Muntahan Manusia, Najiskah?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Kamis, 11 Desember 2014



Penulis kitab at Tashil, Badruddin Muhammad bin ‘Ali al Ba’li mengatakan, “Termasuk najis muntahan dari sesuatu yang dagingnya tidak halal dimakan”. Beliau menganggap muntahan tersebut najis karena muntahan kotor dan menjijikkan serta terjadinya perubahan pada bahan makanan sehingga menjadi busuk dan bau yang menjijikkan. Tekstual pernyataan beliau menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan muntahan yang masih berbentuk makanan ataupun muntahan yang sudah tidak berbentuk muntahan. Termasuk ‘sesuatu yang dagingnya tidak halal dimakan’ adalah manusia. Sehingga menurut beliau muntahan manusia itu najis dengan beberapa pertimbangan di atas.
Lain halnya dengan Syaukani dalam as Sail al Jarar 1/43, yang berpandangan bahwa muntahan itu tidak najis. Alasan beliau, hukum asal segala sesuatu adalah suci. Hukum asal ini tidaklah kita tinggalkan kecuali jika ada dalil valid yang menunjukkan kenajisannya dan dalil tersebut tidak berlawanan dengan dalil yang semisal atau dalil yang lebih unggul.
Pendapat as Syaukani ini sangatlah tepat karena tidak dijumpai dalil yang menunjukkan bahwa muntahan itu najis padahal kasus terkena muntahan adalah hal yang sangat familiar terjadi di masa Nabi (‘umum al balwa) terutama untuk ibu-ibu yang masih punya bayi atau anak kecil.
Akan tetapi muntahan hewan yang najis semisal anjing dan babi atau semisal itu adalah pendapat yang kuat.
Perkataan penulis kitab at Tashil di atas menunjukkan bahwa muntahan hewan yang halal dimakan itu tidak najis.
Makanan atau lainnya yang belum sampai ke lambung lantas keluar tidaklah disebut muntahan. Oleh karena itu, jelas tidak termasuk najis [Fiqh ad Dalil karya Abdullah al Fauzan 1/65-66].
Walhasil, muntahan manusia kenajisannya diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang lebih kuat muntahan manusia tidak najis sebagaimana yang dikatakan oleh as Syaukani-rahimahullahu ta’ala-.