Hukum Qadha Shalat

Diposting oleh Mutiarahikmah on Senin, 07 Januari 2013



Keberadaan wajibnya hukum qadha shalat terdapat perbedaan pendapat. Pandangan yang mengatakan tidak wajib qadha adalah pendapat Imam Ibn Taymiyah dan Ibn Hazmin. Mereka berhujjah bahwa Islam telah mewajibkan shalat dan tidak boleh menangguhkannya walaupun sakit, musafir, atau dalam peperangan; ditegaskan oleh Imam Ibn Taymiyah tidak boleh mengqadha solat yang tertinggal, cukup dengan taubat dan shalat sunat yang banyak untuk menggantikannya.

Sedangkan semua Imam Mazhab memasukkan hal ini sebagai perkara wajib. Mereka berhujjah bahwa jika qadha ini diwajibkan atas orang yang lupa dan tertidur, yang keduanya di maafkan, maka kewajibannya atas orang yang tidak dimaafkan dan orang yang durhaka jauh lebih layak.


MENYELAMI PERBEDAAN

Perlu diperhatikan, bahwa tulisan ini bukan untuk menghakimi perbedaan kedua pendapat tersebut. Penulis menganjurkan kepada mereka yang mampu untuk tidak pernah meninggalkan shalat ada', sehingga tidak akan pernah muncul perkara qadha shalat. Hukum qadha shalat dimunculkan oleh para Imam mazhab diperuntukkan bagi mereka yang pernah meninggalkan shalat ada'. Oleh karena itu, tulisan ini diperuntukkan bagi mereka yang pernah meninggalkan shalat ada' dan mau berhukum kepada fiqh Imam mazhab tersebut.

Yang dimaksud dengan shalat qadha ialah melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan, untuk menggantikan shalat wajib harian yang tertinggal. Sedangkan shalat ada' ialah melakukan shalat wajib harian tepat menurut waktu yang telah ditentukan.
Pengertian qadha hanya berlaku bagi shalat-shalat harian (5 waktu).

Sedangkan untuk shalat wajib lainnya seperti shalat Jum'at, Ied dan sebagainya, tidak ada kewajiban untuk meng-qadhanya saat tertinggal, kecuali untuk shalat gerhana matahari dan gerhana bulan total yang diharuskan untuk melakukannya di luar waktu (qadha gerhana total). Saat melakukannya tidak diharuskan dengan niat qadha, cukup dengan niat melakukan shalat.


HUKUM BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT

Allah SWT berfirman: "Maka akan datang generasi sesudah mereka yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu maka mereka itu akan bertemu dengan kesesatan" (QS. Maryam : 59)

Al Quran menggambarkan dialog antara orang-orang penghuni surga dengan penghuni neraka Saqar:

"Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka Saqar?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan" (QS. al-Muddatstsir :42-46).

Rasulullah SAW bersabda, riwayat dari Muaz bin Jabal: "Janganlah engkau tinggalkan shalat dengan sengaja karena orang yang meninggalkannya dengan sengaja akan terlepas dari lindungan Allah SWT" (HR. Thabrani).

Dari Abdullah bin Umar RA, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Siapa-siapa yang menjaga shalat maka shalat itu akan menjadi cahaya, tanda bukti, dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Siapa-siapa yang tidak memeliharanya, maka shalat itu tidak akan menjadi cahaya, tanda bukti, dan keselamatan baginya, dan kelak pada hari kiamat ia akan bersama Qarun, Fir'aun, Haman, Ubay bin Khalaf" (HR. Ahmad).

Ibnu Abbas berkata: "Siapa-siapa yang meninggalkan shalat sesungguhnya ia telah kafir".

Dan Ibnu Mas'ud berkata : "Siapa-siapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya". 

Jabir bin Abdullah berkata: "Siapa-siapa yang tidak shalat ia adalah kafir".

Keterangan-keterangan di atas menjelaskan beratnya hukum bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Bila mereka meninggalkan shalat karena melawan atau meyakini bahwa shalat tidak wajib, mereka dihukum kafir. Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan shalat karena malas atau lalai, maka mereka dihukum fasik.

Terlepas dari sanksi hukum yang ditimpakan kepada mereka baik didunia maupun di akhirat, shalat yang ditinggalkan karena tidak ada uzur, wajib diqadha.


KEWAJIBAN QADHA

Hadis riwayat dari Abi Qatadah dia berkata, dilaporkan kepada Nabi SAW orang yang tertidur sehingga terlewat waktu shalat, Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya tidur tidak termasuk mengabaikan shalat, hanya saja lalai ketika sadar. Bila salah seorang dari kamu lupa shalat, atau tertidur maka shalat lah bila dia ingat" (HR. Turmuzi).

Dari Anas ra, Nabi saw bersabda, "Barangsiapa lupa mengerjakan shalat, hendaklah mengerjakannya bila telah ingat, dan selain itu tidak ada kewajiban kaffarat yang lain." (HR al-Khamsah/lima imam hadis).

Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, "Bila seseorang di antaramu tertidur hingga meninggalkan shalat atau lupa mengerjakannya, hendaknya ia mengerjakannya jika telah ingat, karena Allah berfirman, 'dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku'." (Thaha: 14).

Dari Abu Qatadah ra, "Pada suatu malam kami bepergian bersama Rasulullah saw, salah seorang di antara kami berkata, 'Tidakkah lebih baik kita beristirahat ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Saya khawatir kalian akan tertidur sehingga meninggalkan shalat'. Bilal berkata, 'Saya akan membangunkan kalian,' Kemudian tidurlah semuanya. Sementara itu, Bilal menyandarkan punggungnya pada kendaraannya dan nampaknya ia tidak kuat menahan kantuk hingga akhirnya ia tertidur. Kemudian Nabi saw bangun di saat matahari telah naik tinggi, maka beliau bersabda, 'Hai Bilal mana janjimu?' 'Sungguh, saya tak pernah mengalami seperti ini', jawab Bilal. Nabi bersabda lagi, 'Allah mencabut roh-roh kalian kapan saja Dia mau, Dia akan mengembalikannya kepadamu kapan saja Dia mau. Hai Bilal, berdirilah dan serukanlah azan shalat untuk orang banyak'. Kemudian, beliau berwudhu. Ketika matahari telah tinggi dan bersinar terang beliau shalat dengan berjama'ah bersama mereka." (HR al-Khamsah, dan redaksi ini adalah redaksi Bukhari dan Nasa'i). Menurut riwayat Ahmad orang-orang berkata, "Ya Rasulullah, tidakkah sebaiknya shalat ini kita kerjakan besok pada waktunya?" Rasul menjawab, "Bukankah Allah telah melarangmu melakukan riba lalu akan menerimanya darimu?"

Bagi mereka yang shalatnya tertinggal karena lupa atau tertidur, tidak dianggap berdosa setelah mereka mengqadha' kewajiban-kewajiban tadi, karena saat mereka lupa kewajibannya ditangguhkan sampai mereka ingat kembali atau dengan hilangnya alasan-alasan tadi.

Sedangkan bagi mereka yang meninggalkan shalat dalam keadaan sadar (sengaja), mereka harus bertaubat dan harus membayar khaffarat dengan mengqadha semua shalat yang ditinggalkannya. 

Kewajiban qadha ditetapkan kepada mereka yang memiliki kewajiban ada', dan kewajiban qadha jatuh dengan jatuhnya kewajiban ada'. Kurang warasnya akal, anak-anak (mereka yang belum menanggung kewajiban), kufur, atau karena keluarnya darah haid, nifas (sehabis melahirkan), pada semua keadaan tersebut tidak wajib qadha (karena kewajiban ada' terangkat dari mereka), sampai kewajiban ada' terpikulkan kembali kepada mereka (dengan pulihnya keadaan).

Tiga perkara yang menyebabkan hilangnya kewajiban qadha:
1. Melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya.
2. Meninggalnya seseorang sebelum masuknya waktu sholat.
3. Kufur, kecuali bagi yang murtad kemudian bertaubat kembali.


CARA MELAKUKAN QADHA SHALAT

Mazhab Syafii berpendapat bahwa meninggalkan shalat dengan sengaja tanpa uzur, WAJIB diqadha dengan segera, tidak boleh ditempokan kecuali sedang melakukan kewajiban yang lain, seperti sedang mendengarkan khutbah Jum'at, mencari nafkah dan lain-lain, maka boleh ditempokan sampai menyelesaikan kewajiban. Adapun shalat yang ditinggalkan karena uzur seperti sakit, wajib diqadha walaupun tidak dikerjakan dengan segera.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan WAJIB diqadha dengan segera, bahkan lebik baik mengqadha shalat daripada menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sunat, terkecuali shalat-shalat sunat Rawatib, shalat Dhuha, shalat Tasbih, Tahiyatul Masjid, mereka itu boleh dikerjakan namun tidak dapat dijadikan sebagai pengganti shalat-shalat wajib yang ditinggalkan, hanya saja dengan sebab mengerjakan shalat-shalat sunat yang disebutkan boleh menempokan untuk mengqadha shalat yang ditinggalkan.

Menurut mazhab Maliki, HARAM melakukan shalat-shalat sunat bagi orang yang masih ada shalat wajibnya yang belum di qadha, kecuali shalat Tahajjud dan shalat Witir. Adapun shalat Tarawih bagi orang yang belum mengqadha shalatnya yang tertinggal, di satu sisi tetap berpahala dan di sisi lain dia berdosa disebabkan melambatkan qadha shalat wajib yang ditinggalkan.

Mazhab Hambali berpendapat bahwa HARAM hukumnya melaksanakan shalat sunat sebelum mengqadha shalat wajib yang ditinggalkan. Jika dikerjakan shalat sunat seperti shalat sunat mutlak maka hukumnya haram. Adapun shalat sunat Rawatib, Witir boleh dia kerjakan, namun sebaiknya diutamakan shalat qadha.

Barangsiapa tertinggal mengerjakan shalat, maka wajib mengqadhanya sesuai dengan cara dan sifat-sifat shalat yang tertinggal itu. Jika seorang musafir yang menempuh jarak qashar sehingga tertinggal shalat yang empat rakaat, ia mengqadhanya dua rakaat, sekalipun dikerjakan di rumah. Tetapi, menurut ulama Syafi'i dan Hanbali, dalam keadaan terakhir ini, ia mengqadhanya empat rakaat, sebab hukum asal shalat adalah itmam (menyempurnakan shalat empat rakaat). Karena itu, ketika di rumah, shalat dengan itmamlah yang harus dikerjakan. Sebaliknya, jika seorang mukmin tidak dalam perjalanan (di rumah) tertinggal shalat yang empat rakaat, maka ia harus mengqadhanya empat rakaat pula sekalipun dikerjakan dalam perjalanan. Demikian juga, jika ia tertinggal shalat sirriyyah (yang bacaannya pelan) seperti Dzuhur, maka di waktu mengqadhanya harus secara sirri pula, sekalipun dikerjakan di malam hari. Sebalikmya, jika ia tertinggal shalat Jahrriyyah (yang bacaannya keras) seperti shalat Subuh, maka mengqadhanya pun harus keras pula, sekalipun dikerjakan di siang hari. Akan tetapi, menurut ulama Syafi'i yang menjadi patokan adalah waktu di mana qadha itu dilaksanakan. Jadi, seandainya qadha itu dilaksanakan pada malam hari, maka bacaannya harus dikeraskan, sekalipun yang diqadha itu shalat sirriyyah. Dan sebaliknya, jika di siang hari maka bacaan shalat harus dipelankan walaupun yang diqadhanya itu shalat jahriyyah.

Dalam mengqadha shalat yang tertinggal (shalat faa'itah) hendaknya diperhatikan tertib urutannya satu dengan yang lain. Qadha shalat Subuh dikerjakan sebelum qadha Dzuhur, dan qadha Dzuhur sebelum shalat Ashar. Di samping itu, hendaklah diperhatikan pula urutan shalat faa'itah dengan shalat pada waktunya (shalat haadhirah). Maka, apabila shalat faa'itah itu kurang dari lima waktu atau hanya lima waktu, shalat haadhirah tidak boleh dikerjakan dulu sebelum shalat faa'itah dikerjakan dengan tertib, selama tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat haadhirah.

Dari Ibnu Mas'ud berkata, "Ketika Perang Khandaq kaum musyrikin terlalu menyibukkan Rasulullah sampai-sampai empat shalat tertinggal, dan waktu pun telah larut malam sejalan dengan kehendak Allah. Kemudian, beliau menyuruh Bilal untuk menyerukan azan. Bilal pun menyerukannya lalu membacakan iqamah, maka beliau shalat Dzuhur, lalu berdiri lagi dan mengerjakan Ashar, berdiri lagi mengerjakan shalat Maghrib, kemudian berdiri lagi untuk mengerjakan shalat Isya'." (HR Tirmidzi dan Nasa'i. Peristiwa ini terjadi sebelum ada perintah shalat Khauf).

Ulama Hanafi berpendapat, jika seseorang setelah mengerjakan shalat haadhirah teringat akan shalat faa'itah yang belum dikerjakannya, batallah shalat haadhirahnya. Orang itu harus mengerjakan shalat faa'itah dulu dan setelah itu mengulangi shalat haadhirah. Namun, menurut ulama yang lain, ia tidak harus mengulangi shalat haadhirah. Sedang menurut ulama Maliki, sunnah mengulangi lagi shalat haadhirah setelah mengerjakan faa'itah.

Jika shalat faa'itah itu enam waktu atau lebih, maka dalam mengerjakannya tidak harus tertib, boleh dikerjakan sebelum shalat haadhirah ataupun sesudahnya.

Mengqadha shalat boleh dilakukan setiap saat, kecuali pada tiga waktu yang dilarang shalat, yaitu ketika matahari terbit, matahari berada tepat di tengah langit (waktu istiwa'), dan ketika matahari terbenam. Juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa shalat yang tertinggal, sebab pengertian qadha adalah melakukan shalat yang telah lewat waktunya.

Mengqadha shalat wajib dilakukan dengan segera, baik shalat itu tertinggal karena sesuatu uzur yang tidak menggugurkan kewajibannya ataupun tanpa uzur sama sekali, dan qadha ini tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada halangan mendesak seperti bekerja untuk mencari rezeki dan menuntut ilmu yang wajib 'ain baginya, begitu juga makan dan tidur. 

Barangsiapa tertinggal sejumlah shalat, tetapi ia lupa atau tidak tahu persis berapa jumlahnya, maka ia harus mengerjakan qadha sampai merasa yakin bahwa kewajibannya telah terpenuhi.


Wallahua'lam