Dideh atau saren, Bagaimana Hukumnya ???

Diposting oleh Mutiarahikmah on Senin, 26 Mei 2014


Didih atau saren dalam bahasa jawa adalah darah yang mengalir dari hewan yang disembelih seperti ayam atau lainnya. Darah yang mengalir tersebut dibiarkan membeku untuk kemudian dikonsumsi. Simak penjelaasannya berikut :
Darah haram dimakan berdasarkan ayat yang telah disebutkan di atas. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa darah itu haram dan najis, tidak boleh dimakan dan dimanfaatkan.” (Tafsir al-Qurthubi, 2/221).
Darah yang diharamkan disini adalah darah yang mengalir, yang ditumpahkan, sebagaimana halnya yang disebutkan dalam ayat:
“Katakanlah, “Tidaklah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.  Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-An’am: 145)
Ayat ini dengan tegas mengharamkan darah yang mengalir (Dam Masfuh), adapun darah yang tidak mengalir, seperti yang darah yang terdapat pada urat-urat daging atau yang melekat pada dagingnya, darah ini diperbolehkan.
Ath-Thabari menerangkan, “Penyebutan syarat‘mengalir’, bukan yang lainnya, adalah dalil yang jelas bahwa darah yang tidak mengalir itu halal dan bukan najis.” (Tafsir ath-Thabari, 9/633).
Kita sendiri menyaksikan ketika kita rendam daging untuk kita masak, kita dapatkan air berubah merah. Darah ini bukan darah masfuh yang disebut dalam ayat, jika darah ini juga haram niscaya ini adalah perkara yang sangat memberatkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata, “Telah shahih bahwasanya mereka (para sahabat) menaruh daging ke dalam bejana, sementara itu darah yang bercampur air terlihat membentuk garis-garis. Tentang hal ini aku tidak mengetahui ada perselisihan di kalangan para ulama bahwa hal itu dimaafkan dan tidak dianggap najis, menurut kesepakatan mereka.” (al-Fatawa, 21/524)
Beliau juga berkata: “… Para sahabat Radhiyallahu’anhum di masa Nabi Shallallahu’alaihiwasallam selalu mengambil daging lantas memasak dan memakannya tanpa mencucinya terlebih dahulu, dalam keadaan mereka melihat darah dalam bejana membentuk garis-garis. Sebab, Allah Ta’ala hanya mengharamkan kepada mereka darah yang mengalir dan yang tumpah, adapun yang tersisa pada urat-urat tidak diharamkan.” (al-Fatawa, 21/522)
Termasuk yang dikecualikan pula dari hukum haramnya darah adalah yang telah berbentuk menjadi hati dan limpa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
ُ “Telah dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad, 2/97).

Jika telah jelas diharamkannya darah yang mengalir, maka tidak boleh mengkonsumsinya. Adapun persangkaan bahwa saren atau didih adalah sebab tambahnya darah, maka ketahuilah bahwa Allah tidak menjadikan kesembuhan itu dengan sebab yang harom. Wabillahittaufiq.