Hukum Saat Haid dan Cara Mensucikannya

Diposting oleh Mutiarahikmah on Senin, 04 Maret 2013



Hukum ash-shufrah (cairan kuning yang bercampur merah) & al-kudrah (cairan keruh yang menyerupai nanah).
Dari Ummu Athiyah -radhiallahu anha- dia berkata, “Kami (di zaman Nabi) sama sekali tak menghukumi ash-shufrah & al-kudrah sebagai haid, kalau keduanya keluar setelah masa suci.” (HR. Abu Daud no. 307, An-Nasai: 1/186 & Ibnu Majah no. 647)
Maka hadits ini tegas menunjukkan bahwa: Kalau keduanya keluar pada masa adat haid maka keduanya dihukumi haid. Tapi kalau keluarnya setelah berlalunya masa adat haid, maka dia tak dianggap haid sama sekali, bahkan dia suci & tetap wajib mengerjakan shalat serta kewajiban lainnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya: Aisyah -radhiallahu anha-, Said bin Al-Musayyab, Atha`, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Abu Hanifah, Ishaq bin Rahawaih, Abdurrahman bin Mahdi & selainnya.

Apakah Wanita Hamil Bisa Haid?

Kita katakan: Hukum asal & kaidah umum yang biasanya terjadi adalah bahwa wanita yang hamil tak bisa haid. Akan tetapi pada sebagian wanita yang keluar dari hukum umum ini sehingga dia tetap mengeluarkan darah di masa-masa hamilnya. Masalahnya apa hukum darah yang keluar ini?
Jawabannya: Kalau darah yang keluar saat hamil ini mempunyai ciri-ciri darah haid & keluarnya juga pada masa adat haid, maka darah itu dihukumi haid & berlaku pada wanita itu hukum-hukum haid.
Kalau darah yang keluar tak sesuai dgn ciri-ciri haid atau keluarnya bukan pada masa adat haid maka dia tidaklah dihukumi haid, bahkan wanita itu tetap dianggap suci & berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.
Inilah pendapat yang benar, yaitu wanita yang hamil memungkinkan utk haid. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim wanita adalah darah haid selama tak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tak ada keterangan dlm Al Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.
Dan juga kita katakan: Kalau -misalnya- pada suatu bulan darah haid keluar pada masa adat haid dlm keadaan dia tak hamil, lantas bulan depannya darah dgn ciri-ciri yang sama & keluar pada waktu yang sama, tapi dlm keadaan dia hamil. Maka sungguh suatu keanehan kalau darah pada bulan pertama dihukumi haid sedang pada bulan berikutnya tak dihukumi haid, padahal ciri-ciri & waktu keluarnya sama.
Inilah pendapat Qatadah, Malik (dalam satu riwayat), pendapat terbaru Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahawaih & Bakr bin Abdillah Al-Muzani. Bahkan disebutkan dlm kitab Al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiah (hal. 30), “Al-Baihaqi menyatakan bahwa ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini”. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi, Ibnu Taimiah, Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin & Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullahu jamian-.
Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada wanita yang tak hamil, kecuali dlm dua masalah:
  1. Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tak hamil dlm keadaan haid, tetapi itu tak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak (perceraian) dlm keadaan haid terhadap wanita yang tak hamil menyalahi firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. Ath-Thalaq: 1).Adapun mencerai wanita hamil dlm keadaan haid tak menyalahi firman Allah Ta’ala. Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat dlm menghadapi masa iddahnya, baik dlm keadaan haid atau suci, karena masa iddahnya adalah dlm kehamilan. Untuk itu, tak diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), & berbeda hukumnya dgn wanita tak hamil.
  2. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir pada saat melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Thalaq: 4).

Beberapa Hal Seputar Darah Haid

  • Seorang wanita mempunyai adat 5 hari. Pada hari ke-5 darah sudah tak keluar tapi dia belum melihat tanda suci, apa yang dia lakukan?Jawab: Dia sudah dihukumi suci & wajib utk mandi, walaupun tanda suci tak keluar.
  • Kalau ada wanita mempunya adat 6 hari, lantas pada 2 hari pertama keluar darah, tapi pada 2 hari berikutnya tak keluar darah, & dua hari terakhirnya darah keluar lagi. Apa hukum 2 hari yang tak keluar darah padanya?Jawab: Tetap dihukumi sebagai masa haid walaupun darah tak keluar, karena dia masih berada dlm masa adatnya. Kecuali kalau pada hari ketiga itu ada tanda suci, maka berarti dia dianggap suci pada kedua hari itu (hari 3 & 4), lantas haid lagi pada dua hari berikutnya. Wallahu a’lam. Rincian ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- & beliau menisbatkannya kepada mazhab Asy-Syafi’iyah & Al-Hanafiah, serta yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
  • Seorang wanita mempunyai adat 7 hari, tapi pada sebagian bulan darah keluar selama 10 hari. Apa hukum darah yang keluar pada tiga hari terakhir?Jawab: Kalau darah yang keluar pada tiga hari terakhir itu masih mempunyai ciri-ciri darah haid maka berarti dia masih dlm masa haid, kecuali kalau tanda suci sudah keluar pada hari ke-7 maka berarti setelahnya bukan lagi darah haid.
    Kalau darah pada 3 hari terakhir itu tak mempunyai ciri-ciri haid maka berarti wanita ini terkena istihadhah, & tak berlaku padanya hukum haid. Insya Allah akan datang pembahasan khusus mengenai istihadhah. Ini yang dahulu kami pandang. Tapi belakangan kami berpendapat bahwa darah yang keluar pada 3 hari setelah masa adat bukanlah haid secara mutlak walaupun ciri-cirinya sama dgn haid. Jadi yang dia jadikan patokan adalah adatnya, selama adatnya masih bagus]
  •  Kebalikannya, seorang wanita mempunya adat 7 hari, tapi pada hari ke-5 sudah keluar tanda suci. Apakah dia sudah dianggap suci?Jawab: Ya, dia sudah suci dgn keluarnya tanda suci, walaupun adatnya belum selesai. Kedua masalah di atas disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Ustaimin -rahimahullah-.
  • Hukum memakai obat-obatan perangsang atau penunda haid.Jawab: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Walaupun secara hukum dibolehkan, namun lebih utama utk tak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan & keselamatan.”
    Karenya para ulama memberikan tiga syarat dlm pembolehan penggunaan obat-obatan ini:
    1. Tidak membahayakan & memudharatkan dirinya. Kalau memberikan mudharat pada dirinya, maka dia tak diperbolehkan utk memakainya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian sendiri ke dlm kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195).Di antara mudharat yang mungkin timbul adalah: Membahayakan dirinya, mengacaukan adat (siklus) haidnya & beresiko menjadi mandul. Kalau ketiga ini dipastikan tak adanya maka boleh memakai obat-obatan tersebut.
    2. Tentunya dgn seizin suami.
    3. Niat yang benar. Maka tak dibolehkan seorang wanita memakai obat perangsang haid dgn tujuan agar dia tak mengerjakan shalat & puasa, & semacamnya.
[Referensi: Risalah fi Ad-Dima` Ath-Thabi’iyah li An-Nisa` karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Shahih Fiqh As-Sunnah karya Abu Malik: 1/206-209]