Tata cara Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha Beserta Hukumnya

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 07 Agustus 2013


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dua hari raya menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama, bahwa ia sunnah muakkad. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Pendapat kedua, fardu kifayah. Ini mazhab Imam Ahmad rahimahullah
Pendapat ketiga, Diwajibkan kepada seluruh orang Islam. Diwajibkan kepada seluruh laki-laki. Berdosa orang yang meninggalkannya tanpa ada uzur. Ini mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullah dan riwayat dari Imam Ahmad. Di antara yang memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.
Silahkan ihat, Al-Majmu, 5/5. Al-Mughni, 3/253. Al-Inshaf, 5/316. Al-Ikhtiyarat, hal. 82.
Pendapat ketiga berdalil dengan berbagai dalil diantaranya,
1.Firman Allah Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ  (سورة الكوثر: 1-2)
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah." (QS. Al-Kautsar: 1-2)
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni mengatakan, "Yang terkenal dalam tafsir (tentang ayat ini) maksudnya adalah shalat Id."
Sebagian ulama berpendapat bahwa maksud ayat tadi adalah keumuman shalat. Bukan khusus shalat Id. Arti ayat adalah perintah untuk mengesakan Allah Ta’ala dengan shalat dan berkorban.
Maka hal itu seperti dalam firman-Nya,
"Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An’am: 162)
Yang memilih makna ayat ini adalah Ibnu Jarir. 12/724 dan Ibnu Katsir, 8/502. Dengan demikian, maka ayat ini tidak dapat dijadikan dalil wajibnya shalat Id.
2. Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan keluar (untuk shalat), bahkan beliau memerintahkan juga para wanita untuk keluar (untuk shalat).
Diriwayatkan oleh Bukhari (324) dan Muslim (890) dari Ummu Atiyyah radhiallahu anha, dia berkata,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
"Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk keluar di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Baik wanita yang baru balig, wanita sedang haid dan wanita perawan. Sementara orang yang haid dipisahkan dari (tempat) shalat. Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam." Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada di antara kami yang tidak mempunyai jilbab." Beliau mengatakan, "Sebaiknya saudara perempuannya memberinya jilbab."
Kata 'Al-Awatiq' adalah jamak dari kata ‘Atiq' yaitu wanita yang telah atau hampir balig atau layak untuk menikah.
Kata 'Dzawatil Khudur’ adalah para perawan
Berdalil dengan hadits ini tentang kewajiban shalat Id, lebih kuat dari ayat tadi.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Majmu Al-Fatawa, 16/214 mengatakan,
"Pendapat saya bahwa shalat Id itu fardu ain. Tidak dibolehkan bagi laki-laki meninggalkannya, mereka harus hadir. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau memerintahkan para wanita yang baru balig dan para gadis untuk keluar shalat Id. Bahkan beliau memerintahkan wanita haid untuk keluar (ke tempat shalat Id) akan tetapi dipisahkan dari tempat shalat. Hal ini semakin menguatkan kewajibannya."
Beliau juga mengatakan, 16/217:
"Yang terkuat sesuai dalil yang ada bahwa shalat Id adalah fardu ain. Hal itu diwajibkan kepada seluruh laki-laki untuk menghadiri shalat Id, kecuali yang mempunyai uzur."
Syekh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu Al-Fatawa, 13/7 mengomentari pendapat yang mengatakan (shalat Id) fardu ain, "Pendapat ini yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada dan lebih mendekati kebenaran.".
.                                                                     Dalil Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha
Dalil mengerjakan shalat dua hari raya adalah firman Allah swt.:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَر. (الكوثر:3)
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 3)
Dan hadits Nabi Muhammad saw.:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ (متفق عليه)
“Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan.” (Muttafaq ‘Alaih)
Shalat hari raya adalah shalat yang berjumlah du’a raka’at, dan sunah dengan berjama’ah, serta dikerjakan sebelum khutbah. Akan tetapi, bagi orang yang mengerjakan ibadah haji disunahkan mengerjakannya tanpa berjama’ah. Bagi orang yang mengerjakannya tanpa berjama’ah tidak disunahkan melakukan khutbah setelahnya. Adapun tempat melaksanakan shalat ‘idain adalah masjid.

                                                        Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha
Pelaksanaan shalat hari raya dimulai saat matahari terbit sampai dengan tergelincir, dan yang paling utama adalah mengerjakannya ketika matahari sudah naik kira-kira satu tombak dalam pandangan mata.

                                                                          Kesunahan di Hari Raya
Kesunahan yang dapat dilakukan pada saat hari raya adalah:
1.         Melantunkan takbir
Kesunahan ini dimulai sejak terbenamnya matahari hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, dan berakhir ketika imam memulai shalat ‘id. Hanya saja, pada hari raya ‘Idul Adha tetap disunahkan melantunkannya setiap selesai mengerjakan shalat fardlu, shalat rawatib, shalat sunah mutlak, dan shalat janazah. Kesunahan ini berlangsung sampai waktu Ashar tanggal tiga belas Dzulhijjah.
Catatan:
a.         Takbir yang disunahkan pada setiap selesai shalat disebut takbir muqayyad.
b.         Takbir yang disunahkan tidak pada setiap shalat disebut takbir mursal.
Adapun bacaan takbir yang dimaksud adalah:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ، وَاللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كبيراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهْ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ.
2.         Mandi dengan niat untuk melaksanakan shalat hari raya:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِعِيْدِ الْفِطْرِ / اْلأَضْحٰى سُنَّةً ِللهِ تَعَالٰى.
3.         Berangkat pagi-pagi, kecuali bagi imam disunahkan berangkat ketika shalat hendak dilaksanakan.
4.         Berhias diri dengan memakai parfum, pakaian yang bagus, memotong kuku, serta menghilangkan bau yang tidak sedap.
5.         Menempuh jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.
6.         Makan terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ‘Idul Fitri, sedangkan pada ‘Idul Adha, sunah melakukan shalat terlebih dahulu.
7.         Tahniah (ungkapan suka cita) atas datangnya hari raya disertai dengan berjabat tangan. Seperti lafadh:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْك
8.         Menjawab ucapan suka cita (tahni’ah) dengan bacaan:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنْكُمْ، أَحْيَاكُمُ اللهُ ِلأَمْثَالِهِ، كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ.

                                  Teknis Pelaksanaan Shalat dan Khutbah Hari Raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha
1.         Ketika imam sampai di masjid, muraqi segera berdiri untuk memberi aba-aba dimulainya shalat, yakni dengan lafadh:
صَلُّوْا سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ / اْلأَضْحٰى رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةً رَحِمَكُمُ اللهُ.
2.         Imam segera menuju mihrab (tempat imam), lalu niat shalat disertai takbiratul ihram. Niatnya adalah:
أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ الْفِطْرِ / اْلأَضْحٰى رَكْعَتَيْنِِ ِللهِ تَعَالٰى.
3.         Setelah takbiratul ihram, dilanjutkan membaca do’a iftitah, kemudian melakukan takbir sebanyak tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at kedua. Lalu, membaca tasbih di sela-sela takbir:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَلاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
4.         Setelah selesai melakukan takbir ketujuh, dilanjutkan membaca ta’awwudz, surat Al Fatihah dan surat-surat yang disunahkan; seperti surat Qaf atau Al A’la pada raka’at pertama, dan surat Al Qamar atau surat Al Ghasyiyah pada raka’at kedua.
5.         Selesai melaksanakan shalat, muraqi segera berdiri untuk memberi aba-aba dimulainya khutbah, disusul dengan membaca shalawat sambil menyerahkan tongkat. Redaksinya semisal:
مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، إِعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذاَ، يَوْمُ عِيْدِ الْفِطْرِ / اْلأَضْحٰى، وَيَوْمُ السُّرُوْرِ، وَيَوْمُ الْمَغْفُوْر، يَوْمُ أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ عَلَى الْمِنْبَرِ، أَنْصِتُوْا أَثَابَكُمُ اللهُ، وَاسْمَعُوْا أَجَارَكُمُ اللهُ، وَأَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ. اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ، اللّـٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.
6.         Setelah itu, khotib menuju mimbar khutbah.
7.         Kemudian muraqi membaca do’a:
اَللّـٰهُمَّ قَوِّ اْلإِسْـلاَمَ، مِنَ الْمُسْـلِمِيْنَ وَالْمُسْـلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنِ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَيَسِّرْهُمْ عَلىٰ إِقَامَةِ الدِّيْنِ، وَاخْتِمْ لَنَا مِنْكَ بِالْخَيْرِ، وَيَاخَيْرَ النَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
8.         Selesai do’a, khotib mengucapkan salam kemudian duduk.
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
9.         Lalu, muraqi membaca takbir sebanyak tiga kali:
اَللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أََكْبَرْ، لآَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أَكْبَرْ وَ ِللهِ الْحَمْد 3 ×
10.       Kemudian, khotib melaksanakan khutbah pertama. Selesai khutbah, khotib duduk sejenak, disusul muraqi membaca shalawat:
اَللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.
11.       Selesai duduk, khotib melanjutkan dengan khutbah kedua sampai selesai.