Hukum Islam Memperbolehkan Pacaran?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Jumat, 31 Oktober 2014



A. Pendahuluan.
Siapa yang tidak pernah pacaran? Mungkin ada, namun bisa dipastikan hanya ada 1 di antara 100 orang. Tidak terkecuali penulis. hehe.. Apa sih itu pacaran? dan Bagaimana pacaran dalam pandangan hukum Islam?

B. Dalil-Dalil.
Surah an-Nur, ayat (2):
“Dan janganlah kamu menghampiri zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Hadis riwayat Baihaqi:
“Hindarilah zina sebab ia menimbulkan enam kesan buruk, tiga di dunia dan tiga di akhirat. Yang di dunia, zina akan menghilangkan kegembiraan, menyebabkan fakir dan mengurangi umur sedangkan keburukan di akhirat nanti, zina menyebabkan pelakunya diazab, dihisab secara ketat dan kekal di neraka.”
Surah al-Hujurat: ayat (13).
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
C. Pendapat Ulama.
Ibnu Qayyim Al-Juziyah dalam kitabnya Raudhatul Muhibbiinberpendapat bahwa pacaran itu tidak mutlak haram, tetapi boleh jika
mengutamakan akhirat
mencintai karena Allah
membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
menyimak kata-kata yang makruf
tidak menyentuh sang pacar
menjaga pandangan
seperti berpuasa
Ulama lainnya berpendapat bahwa pacaran itu lebih besar madhorotnya dibanding dengan manfaatnya. Karena banyak perzinahan terjadi berawal dari pacaran.
D. Analisa.
Perbedaan pendapat di atas terjadi jelas karena adanya perbedaan dalam pendefinisian istilah Pacaran. Setidaknya ada 3 jenis pacaran:

Pacaran sebagai upaya untuk saling mengenal calon pasangan yang pada saatnya akan sampai pada jenjang pernikahan demi untuk mencari ridlo Allah swt tanpa disertai maksiat sama sekali.
Pacaran sebagai upaya untuk saling mengenal calon pasangan yang pada saatnya akan sampai pada jenjang pernikahan namun dalam prosesnya disertai maksiat, dengan berkencan, berboncengan dsb.
Pacaran yang hanya dijadikan sebagai media untuk bermaksiat tanpa ada keinginan untuk serius ke jenjang pernikahan.
Diantara 3 jenis pacaran di atas, yang jenis pertama hukumnya adalah boleh. Namun yang kedua dan ketiga, karena disertai dengan maksiat, maka hukumnya haram.

Telaah lebih lanjut yang harus dikembangkan adalah tentang pacaran dengan melihat pada tingkatan usia. Hal ini perlu dilakukan dengan melihat faktor kepentingan mereka pada pacaran.

Usia remaja/ kurang dari 19 tahun. Pada usia ini, seorang remaja yang mayoritas masih duduk di bangku sekolah SMP atau pun SMA masih memerlukan pendidikan dengan konsentrasi tinggi, karena prestasi akademik seseorang sangat dipengaruhi pada jenjang ini. Pada usia ini, bisa dikatakan pacaran hanya akan membuat pendidikan seseorang menjadi terganggu. Selain itu, arah pacaran mereka masih jauh dari keseriusan untuk menikah. Sehingga biasanya hanya mereka lakukan untuk bersenang-senang saja yang pada akhirnya dapat menggangu pendidikan mereka. Oleh karena itu, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka berdasarkan metode syaddzudari’at, maka hukum berpacaran bagi anak SMP maupun SMA adalah haram.
Usia 20 tahun lebih. Usia ini rata-rata terjadi pada masa-masa kuliah. Pada masa ini, biasanya seseorang sudah mulai menentukan arah tujuan hidupnya dengan memilih jurusan bidang keilmuan yang akan menentukan karirnya ke depan, meskipun tidak menjamin. Pada masa-masa ini, pacaran bisa menjadi ajang ta’aruf agar bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya untuk sebuah komitmen yang berujung pada pernikahan. Semua itu tentu boleh asalkan tidak disertai dengan perbuatan maksiat.
Usia 25 tahun lebih. Bagi laki-laki maupun perempuan, usia 25 tahun adalah usia yang sudah matang untuk menikah. Jika pada usia ini masih belum memiliki pacar, maka dikhawatirkan akan sulit memperoleh jodoh – terlepas jodoh di tangan Allah, tapi Allah pasti akan lebih menghargai orang yang berusaha dari pada yang tidak. Sedangkan Nabi saw, mengajurkan jika kamu sudah ba’ah (mampu) secara finansial, umur dsb, maka segeralah menikah. Jika memang pacaran bisa menjadi ajang ta’aruf tanpa disertai maksiat sama sekali, maka pacaran pada usia ini hukumnya adalah sunah. Karena perantara hukumnya sama dengan yang diperantarai. Seperti wudlu hukumnya adalah wajib karena menjadi perantara keabsahan sebuah shalat yang wajib pula dilakukan.
E. Kesimpulan.
Pacaran yang boleh adalah:

yang dilakukan hanya karena mengharap ridlo Allah swt
tanpa disertai maksiat sama sekali
tidak mengganggu pendidikan dan
orientasinya hanyalah untuk menikah.
wallahua’lam.