Apakah Air Mani itu Najis atau tidak?

Diposting oleh Mutiarahikmah on Jumat, 20 Desember 2013


Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah
{1} عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَذْهَبُ فَيُصَلِّي فِيهِ }. رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan akar rumput idzkir[1], lalu ia pergi, kemudian ia shalat dengan pakaian itu. (HR Jama’ah , kecuali Bukhari, Nailur Authar No. 41 )
{2} وَلِأَحْمَدَ { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْلُتُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِهِ بِعِرْقٍ الْإِذْخِرِ ، ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ وَيَحُتُّهُ مِنْ ثَوْبِهِ يَابِسًا ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ }
Dan bagi Ahmad (dikatakan) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menghilangkan mani dari pakaiannya dengan akar idzkhir, kemudian ia shalat dengan pakaian itu dan mengerik mani dari pakaiannya dalam keadaaan kering, lalu ia shalat dengan pakaian itu.
{3} وَفِي لَفْظٍ مُتَّفَقٍ عَلَيْهِ . { كُنْت أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلَاةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِي ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ }
Dan dalam lafadz hadist yang di riwayatkan Bukhari, Muslim dan Ahmad, “Aku pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam”, lalu ia keluar untuk shalat, sedang bekas cuciannya itu masih nampak pada bajunya, yaitu basah-basahnya air itu.
{4} وَلِلدَّارَقُطْنِيِّ عَنْهَا : { كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إذَا كَانَ رَطْبًا }
Dan bagi Daraquthni, dari ‘Aisyah : Aku biasa mengerik mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mencucinya kalau basah.
{5} وَعَنْ إِسْحَاقَ بْنِ يُوسُفَ قَالَ : حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَطَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : { سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ، فَقَالَ : إنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُخَاطِ وَالْبُصَاقِ وَإِنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ بِإِذْخِرَةٍ } . رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَقَالَ : لَمْ يَرْفَعْهُ غَيْرُ إِسْحَاقَ الْأَزْرَقِ عَنْ شَرِيكٍ
Dari Ishaq bin Yusuf, ia berkata: Telah memberitahu kepadaku, Syarik, dari Muhammad bin Abdirrahman, dari Atha dari Ibnu Abbas ra, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab : “Sebenarnya mani itu seperti dahak/lendir dan air liur, karena itu cukup bagimu mengusapnya dengan kain atau rumput idzkhir” HR Riwayat Daraquthni dan ia berkata: Tidak ada yang memarfu’kan hadist ini selain Ishaq al Azraq dari Syarik. (Nailur Authar No. 42)
Penjelasan:
Ada dua pendapat di kalangan ulama salaf mengenai hal “Apakah najis air mani itu?”
Pertama
وَبِهَذَا الْحَدِيثِ اسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِنَجَاسَةِ الْمَنِيِّ ، وَهُمْ الْهَادَوِيَّةُ ، وَالْحَنَفِيَّةُ ، وَمَالِكٌ وَرِوَايَةً عَنْ أَحْمَدَ قَالُوا : لِأَنَّ الْغَسْلَ لَا يَكُونُ إلَّا عَنْ نَجَسٍ
Dengan hadist-hadist tersebut dijadikannya dalil “Kenajisannya Mani”, mereka adalah Ulama al Hadawiyyah (syi’ah), Hanafiyyah, dan Malik dan salah satu dari pendapat Imam Ahmad. Mereka mengatakan : “Karena cucian itu hanyalah yang najis”.[2]
Hal ini juga berdasarkan kias atas yang lainnya seperti kotoran dari tubuh manusia, diataranya air kencing, air besar, karena itu sisa dari sisa makanan manusia. Juga berdasarkan alsan bahwa hadas-hadas yang di wajibkan dicuci itu adalah merupakan najis, dan mani termasuk kedalam najis itu, dank arena mani keluar dari saluran kencing, maka harus dicuci dengan air seperti najis-najis lainnya.
Mereka menta’wilkan hadist berikut
كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” adalah mashdar ta’kid (yang menyungguhkan pengertian fi’il) yang menegaskan bahwa ‘Aisyah betul-betul pernah menggosoknya.
Kedua
Ulama yang berpendapat bahwa mani adalah tidak najis adalah ulama-ulama Syafi’iyah, mereka berkata :
وَقَالَتْ الشَّافِعِيَّةُ: الْمَنِيُّ طَاهِرٌ، وَاسْتَدَلُّوا عَلَى طَهَارَتِهِ بِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ قَالُوا : وَأَحَادِيثُ غَسْلِهِ مَحْمُولَةٌ عَلَى النَّدْبِ ، وَلَيْسَ الْغَسْلُ دَلِيلُ النَّجَاسَةِ
Mani adalah Suci, mereka mengemukakan dalil-dali yang menunjukan kesucian mani dengan hadist-hadist tersebut diatas, dengan mengatakan Bahwa hadist-hadist yang menjeleskan tentang pencucian mani itu hanyalah terkandung hukum sunnah mencucinya saja dan cucian itu bukan menunjukan kenajisan-kenajisan mani itu.[3]
Terkadang pencucian itu hanya karena sucinya dan sekerdar menghilangkan daki dan semacamnya. Mereka juga mengatakan bahwa penyamaan mani dengan dahak dan air liur itu [hadist no 5], menunjukan kesucian mani juga.
Kesimpulan:
Demikanlah yang dapat saya sampaikan mengenai hal yang terkandung dalam subjek awal tulisan ini. Bahwa ulama salaf telah berbeda pendapat menganai hal ini dan ikhtilaf ini terjadi karena perbedaan pemahaman tentang hadist-hadist yang telah di uraikan.
Referensi:
  • Nailur Authar syarah Al Muntaqo Syaikhul Ibnu Taimiyyah, oleh Imam Asy Syaukani
  • Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, oleh Imam As Shon’ani