Sebuah Renungan Bagi Kaum Wanita

Diposting oleh Mutiarahikmah on Rabu, 27 Maret 2013



Bismillah..
Semoga bisa diambil manfaatnya oleh
saudari-saudari muslimahku..
(KISAH)
Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang
akan menjemputku di masjid ini seusai ashar..
seorang akhwat datang, tersenyum dan
duduk di sampingku, mengucapkan salam,
sambil berkenalan dan sampai pula pada
pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”.
“Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat
itu bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku
jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab
karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan
alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba
bertanya. “Nunggu suami” jawabnya. Aku
melihat ke samping kirinya, sebuah tas laptop
dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa
kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-
tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita
karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk
bertanya
“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan
apa yang meyakiniku bahwa mbak ini
seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-
akhwat seperti ini kebanyakan hanya
mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“ Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi
tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah
yang aneh menurutku, wajah yang bersinar
dengan ketulusan hati.
“ Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “Karena
inilah salah satu cara yang bisa membuat
saya lebih hormat pada suami ” jawabnya
tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya?
Heran. Lagi-lagi dia hanya trsenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya
berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga
buat kita para wanita yang Insya Allah akan
didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai
akhirat.
“ Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu
saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya
7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai
penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di
siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan
kemarinlah untuk pertama kalinya saya
menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru
menjemput saya dari kantor, hari ini lembur,
biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya
capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk
angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya
saya juga lagi pusing . Suami minta
diambilkan air minum, tapi saya malah
berkata, “Abi, umi pusing nih, ambil sendiri
lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa
sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan
cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing
pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya
melihat suami saya tidur dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua piring
sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan
mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat
lagi semua baju kotor telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua
ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam?
Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap
abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi
rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar
juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya
pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas
sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi
demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat
atas perkataan terakhir saya pada suami tadi.
Hanya disuruh mengambilkan air minum saja,
saya membantahnya. Air mata ini menetes,
betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar
rumah, tidak memperhatikan hak suami
saya. ”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita
dengan semangatnya, membuat hati ini
merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air
mata yang di usapnya.
“ Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat
berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar
600-700ribu/bulan. 10x lipat dari gaji saya.
Dan malam itu saya benar-benar merasa
durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang
saya miliki, saya merasa tak perlu meminta
nafkah pada suami, meskipun suami selalu
memberikan hasil jualannya itu pada saya,
dan setiap kali memberikan hasil jualannya ,
ia selalu berkata “Umi, ini ada titipan rezeki
dari Allah. Diambil ya. Buat keperluan kita.
Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-
mudahan umi ridho ”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan
dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini
membuat saya sombong pada nafkah yang
diberikan suami saya ”, lanjutnya.
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan
untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan
dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai
nafkah yang diberikan suami. Wanita itu
begitu susah menjaga harta, dan karena
harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan
gampang menyepelekan suami. ” Lanjutnya
lagi, tak memberikan kesempatan bagiku
untuk berbicara.
“ Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke
rumah orang tua, dan menceritakan niat saya
ini. Saya sedih, karena orang tua, dan
saudara-saudara saya tidak ada yang
mendukung niat saya untuk berhenti
berkerja . Malah mereka membanding-
bandingkan pekerjaan suami saya dengan
orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh
kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti
dia? Menerima sosok pangeran apa adanya,
bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“ Kak, kita itu harus memikirkan masa depan.
Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak.
Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu
banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah
kakak malah pengen berhenti kerja. Suami
kakak pun penghasilannya kurang. Mending
kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah
kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak
juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga,
seharusnya nikah sama yang kaya. Sama
dokter muda itu yang berniat melamar kakak
duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak
lebih milih nikah sama orang yang belum
jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak,
Cuma suami kakak yang tidak punya
penghasilan tetap dan yang paling buat kami
kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka
hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh
saudara sendiri yang ingin membantupun tak
mau, sampai heran aku, apa maunya suami
kakak itu ”. Ceritanya kembali, menceritakan
ucapan adik perempuannya saat dimintai
pendapat.
“ Anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu.
Saya menangis bukan karena apa yang
dikatakan adik saya itu benar, bukan karena
itu. Tapi saya menangis karena imam saya
dipandang rendah olehnya. Bagaimana
mungkin dia meremehkan setiap tetes
keringat suami saya, padahal dengan tetesan
keringat itu, Allah memandangnya mulia.
Bagaimana mungkin dia menghina orang
yang senantiasa membanguni saya untuk
sujud di malam hari. Bagaimana mungkin dia
menghina orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang
yang berani datang pada orang tua saya
untuk melamar saya, padahal saat itu orang
tersebut belum mempunyai pekerjaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu
saya muliakan, ternyata begitu rendah di
hadapnnya hanya karena sebuah pekerjaaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena
tak ingin melihat orang membanding-
bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan berhenti bekerja juga
untuk menghargai nafkah yang diberikan
suami saya. Saya juga memutuskan berhenti
bekerja untuk memenuhi hak-hak suami
saya. Semoga saya tak lagi membantah
perintah suami. Semoga saya juga ridho atas
besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti
dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga,
bahkan begitu menghormati pekerjaannya,
karena tak semua orang punya keberanian
dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang
lebih memilih jadi pengangguran dari pada
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi
lihatlah suami saya, tak ada rasa malu
baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah
yang halal. Itulah yang membuat saya begitu
bangga pada suami saya. Semoga jika anty
mendapatkan suami seperti saya, anty tak
perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan
suami anty pada orang lain. Bukan masalah
pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya,
berkahnya, dan kita memohon pada Allah,
semoga Allah menjauhkan suami kita dari
rizki yang haram ”. Ucapnya terakhir, sambil
tersenyum manis padaku. Mengambil tas
laptonya, bergegas ingin meninggalkannku.
Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan
menggunakan sepeda motor butut mendekat
ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm,
meskipun tak ada niatku menatap mukanya.
Sambil mengucapkan salam,
meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali,
wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini
aku dapat pelajaran paling baik dalam
hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus
sosok pangeran kaya yang ada dalam
benakku..
Subhanallah..
Semoga pekerjaan, harta tak pernah
menghalangimu untuk tidak menerima
pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.