berkaitan dengan celaan dan pujian Allah, dan tidak berkaitan pula dengan kecintaan dan kebencian-Nya. Kecuali jika kecantikan itu digunakan untuk perkara yang disukai oleh Allah atau untuk perkara yang dibenci oleh Allah, sebagaimana kami jelaskan sebelumnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan suka keindahan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji dan kotor ucapannya.” v
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai kekejian dan perkataan keji.” vi

Kecantikan dan keburukan memiliki keterkaitan dengan bentuk fisik dan tingkah laku. Tingkah laku itu akan tampak bekasnya pada perkataan dan perbuatannya. Jadi, dari sisi ini ada delapan jenis manusia, dua di antaranya adalah:
1.Yang memiliki kecantikan secara fisik maupun tingkah laku, pada perbuatan maupun perkataan. Merekalah orang yang paling terpuji dan paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lawannya adalah:
2.Yang buruk secara fisik maupun tingkah laku, pada perbuatan maupun perkataan. Merekalah manusia paling buruk dan paling dibenci Allah.

Ada pula yang terangkum pada dirinya dua unsur tersebut. Yaitu cantik dari satu sisi dan buruk pada sisi yang lain. Ada yang kecantikannya lebih dominan daripada keburukannya dan sebaliknya. Dan kadang kala juga berimbang.

Barangsiapa yang sering memperlihatkan keadaan manusia tentu akan mendapatinya demikian. Biasanya antara kecantikan lahir dan kecantikan batin saling berkaitan erat. Sebagaimana antara keburukan lahir dan keburukan batin juga saling berkaitan.

Bagi yang suka memperhatikan keadaan manusia, pasti menemukan hal itu. Pada umumnya kecantikan lahiriyah dan kecantikan batin saling terkait satu sama lain. Demikian pula halnya keburukan lahir dengan keburukan batin. Karena setiap batin terdapat indikasi pada penampilan lahir menunjukkan rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Allah telah menjadikan keterkaitan dan keselarasan antara rupa dan perilaku serta antara lahir dan batin. Dari sisi inilah orang-orang membicarakan tentang firasat. Menggali ilmunya yang merupakan ilmu yang paling tersembunyi dan pelik. Dasarnya adalah mengenal persamaan dan kesesuaian yang Allah tetapkan pada dua hal yang saling memiliki kasamaan. Barangsiapa tidak memiliki sedikit pengetahuan tentang hal ini, maka hampir dapat dipastikan ia tidak akan memperoleh manfaat dari dirinya dan dari orang lain.

Jika engkau perhatikan alam sekitar, jarang sekali engkau dapati makhluk yang jelek rupanya melainkan pasti memiliki perangai yang jelek, perbuatan dan perkataan yang sesuai dengan rupanya yang jelek itu. Kecuali jika ia memperhalus etika dan memperdalam ilmu yang mengeluarkannya dari perangai jelaknya itu. Sebagaimana didapati pada beberapa hewan yang dilatih dan dibimbing sehingga terlepas dari tabiat aslinya. Dan jarang sekali engkau lihat makhluk yang cantik pasti memiliki perangai, perbuatan dan perkataan yang sesuai dengan parasnya yang cantik. Kecuali jika pengaruh yang jelak mengeluarkannya dari tabiatnya. Sebagaimana halnya seorang anak yang lahir di atas fitrah, kalau dibiarkan niscaya dia akan tumbuh di atas fitrah Islam. Akan tetapi, kekufuran mengeluarkannya dari fitrah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.”

Untuk membedakan antara kesombongan yang dibenci Allah, bahwasanya kesombongan itu bukanlah keindahan. Dan Rasulullah menjelaskan keindahan yang disukai Allah, Rasulullah mengatakan: “Tidak akan masuk Surga siapa saja yang ada di dalam hatinya sebesar biji dzarrah kesombongan.”
Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, seseorang ingin agar bajunya bagus dan sandalnya juga bagus,apakah itu termasuk kesombongan?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Tidak, sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolakkebenaran dan menghinakan orang lain.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa memakai pakaian dan sandal yang bagus termasuk keindahan yang disukai Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raf: 31)

Jika penampilan lahir dan batin indah, maka itulah yang disukai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika batin indah tapi penampilan lahirnya tidak indah alias jelek maka disisi Allah bukanlah hal yang merugikannya. Meskipun hina tiada berharga dalam pandangan manusia, tapi di sisi Allah ia mulia dan berharga. Jika seorang hamba memiliki suara yang merdu, namun apabila ia gunakan untuk berbicara yang keji dan bernyanyi, maka Allah membenci suara itu, walaupun suaranya itu suara yang palingmerdu. Sebagaimana Allah membenci kecantikan yang digunakan untuk perbuatan keji. Walaupun kecantikannya itu tiada taranya. Uraian ini sangat bermanfaat sekali untuk menjelaskan perbedaan antara keindahan yang disukai Allah dan yang dibenci-Nya.

Wallahu A’lam
More aboutHAKIKAT KECANTIKAN

Wanita-wanita yang haramdinikahi

Diposting oleh Mutiarahikmah on Sabtu, 20 April 2013


Perkawinan adalah untuk
membina rumah tangga yang
harmonis dan bahagia. Ada
wanita-wanita yang haram
dinikahi. Larangan tersebut tentu
akan membawa akibat
menyengsarakan hidup rumah
tangga.
1) Dilarang kawin dengan wanita
musyrik
Allah berfirman :“ dan
janganlah kamu nikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin jauh lebih
baik dari wanita musyrik,
walaupun mereka menarik
hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang
musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin jauh lebih baik dari
orang musyrik walau mereka
menarik hatimu . mereka
mengajak ke surga sedang Allah
mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya( perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka
menganbil pelajaran.“(QS. Al-
Baqarah: 221)”
2) dilarang kawin dengan wanita
dalam masa iddah
berdasarkan firman Allah:“ dan
tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali secara
sekedar mengucapkan.(kepada
mereka) perkataan yang ma’ruf).
Dan janganlah kamu ber’azam
(bertetap hati) untuk beraqad
nikah, sebelum habis iddahnya .
ketahuilah bahwa Allah
mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-
Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.”(QS. Al-Baqarah:235)
3) Dilarang kawin dengan wanita
yang telah dikawin ayahnya
Allah berfirman :“ dan
janganlah kamu kawini wanit-
wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, kecali yang telah terjadi
pada masa lampau.
Sesunggahnya perbuatan amat
keji dan di benci Allah dan
seburuk-buruk jalan yang
ditempuh.”(QS. An-Nisaa: 22)
4) Dilarang kawin dengan sebab
tertentu
Firman Allah : Diharamkan atas
kamu mengawini 1) ibu sendiri 2)
anak-anakmu yang perempuan
3) saudara-saudaramu yang
seibu atau seayah 4) saudara-
saudara bapakmu yang
perempuan 5) saudara-saudara
ibumu yang perempuan 6)anak-
anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki 7)anak-
anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan 8)
ibu-ibu yang menyusui kamu 9)
saudara perempuan persusuan
10) ibu-ibu istri(mertua) 11)
anak-anak istri yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri (disetubuhi)
, tapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu(dan sudah
kamu cerai) , maka tidak
berdosa kamu mengawininya 12)
(dan diharamkan bagimu) istri-
istri anak kandungmu (menantu)
13) dan menghimpun (dalam
perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya allah Maha
Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS. An-Nisaa)
5) . Dilarang kawin dengan
wanita yang telah ditalaq tiga
Firman Allah: kemudian jika si
manusia mentalaqnya (sesudah
talaq yang kedua). Maka
perempuan itu tidak halal
baginya hingga dia kawin dengan
suami lain. Kemudian jika suami
lain menceraikanya, maka tidak
ada dosa bagi kehidupanya
(bekas suami pertama dan istri)
untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hokum-
hukum Allah, diterangkan-Nya
pada kaum yang
(mau) mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah:230)
6) Dilarang mengawini wanita
lebih dari empat
Rasulullah bersabda:” cukuplah
bagimu empat orang istri dan
lainya diceraikan saja“(HR. Abu
Daud dan Thirmidzi)”
7) Mengawini wanita yang
berstatus istri orang lain
Mengawiniwanita yang masih
berstatus istri orang lain adalah
haram, sebelum ada kejelasan
bahwa wanita itu adalah janda
yang benar-benar telah
diceraikan suaminya. Hal ini
adalah untuk mrenjaga perasaan
dan harga diri seseorang yang
telah menjadi suaminya.
Firman Allah:“dan diharamkan
bagi kamumengawininya wanita
yng bersuami9, kecuali budak-
budak yang kamu miliki ( allah
telah menerangkan hokum itu)
sebagai tetapanya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu untuk
yang demikian(yaitu) mencari istri
dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka istri-
iastri yang telah kamu nikmati
(campuri) diantara mereka,
berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna) .
sebagai suatu kewajiban, dan
tidaklah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu
telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (QS. An-Nisaa: 24)
More about Wanita-wanita yang haramdinikahi