Agar Qolbu semakin Baik

Diposting oleh Mutiarahikmah on Sabtu, 13 Oktober 2012


Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan zakatul qalb, yang berarti tumbuhnya hati  dan bertambah dalam kebaikan sehingga sempurna.
Perbuatan keji dan maksiat dalam qalbu ibarat kotoran-kotoran dalam jasmani. Jika jasmani bersih dari berbagai kotoran itu, maka akan murni kekuatannya, terlepas dari gangguan, sehingga akan beramal tanpa ada hambatan. Maka, berkembanglah jasmani itu.
Demikian pula qalbu. Jika lepas dari dosa-dosa dengan taubat, maka akan murni kekuatan dan kemauannya untuk melakukan kebaikan dan merasa aman dari segala daya tarik menuju kerusakan. Maka berkembanglah qalbu itu, tumbuh dan semakin kuat. Akan tetapi, tentunya tiada jalan menuju ke arah tersebut kecuali dengan mensucikan qalbu dari perbuatan keji dan maksiat sebagaimana Allah firmankan:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Dalam ayat tersebut, Allah jadikan zakatul qalb setelah ia menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman setelah menyebutkan tentang haramnya zina, menuduh menuduh orang lain dengan zina, dan menikahi pezina:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21)
Ini menunjukkan bahwa zakatul qalb akan dicapai dengan menjauhi dosa-dosa. Dalam ayat lain, Allah berfirman:
“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘kembali (saja)lah’, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur: 28)
yakni mereka dianjurkan untuk kembali agar tidak melihat sesuatu yang tuan rumah tidak menyukainya jika hal tersebut diketahui orang lain. Dan jika anjuran ini dilakukan, akan menjadikan qalbu semakin bertambah baik.
Jadi, zakatul qalb tergantung pada thaharatul qalb (kesucian qalbu), yakni kesucian dari berbagai bentuk kemaksiatan dan dosa. Al Qur’an sungguh telah memerintahkan yang demikian dalam firman-Nya:
“Dan pakaianmu bersihkanlah” (Al-Muddatstsir: 4)
Mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan, maksud dari pakaian dalam ayat ini adalah qalbu. Dan yang dimaksud mensucikannya adalah memperbaiki amalan-amalan dan akhlaknya. Ibnu ‘Abbas menjelaskan: “Sucikanlah dari dosa dan dari apa yang diperbolehkan semasa jaman jahiliyyah”. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Yakni, perbaikilah akhlakmu.”
Sebagian ahli tafsir menafsirkan sebagaimana tekstual ayat itu yakni sucikan pakaianmu dari najis yang tidak dibolehkan saat shalat.
Sebenarnya, ayat tersebut mencakup semua makna di atas. Karena, kesucian pakaian diperoleh dari hasil yang baik pula, dan itu merupakan kesempurnaan kesucian qalbu.
Qalbu yang suci –karena kesempuraan kehidupan dan cahayanya, serta bebasnya dari kotoran dan kejelekan-, tidak akan pernah merasa kenyang dari Al Qur’an. Tidak akan mencari gizi kecuali darinya dan tidak akan berobat kecuali dengannya. ‘Utsman bin ‘Affan mengatakan: “Seandainya qalbu kita suci, maka tidak akan kenyang dari Al Qur’an.”
Berbeda dengan qalbu yang tidak Allah sucikan. Ia akan mencari gizi dari sesuatu yang tidak cocok dengannya sesuai dengan kotoran/ najis yang melekat padanya. Karena, qalbu yang najis bagaikan badan yang sakit, tidak merasa cocok atau nyaman dengan sesuatu yang cocok bagi orang yang sehat.
Akibat buruk bagi mereka yang qalbunya tidak suci, dipastikan ia akan mendapatkan kehinaan di dunia dan adzab di akhirat sesuai dengan kenajisan yang ada padanya dan kejelekannya, sebagaimana firman Allah:
“Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan; ‘kami telah beriman’, padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kamu) dengan kekafirannya pula. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Al-Maidah: 61)
Oleh karenanya, Allah haramkan jannah bagi mereka yang dalam qalbunya terdapat najis dan kotoran. Dan mereka tidak akan memasuki jannah kecuali setelah suci dan baik, karena jannah itu adalah rumah bagi orang-orang yang baik. Oleh karenanya dikatakan kepada mereka:
“Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya.” (Az-Zumar: 73)
Yakni masuklah ke jannah dengan sebab kebaikan kalian. Demikian pula Allah berikan kabar gembira kepada orang-orang yang semacam itu ketika mati, sebagaimana dalam firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam kedaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): ‘salaamun ‘alaikum (selamat sejahtera bagimu, red), masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan’.”  (An-Nahl: 32)
Jadi, jannah tidak akan dimasuki oleh orang yang jelek ataupun orang yang terdapat padanya kejelekan. Maka barangsiapa yang telah suci di dunia dan bertemu Allah dalam keadaan suci dari kotoran/ najis, dia akan masuk ke dalamnya tanpa penghalang. Dan barangsiapa yang belum suci di dunia, jika kenajisannya itu pada asal orangnya seperti orang kafir, maka tidak akan masuk jannah sama sekali. Namun jika najisnya itu adalah najis yang datang yakni bukan pada asal orangnya, maka ia akan masuk jannah setelah disucikan dari najis itu di neraka kemudian keluar darinya.
Sampai-sampai, orang yang beriman jika telah melewati jalan di atas jahannam, mereka akan ditahan di qantharah (jembatan) antara jannah dan neraka hingga mereka dibersihkan dan disucikan dari sisa-sisa kotoran yang menjadikan tertahan dari jannah dan tidak menyampaikan ke dalam neraka. Jika telah bersih dan suci, barulah diijinkan masuk ke dalam jannah.
[dirangkum dari penjelasan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahafan]